TUAN PUTRI | cerita Bulan Nurguna

Bunga-bunga liar dengan batang panjang yang lentur, kelopaknya kecil-kecil berwarna kuning. Bagian tengah bunga juga berwarna kuning. Bunga-bunga itu bisa dibikin menjadi mahkota. Satu batang akan dililit dengan batang yang lainnya, begitu terus berjalin satu demi satu hingga melingkar sempurna.

Bunga-bunga itu kudapatkan di pinggir jalan menuju bukit, tempat kerajaanku berada. Di bukit itulah aku membuat mahkota, sambil melihat rumah-rumah tempat tinggal rakyatku. Rumput-rumput yang telah sempurna tumbuh, rata-rata tingginya hingga setengah betisku, adalah tempat duduk yang asik. Rumput-rumput itu lebih sering berwarna coklat daripada hijau. Mungkin karena selama hidupku jarang sekali turun hujan, dan udara selalu saja panas. Matahari terasa begitu dekat, hanya sedikit di atas pohon bidara yang paling besar dan tinggi.

Pohon itu adalah istanaku. Walaupun udara di sekitar panas, tetapi di bawah pohon itu teduh. Sesekali angin yang kering, lembut, tetapi cukup sejuk akan berembus ke arahku, dan kuanggap itu adalah dayang-dayang yang mengipasiku.

Sebelumnya aku memang memiliki dayang-dayang; sepasang adik dan seorang anak tetangga. Tetapi akhir-akhir ini mereka tak kuajak. Sebab adik tetaplah adik, mereka tak akan pernah dewasa dan selamanya akan menyusu ibu. Sedang anak tetangga adalah orang lain. Lagi pula, kalau mereka ikut, ada saja yang akan menangis dan itu membuat repot. Ibu akan memarahiku, dan aku tidak suka. Padahal bukan aku yang membuat mereka menangis. Itu hanya karena keadaan atau salah mereka sendiri. Siapa suruh mau ikut jauh-jauh lantas kelelahan lalu menangis di jalan pulang? Anak tetanggaku itu, wajah ibunya galak, wajah ayahnya sendu. Aku tidak suka wajah keduanya, tetapi, kata Ibu, aku harus memberi salam, karena ketika pulang atau pergi kami akan melewati rumahnya. Ah, bukankah seorang Tuan Putri seharusnya tidak perlu memberi salam pada rakyat yang wajahnya tidak sedap dipandang mata?

Siang ini aku sendirian di bukit kerajaanku. Membuat mahkota yang indah dan lebih rapi dari hari-hari sebelumnya. Sebenarnya aku malas juga sering-sering membuat mahkota, tetapi selalu saja, mahkota yang kubuat di hari sebelumnya hilang ke mana. Biasanya Ibu yang membereskannya, dalam arti membuangnya. Dia tidak suka melihat barang yang dianggapnya sampah ada di rumah. Semua barang yang dibeli atau masuk ke rumah itu tanpa persetujuannya adalah sampah. Tidak jarang kulihat mahkotaku sudah ada di tong sampah bersama sisa-sisa kepala ikan, cangkang telur, dan lain-lain. Setiap aku protes pasti Ibu menjawab bahwa itu hanya bunga-bunga kotor yang sudah layu, dan ditempeli tahi kuda. Bila kujawab tidak ada tahi kuda di situ, dia akan membalas bahwa bila sudah kering tahi kuda memang kecil sekali dan bisa diterbangkan angin dan menempel di manapun di tempat terbuka yang dekat dengan jalanan sehingga tidak akan bisa dilihat dengan mata telanjang.

Nanti kalau aku sudah besar dan sudah punya KTP aku akan tinggal di bukit saja. Seperti orang-orang dewasa yang bisa menginap di hotel karena mereka menunjukkan KTP. Oh ya, mengenai orang-orang dewasa. Mereka suka berbohong. Banyak sekali kebohongan yang mereka katakan dalam sehari. Bila terlambat bekerja, mereka akan bilang bahwa di rumah mereka sedang banyak kerjaan atau orang tua mereka sakit. Bila tidak masuk kerja, mereka akan bilang keluarga mereka meninggal atau diri mereka sakit.

Mereka juga suka mengatakan bahwa di bukit ini banyak ular. Ada satu ular yang paling besar, ia ada dalam lubang di bawah tanah, dekat dengan pohon paling besar, tempat aku biasa menghabiskan hari sebagai Tuan Putri. Tetapi tentu saja, omongan mereka tidak pernah terbukti. Mereka bisa membohongi anak-anak kecil tetapi tentu tidak bisa membohongiku. Aku anak paling besar di antara anak-anak kecil di lingkungan kami dan aku akan segera menjadi dewasa, karena itu aku tidak pernah melewatkan minum susu. Pernah kudengar bahwa selain kelapa, susu adalah penawar racun. Bila itu benar, dan aku digigit oleh ular, susu di dalam tubuhku akan menyembuhkanku dari racun.

Hore… mahkotaku sudah jadi. Betapa cantiknya aku yang berambut panjang memakai mahkota ini. Punya rambut panjang sungguh suatu perjuangan. Dulu waktu aku kecil, sekitar dua tahun lalu, ibu memaksaku kembali memotong rambut. Rambutku yang sudah sebahu akan dipendekkan seperti rambut anak laki-laki atau rambut bayi. Untung saja aku menangis sejadi-jadinya di tempat potong rambut. Ketika menunggu giliran karena adik-adikku lebih dahulu dipotong rambutnya, aku berteriak mengatakan tante pemotong rambut itu jahat, ibuku jahat, gunting jahat, sisir jahat, cermin jahat, adikku yang pertama jahat, adikku yang kedua jahat, ayahku jahat, tetangga kami jahat, dan anak tetangga kami juga jahat. Sewaktu aku didudukkan di kursi cukur, aku memukul ke segala arah, lalu bangkit, dan melempar tong sampah di samping cermin. Aku tidak kuat kalau harus melempar kursi. Sedang cermin di depanku, selain karena tidak kuat mencabutnya dari dinding, aku takut melemparnya dengan vas bunga kristal, karena vas dan cermin, sepertinya sama-sama mahal. Bila aku sampai melakukannya, Ibu tidak akan memaafkanku sampai aku tua atau sampai dia mati. Untunglah waktu itu hari sudah sore, tenaga ibuku sudah berkurang, dan dia memaafkanku dan memberi kelonggaran dengan tidak memotong rambutku. Tetapi malamnya, dia mengingatkan agar aku rajin mandi dan sampoan. Tentu saja kujawab ya, yang penting keinginanku akan tercapai: memanjangkan rambut hingga sekaki dan menjadi Tuan Putri sejati.

Tetapi setelah itu, ada bintil-bintil kecil tumbuh di bagian belakang leherku. Ibu bilang itu karena keringat dari kepala. Kepala yang tidak disampo akan mengeluarkan keringat berlebih sehingga keringat itu akan turun ke wajah dan leher. Pada orang-orang yang menginjak usia remaja atau dewasa, minyak itu akan membuat wajah berjerawat, sedang pada anak-anak akan membuat wajah dan leher ditumbuhi biang keringat atau bahkan bintil-bintil seperti yang terjadi padaku. Sejak itu, aku rajin bersampo dan bintil-bintilnya sedikit demi sedikit menghilang.

Di bawah pohon di atas bukit ini, aku melakukan berbagai hal selayaknya seorang Tuan Putri: menari, bernyanyi, tidur-tiduran, bercerita pada burung-burung di langit atau yang di atas pohon. Dulu aku juga bercerita pada kucing bernama Bobi. Itu nama yang kuberikan padanya dan sepertinya dia suka dengan nama itu. Dia seperti kuda yang selalu menemani Tuan Putri. Tetapi aku sangat tersinggung pada ibuku karena dia menyuruh aku mengganti nama Bobi. Dia bilang nama itu sama dengan nama anak tetangga kami yang baru saja lahir. Sudah kucoba mengganti nama kucing itu menjadi Nino, Gobo, Dudu, dan lainnya. Tetapi sepertinya kucing itu tidak suka. Karena itulah aku berhenti mengajaknya ke istanaku, sebab dia tidak menghargai nama-nama pemberianku. Hari ini aku ke bukit dengan gaun paling indah yang kumiliki; gaun dari perayaan ulang tahunku beberapa waktu lalu. Gaun ini berwarna ungu dengan bunga-bunga di bagian depan roknya. Waktu itu ayahku mengajakku membeli gaun. Dia menawarkanku gaun yang pas semata kaki, tapi aku menangis di pojok toko karena lebih memilih gaun yang lebih panjang sampai menyentuh tanah agar lebih menjiwai peran Tuan Putri.

Ah, sebentar lagi malam. Aku akan pulang. Sepertinya akan seru menuruni bukit dengan cara berguling-guling. Nanti kalau Ibu bertanya, aku akan bilang bahwa aku jatuh. 

Setelah berguling-guling, tempatku terhenti adalah rumput-rumput kecil yang halus lembut. Maka aku tidak langsung bangun, tapi tidur-tiduran saja di atasnya.

“Ya Tuhan, Putri!” seru seorang tetangga yang tiba-tiba melihatku. Tetapi aku enggan membuka mata apalagi bangkit. Dia pun menggendongku, dan kurasa, anaknya, temanku sekolah yang paling ganteng, mengikuti kami dari belakang. Aku merasa seperti diselamatkan oleh pangeran dengan kudanya.

“Ya Tuhan, Putri!” seru ibuku di halaman rumah, sesaat setelah melihatku.

“Ya Tuhan, Putri!” seru ayahku.

Aku senang sekali.***

Gang Metro, 6 Februari-14 September 2021

Bulan-Nurguna

Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Pernah memimpin Teater Koin di almamaternya. Cerpen-cerpennya terbit di pelbagai media, baik cetak maupun digital. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Gambar Utama: Foto Alexas Fotos dari Pexels

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *