WANITA API | Cerita Dewi Musdalifah
“Dia wanita api. Mata dan mulutnya mampu membakar apa dan siapa saja. Kau tidak akan tahan hidup dengannya,” kata Emak dengan mata menerawang.
Suara Emak seperti lidah petir yang menyambar.
Bagaimana ini? Kami sudah sepakat menikah, tapi Emak kukuh tak memberi restu. Kendati Merlin telah menunjukkan kebaikan-kebaikan, namun Emak memiliki intuisi sendiri.
Merlin memang tak selembut gadis-gadis di desaku. Justru inilah yang membuatku bersemangat. Suatu kekuatan dari sebalik ambisi, gelora, gairah pada bara di matanya yang mampu menguasaiku.
Begitulah, kami melangsungkan pernikahan tanpa restu Emak. Aku mengucapkan akad, hanya dihadiri oleh keluarga Merlin dan sejumlah teman dekatku.
Di awal pernikahan, aku mulai menyadari apa yang dikatakan Emak tentang api. Hampir setiap hari, barang di rumah terbakar satu persatu. Ada saja yang menyulut Merlin untuk membakarnya. Bahkan tubuhku pun tak lepas dari amuk apinya. Dadaku gosong oleh api dari mata dan kata-kata dari mulutnya. Aku hidup dikelilingi panas yang menjilat-jilat.
Setiap kami bercinta, organ badan remuk lebam. Aku sungguh tak menikmatinya. Namun tetap ada benih yang tertanam di rahim Merlin. Dua anak kami lahir. Johan dan Niken. Niken mirip denganku, pembawaannya tenang dan tidak memiliki api di matanya. Sedangkan Johan serupa Merlin. Anak api, bahkan lebih dahsyat kekuatannya. Berkali kali aku mengganti onderdil rumah yang hangus terbakar saat Merlin dan Johan bersitegang.
Lama-lama aku tak kuat menahan panas yang kian berkobar. Aku terluka. Kulit dadaku mengelupas. Hati laksana sekam. Jantung tak berdenyut dengan normal. Aku keluar dari rumah. Tepatnya mengasingkan diri, bersembunyi di kamar kos sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga kecil di pinggir kota. Pekerjaanku sebagai penerjemah buku bahasa asing memungkinkan tidak banyak berinteraksi dengan orang lain. Aku sedikit leluasa menyembuhkan luka.
Aku tak pernah mengabari apa pun keadaanku kepada Emak. Tapi Emak tahu, dan memilih diam. Emak hanya mengelus-elus kepalaku, ketika datang ke pelukannya. Seperti saat ini, ketika aku berbaring di pangkuannya. Lirih Emak berkata, “Bersabarlah, akan datang perempuan dari masa lalu yang akan menyembuhkan lukamu, perempuan bermata telaga.”
Perkataan itu menentramkanku. Perlahan hatiku dialiri air dingin, dan baru kali ini aku bisa tidur dengan tenang.
***
Dering ponsel membangunkanku di suatu pagi. Aku meraba-raba kasur mencari ponsel, belum ketemu.
Kamarku berantakan. Maklum semalaman aku bekerja – menerjemahkan sebuah buku luar biasa tebal, tulisan seorang teman dari Jerman. Selain isinya yang berat, deadline waktu juga membuatku lupa waktu.
Akhirnya ponsel bisa kutemukan.
“Hallo, dengan siapa saya bicara?”
“Ini nomornya Mas Herman? Aku Ratna dari Sidoarjo,” jawab suara di ponsel.
Sejenak aku memutar memori. Ratna, nama yang tidak asing. Mungkinkah itu Ratna teman satu komunitas di sanggar seni Cangkir?
“Ratna sanggar Cangkir?”
Suaraku riang.
“Iya, Mas, aku Ratna sanggar Cangkir. Kita sudah lama sekali tidak bertemu, hampir 20 tahun.” Ratna terdengar bersemangat.
“Oh iya, apa kabar?”
Aku menenangkan jantung yang melompat-lompat. Terbayang sosok Ratna yang lembut, cerdas, dan penuh kasih sayang. Sorot mata bening, seperti telaga. Ya, telaga. Perempuan itu telah datang, perempuan yang aku tunggu. Aku bersorak dalam hati.
“Baik, Mas, kabarmu bagaimana? Pasti baik, ya.”
Ratna tertawa kecil. Suaranya merdu.
“Iya, aku baik. Ada apa ini kok tumben menghubungiku? Ada yang bisa dibantu?”
Aku merasakan suaraku nyaring karena kegirangan.
“Iya, Mas, aku punya buku yang sulit diterjemahkan, buku sastra, untuk bahan penelitian,” Ratna menceritakan keluhannya.
“Baiklah, kapan kita bisa berjumpa? Secepatnya, ya, karena aku ada beberapa pekerjaan yang menunggu.”
Dengan dalih sibuk, aku memintanya segera bertemu. Aku tidak sabar.
“Bagaimana kalau lusa? Berikan alamatmu, Mas. Kamu sekarang di mana?”
Ratna menanyakan tempat aku tinggal sekarang.
“Surabaya, di daerah kampus UNAIR,” jawabku.
Ratna berjanji lusa akan datang, dan sangat kebetulan dia ada acara di kampus UNAIR.
Aku pandangi foto profil di nomor teleponnya. Wajah cantik dan lembut, pesona matanya masih sama. Tapi mungkin ini foto lama, karena masih terlihat muda dan segar.
Hari pertemuan pun datang. Kami janjian bertemu di kantin Bu Roesman di dalam kampus UNAIR, memesan sepiring gado-gado dan teh hangat. Pagi yang cerah. Tidak lama, aku melihat seorang perempuan yang kukenali. Ratna berjalan santai. Aku takjub memandangnya. Tak ada yang berubah pada diri Ratna, sama persis seperti terakhir bertemu. Berarti foto di profilnya itu foto Ratna terkini.
“Hai, Mas… lama menunggu? Maaf tadi masih mengikuti materi sebentar, sekadar absen, hehehe…”
Senyumnya menyejukkan. Aku gemetar. Rasanya kulitku sedang memperbaiki jaringan yang telah rusak.
“Tidak kok, baru saja duduk, pesanan juga belum datang. Kamu mau pesan apa?” sedikit gugup aku membalas ujarannya.
“Pesan yang sama seperti pesananmu,” sergah Ratna sembari menarik tempat duduk di hadapanku.
Aku tak berani menatap matanya. Pesananku sudah datang, anehnya aku tak selera memakannya. Aku lebih memilih menikmati hawa teduh yang terpancar dari Ratna.
Kami berbincang lama. Ada kerinduan mendalam.
Aku memberanikan diri berkata, “Ratna, bolehkah aku memegang tanganmu? Aku sedang sakit, dan butuh tanganmu untuk menyembuhkannya.”
Aku memintanya penuh harap.
“Iya, Mas, boleh.”
Ratna mengulurkan tangan dan aku meletakkannya di dadaku.
Getaran hebat terjadi. Revitalisasi organ-organ di dalam dadaku yang telah lama rusak akibat seringnya terbakar telah bergolak bagai di kawah candradimuka. Aku tak kuasa menahan perubahannya. Lalu aku jatuh pingsan.
Aku buka mata perlahan. Di hadapanku, Ratna tersenyum sambil memegang tangan dan mencium pipiku.
“Kamu tidak apa apa. Kenapa tubuhmu sampai terluka begini parah?”
Dia mengelus-elus dengan lembut setiap inci dari tubuhku.
“Ceritanya panjang, nanti aku beritahu.”
Badanku terasa segar. Sel-sel terkecilnya tumbuh baru. Aku seperti dilahirkan kembali. Aku menemukan pembebasan sampai ke jiwaku. Aku bangkit, tegak dengan sempurna. Ratna pun ikut berdiri di hadapanku. Aku memeluknya erat.
“Jangan tinggalkan aku, ya, kamulah kekuatan hidup, pembebasanku.”
Ratna mengangguk, tanpa kata.
Sejak hari itu, kami banyak melewatkan waktu bersama-sama; bepergian, diskusi, melakukan penelitian. Kami menikmatinya. Ternyata gairah cintaku pada Ratna di masa lalu tak pernah padam. Aku semakin mencintainya. Takluk padanya. Aku merasa utuh menjadi laki-laki. Lelaki yang bebas dan bahagia. Produktivitasku meningkat tajam. Bahkan aku sekarang memiliki tim yang bekerja bersamaku.
Ratna yang luwes mengenalkanku pada kenalannya. Aku banyak mendapat proyek, bahkan mampu menabung untuk aku kirimkan kepada Merlin, dan tentu saja kepada Emak. Aku mengatakan pada Emak bahwa Ratna membuatku tergila-gila. Emak ikut senang, tapi memperingatkanku untuk berhati-hati pada Merlin. Karena Emak memiliki firasat buruk tentangnya.
Sampai kemudian sebuah ancaman datang dari Merlin dan mengejutkanku. Katanya: Jika aku tidak datang menemuinya, dia akan membakar Niken dan Emak. Terbayang wajah Niken dan Emak yang memelas. Merlin sangat kejam. Apalagi ada Johan yang mewarisi jiwa apinya. Aku bergegas pulang ke rumah Merlin, tak berpamitan pada Ratna.
***
Rumah masih sama seperti dulu, penuh dengan lubang dan sudah menjadi arang, bekas terbakar.
Johan nampak semrawut dan Merlin semakin kelihatan beringas. Demi Niken dan Emak, aku kembali ketempat ini, ruang penyiksaan.
Aku melihat Niken tertidur pulas di kamar. Aku mengusap rambut Niken. Rasa capek membuatku tertidur di sebelahnya.
Merlin masuk ke kamar Niken dan mengendus-endus, menemukan aroma Ratna menempel di tubuh dan hatiku. Seketika itu matanya menyala, dan dari mulut menyemburkan api besar. Sontak aku terpelanting menghindari api yang berkobar-kobar. Wanita ini mengganas, mencengkeram leher, dan membuka mulutnya yang penuh dengan sumber api untuk membakarku. Tapi ajaib, aku tak terbakar. Dadaku utuh dengan detak yang tenang. Merlin semakin beringas. Dia ke halaman belakang rumah untuk meluapkan kekecewaannya kepada pohon yang ada disana, sampai pepohonan itu tak tersisa.
Rupanya kekuatan cinta Ratna menumbuhkan kekebalan pada api. Saat itu aku merasakan cinta yang luar biasa.
Merlin tak putus asa, dia sakit hati melihatku bahagia. Dia melacak keberadaan Ratna. Aku berusaha menghapus jejak Ratna, namun tetap bisa tertembus.
Aku tak sempat memberi kabar pada Ratna tentang keberingasan Merlin.
Merlin menemukan Ratna, dan mengeluarkan kekuatan apinya yang menyala-nyala. Ratna dengan bening telaga di matanya berusaha melawan.
Aku menemukan tubuh Ratna terkulai depan teras rumah Merlin, sekujur tubuhnya terbakar.
Merlin berdiri di sampingnya dengan senyum menyeringai puas.
Aku berlari dan mendekap Ratna, menciuminya.
Ratna dengan sisa tenaganya meraba wajahku, dan sengau berkata, “Aku telah menyerahkan telaga bening mataku untukmu, kamu akan kebal terhadap api.”
Ratna menghembuskan napas penghabisan. Aku menangis meraung-raung.
Merlin telah membakar kebahagiaan dan harapan hidupku.
Aku menggendong Ratna dan menguburnya di halaman belakang. Sepanjang pemakamannya, aku tak berhenti menangis dan berlanjut di hari-hari berikutnya. Air mataku seperti datang dari sumber air telaga, terus mengalir, hingga mataku buta.
Merlin memang tidak lagi mampu membakar tubuhku, namun dia membakar hati dan jiwaku. Tubuhku akan tetap utuh, tapi hidupku telah mati.
Aku memutuskan melakukan pembakaran diriku sendiri, karena Merlin tak bisa membakar tubuhku lagi. Hanya aku yang bisa melakukannya sendiri. Aku ingin bersama Ratna di alam berbeda. Dan dengan cara kepergian yang sama: Hangus terbakar.
Di antara api yang merambat, aku melihat Ratna menyambut dengan tangan terbuka dan sorot mata telaga.
Gresik, 2021

Dewi Musdalifah lahir di Gresik, 23 Juni 1974. Aktif di Yayasan Seni dan Budaya GANG SEBELAH. Pendidik di SMA Muhammadiyah 1 Gresik. Menulis puisi, cerpen, esai di sejumlah media. Puisinya terhimpun di sejumlah kumpulan bersama: Wasiat Malam (DKJT, 2013), Teruntuk Ibu (DKJT, 2014), Lelaki Kecil di Terowongan Maling (2014), Lek Giryadi (Blitar, 2018). Cerpennya antara lain dimuat di Kidung, (DKJT), Koran Radar Surabaya, Jatimkini.id. Esai secara berkala tayang di Radarjatim.id, KlikJatim.com., Jalindo.net. Sementara itu, buku puisi tunggalnya yang telah diterbitkan: Kembara (Pagan Press, 2013), Sakau (Pagan Press, 2018).
*Gambar Utama: Foto Joshua Fuller di Unsplash