Vito Prasetyo | Puisi “Politik dalam Spektrum Puisi”
Jargon Politik
Mungkin menjadi lagu lama, jika dalil-dalil agama dijadikan jargon politik dalam mendulang suara pada pemilu. Apakah karena hal semacam itu dari tahun ke tahun dinyanyikan dengan nada irama yang sama. Atau karena masyarakat semakin jenuh dengan pilihannya, yang selalu saja akhirnya dihadapkan pada pilihan: “penyesalan selalu datang pada akhir cerita”
Krisis kepercayaan menjadi lukisan yang tak berwarna. Potret demokrasi serupa penyempurnaan revolusi, sebab zaman berjalan pada peradaban yang terus maju, tanpa ragu melihat ke belakang. Revolusi yang bersembunyi pada lorong-lorong ketakutan. Maka puisi menjadi sebuah lukisan yang tak pernah terselesaikan.
(2022)
Pencitraan
Apakah puisi punya kepedulian terhadap perubahan sosial? Ataukah puisi hanya sekedar sekumpulan diksi, yang justru akan membuat friksi dalam mengikuti negosiasi zaman? Dalam konteks pemikiran bersih, seorang penyair tidak ingin bersentuhan dengan hal-hal yang rentan dengan politisasi. Sekalipun ini bisa menjadi balada yang dinyanyikan para pengamen jalanan. Tetapi dilihat dari dimensi seni, adakalanya puisi menjadi jembatan harmonisasi bagi para pemangku kepentingan.
Seorang murid bertanya kepada gurunya ketika mengikuti sebuah mata pelajaran.
“Pak guru, apa yang dimaksud dengan pencitraan?”
Masa lalu seakan mengiang panjang dalam revolusi zaman. Tetapi masa tersebut tidak mampu melupakan jargon pendidikan, dan seakan memvonis identitas pahlawan tanpa tanda jasa. “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”
Riwayat ini seakan melekat pada pencitraan pendidikan. Mungkin hanya puisi yang mampu membasuhnya dengan kefakiran doa.
(2022)
Retorika
Tahun terakhir ini disebut sebagai tahun politik, situasi perbincangan politik selalu menghangat. Bagai sebuah puisi di meja jamuan sajak menanti secangkir kopi. Pahitnya kopi selalu mendatangkan ide segar seharum aroma kopi. Sebab puisi terlahir dari rahim kegelisahan dan keresahan.
Kata-kata seakan menjadi peramu adonan kalimat untuk lesapkan diksi indah. Kata-kata menjadi kredo ruang sunyi yang menyublimasi unsur-unsur dialektika politik. Meski pahit, tidak boleh ada kata menyeruak yang memperlihatkan kondisi terpuruk.
Dalam kehambaan kata-kata, bait-bait harus mengeliminir kondisi yang berbanding terbalik, seolah-olah membuahkan kondisi yang jauh lebij baik.
Di sudut kota, anak kecil membaca poster-poster besar, baliho besar. Entah kepada siapa dia bersungut: “ah, retorika itu maknanya selalu samar.” Perutnya tak pernah berhenti bernyanyi. Hari ini apa yang harus kami makan?
(2022)
Debat Kusir
Dalam konteks sosial, politik adalah politik. Puisi adalah puisi. Lalu dari sudut keilmuan mana bisa menyatukannya. Mungkin sedikit membias, jika kita melihat atau mendengarkan perbincangan debat kusir di kedai atau warung kopi, bahkan di kafe.
– dua orang atau lebih – bisa jadi sekumpulan orang yang terlibat perbincangan serius tentang kondisi politik. Perdebatan itu terkadang memantik kemarahan atau emosi. Tetapi esensi politik yang diperdebatkan mereka sama sekali tidak mengena. Bumbu-bumbu hoaks diselipkan agar perdebatan menjadi menarik. Mereka tidak mengerti dan paham esensi sesungguhnya. “ah, betul-betul bodoh.” Siapa yang menjadi kadrun dan siapa yang menjadi sengkuni. Sementara di ruang tertutup, tiga orang atau lebih memainkan bidak-bidak catur, hasil pemilu itu bisa diatur.
Seperti halnya orang pintar mendeklamsikan puisi, tetapi ia sendiri tidak pernah mampu menulis puisi, dan tidak mengerti apa itu puisi. Jadi antara politikus dan pengamat politik ala kedai kopi, mana yang disebut sebagai praktisi politik?
“Bukankah dalam pertandingan sepakbola, penonton jauh lebih pintar menganalisa pertandingan?”
(2022)
Orator dan Jurnalis
Judul “Politik dalam Spektrum Puisi” seolah-olah adalah gagasan satire. Dalam stigma masyarakat modern seperti mengada-ada. Mengolah kata simbolik dan alegori sebagai pelengkap puisi, memang bukanlah ritmis politik yang dihadapkan pada hal-hal realis.
Antara penulis dan pembaca mencari titik temu, tentu dengan perspektif berbeda. Karena puisi adalah subjektivitas pemikiran yang hidup dalam dimensi berbeda dengan politik yang terus bertransformasi untuk membaca fenomena sosial. Sangat realis dan menentang absurditas zaman.
Tetapi perlu disadari, bahwa menulis itu tidak sesederhana seperti yang diucapkan oleh seseorang. Adakalanya cinta kian rumit, tidak semudah apa yang dibayangkan ingatan manusia. Seorang orator begitu lihai dalam mengeksplorasi kalimat agar tersampaikan secara jelas kepada pendengar. Tetapi penyair juga punya cara atau metoda dalam menulis larik-larik sajak, sehingga pada kondisi yang kurang nyaman, seorang politikus pun mampu membacakan puisi begitu indah. Entah, mungkin karena fakta-fakta kebenaran terlalu penuh sesak menjejali pikirannya.
Sebuah ungkapan bermata filsuf yang menjadi simbol kehebatan seorang pemimpin: “berkatalah seperti layaknya seorang orator, dan menulislah seperti layaknya seorang jurnalis.”
(2022)
Patriarki
Mungkin sudah bukan masanya. Opera zaman tidak hanya dimainkan oleh kaum hegemoni, peninggalan masa klasik. Saatnya para bidadari turun dari peraduan, dan melukis cakrawala langit untuk menyempurnakan garis-garis cahaya. Makna modernitas adalah masa dimana langit penuh nuansa pelangi.
Bidadari surga sering dianalodikan dengan imajinasi fiksi. Pembaca digiring pada estetika kata, yang tidak semata-mata hanya mampu diucapkan oleh kaum lelaki. Sebuah estetika kata yang membenarkan alibi fiksi, jika puisi tidak digunakan sebagai alat propaganda dan alat kritik.
Semiotika bahasa adalah simbolisme untuk menggalang kepentingan. Menabuh perang adalah sebagian perjuangan tanpa harus menghadapi musuh sebenarnya. Kaum perempuan pun tidak kalah hebat untuk menggagas kebenaran dan keadilan. Maka tempat yang paling pas untuk berperan adalah duduk sejajar bersama kkaum lelaki. Tidak ada lagi istilah patriarki dalam perang modern.
Sementara sudut-sudut kota telah menjadi opera tiga masa. Perjuangan, kemerdekaan dan post-merdeka. Entah apa bedanya, karena kaum pinggiran masih saja berkutat dengan mantra kehidupan. Setiap lekuk bidadari hanyalah pancaran kodrat dan membagi peran antagonis dan protagonis. Masyarakat selalu dihadapkan dengan transaksi istilah atau ungkapan, bagaimana harus tetap bertahan hidup. Bukankah budaya tak pernah salah? Hanya pikiran manusia yang tak pernah mampu menghilangkan riwayat sejarah.
Puisi yang tertulis, tak pernah mampu membedakan persamaan gender. Puisi tak pernah tau, apa itu oligarki, apa itu patriarki, puisi hanya hidup dalam genre bersih seperti ditakwilkan budaya.
(2022)
Katastrofe
Badai krisis yang mengkristal, menggumpal bagai gunung es. Seakan mengingatkan apa yang ada di pucuk gunung es, suatu saat retak dan tenggelam. Musim hujan mungkin jadi premis kata-kata, selalu saja benar, dan akan mengingatkan kita akan terjadi kemungkinan katastrofe seperti bencana alam. Ini bukanlah matematis hitungan manusia yang nalar logikanya penuh sesat.
Kata petuah pujangga, dalam sebuah puisi ada makna tersirat hingga kadang terasa begitu absurd. Masa berputar, menggiring politik menjadi gumpalan kegelisahan. Badai cemas katastrofe juga menjejali pikiran penyair. Mungkin kata-kata telah ditakdirkan menjadi monument arca, yang membangun zaman, tanpa menunggu kapan sebuah cerita harus diselesaikan. Dalam algoritma politik, kebijakan bagaikan tongkat estafet. Dibangun dengan konsistensi kekuasaan.
Absurd dan katastrofe hanyalah ungkapan gelisah, tatkala sejarah ditulis dalam petaka cinta. Bagaimana mungkin dalam nalar manusia, seribu candi harus diselesaikan dalam waktu semalam oleh Bandung Bondowoso ketika keabadian cintanya ingin dipuisikan kepada Roro Jonggrang. – memang sungguh sakti –
Hanya puisi-lah tempat menuangkan seribu kata, ketika politik harus mencari kebenaran kata!
(2022)

VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Agama: Islam. Bertempat tinggal di Kab. Malang. Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat budaya. Naskah Opini dan Sastra (Cerpen, Puisi, Esai, Resensi), Artikel Pendidikan & Bahasa telah dimuat media cetak lokal, nasional, dan Malaysia, antara lain: Koran TEMPO – Harian Media Indonesia (Jakarta) – Harian Pikiran Rakyat (Bandung). Buku Antologi Puisi: “Jejak Kenangan” terbitan Rose Book (2015)), “Tinta Langit” terbitan Rose Book (2015) – “2 September” terbitan Rose Book (2015) dll. Termaktub dalam Buku “APA DAN SIAPA PENYAIR INDONESIA” (2017). Juara 1 Lomba Cipta Puisi Tema “Patah Hati” Tingkat Nasional Tahun 2020 (Writerpreneur Academy). Juara 3 Lomba Cipta Puisi Tema “Asmara” Tingkat Nasional tahun 2021 (Writerpreneur Academy). Nominasi Puisi Anugerah Sastra Litera Tahun 2021. Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Tema Ramadan Tahun 2022 (Negerikertas.com). Juara 2 Lomba Cipta Puisi Tema Kartini Tahun 2022 (Teroka Tempo).
Photo by Khashayar Kouchpeydeh on Unsplash