TOLAK MALING | puisi-puisi Dody Kristianto
Riba - Meneladani Sang Datuk Bukan kesilapan kami bila yang kembali harus lebih daripada yang kami lepaskan dari pangkuan. Apalagi, telah kami peram ia masak-masak, dengan bunga-bunga yang kelak mekar sempurna. Sungguh ia juwita, lebih merah dari pepaya matang, lebih bara daripada api disawur sekam. Ia pelita bagi kelobaan kami. Tak sudi kami melewatkannya dengan traktat yang biasa. Lambat-lambatkan langkahnya kembali. Lamat-lamatkan jalan pulang ke haribaan kami. Jangan balik tergesa. Agar kembang anyir di belakang ikut pula mekar, ikut berbiak di belakang tagihan. Dan yang tak kuasa melunaskan, lekas-lekas pindahtangankan si perawan rupawan ke pelukan kami. Ke pelukan kami. (2020) Suap Aku datang dari sebalik lipatan, dari gerak yang tak ditampakkan. Kuhindar laku dari segala amatan. Tertutuplah siapa diri ini dan tak bakal gelagat ini terkata sebelum menyasar pada hati yang bakal digoyang. Sebab ini badan rahasia yang tak dipapar bila ia bukan yang harus dibungkam. Dengan nyali tak terperi, kelicikan paling biadab, aku dihantar sebagai sebuah sawan, yang akan tertanam di mata, tenggelam di benak, hingga yang memandang memajang lagak tak tenang. Terkuarlah kebimbangan. Sungguh, kusulap ia gamang, berulang beranjak dari duduknya. Teluh gaib pun menubuh dalam maujud gemerlap. Aku silapkan pandangan dalam sekejap hingga terpangkas segala keyakinan orang budiman yang masih tertanam. Kuraibkan juga petuah bijak di ingatan sebab kenikmatan sesaat tidak bakal direngkuh dalam laku sabar, laku yang sebenarnya-benarnya pelan, sangat lamat dan terlambat (2020) Tolak Maling Semoga kau tak datang pada malam geming ini. Dan matamu dilelapkan oleh siang yang suntuk, hari-hari yang sibuk. Sebab hanya mampu kami simpan bronpit ala kadarnya. Yang tak menarik mata, yang tak mungkin melambai pandangan nanar, terutama pandangmu, yang lihai mengungkai segala isi di seantero pagar ini, pun mungkin hati kami yang saban bulan berlarat melunasi satu-satunya tumpangan ini. Ia yang setia membawa kami ke kampung tak terpeta, lagi tak mengeluh meski harga-harga melambung melebihi hitungan tak masuk akal yang semayam dalam kepala. Semoga kau tak tiba, sebab kami berdoa dengan doa sebisa kami, doa yang senantiasa kami panjatkan agar tak macam-macam pula mahluk jejadian mengendus di pelataran rumah. Celeng ireng jauhlah, tuyul sempakan enyah, juga kau, yang bersetia menggambar rumah ini sembari menggelar denah celah-celah yang paling rentan dijamah kecergasan tanganmu. (2020) Pangkas Gundul - Mengingat Ferdi Afrar Kuhormati penaklukan di kepalamu. Sulur jarang-jarang yang dibidas ranah lapang yang kian ngembang, kian lebar. Kutafsir pula hikayatmu. Dan belumlah sampai umurmu ke pertengahan. Masih terlalu biasa untuk dibilang menjelang senja. Maka, menghadapi pucuk kepala demikian, aku berserah kepada gunting tertajam, silet yang berulang memangkas janggat, lalu sisir yang mengelus bermacam rambut di genggaman. Tak lupa pula cermin paling jujur memajang tampang kupasang. Maka, kupapar ketaksaan kepalamu. Pori-pori yang dihalang jalan anginnya tiada lagi bisa diramut segala minyak. Komposisi dedaunan, akar-akaran, pun jejampian tak manjur menjambak akar rambut hingga menjulang. Sulur yang lelap sudahlah istirahat. Helai yang masih terindra pun wagu benar dipandang, sepatutnya disederhanakan. Ikhlaskan pemangkasan ini sebagai ritus menerima penuaan. Dan terima penghakiman di kepala: di kiri kanan papras sudah helai yang tampak. Hingga bulu-bulu terhalus tanggal dari akarnya. Turunlah dari kepala. Jangan tampakkan wujud yang masih bergolak. Matilah rambut-rambut yang masih disawang sembarangan. Kutentukan takdir kepala di depan dalam jangka seperempat jam. Haluslah. Semua tanggal dan rata di atas bawah, kiri kanan. Jangan sampai terawi wujud yang tidak-tidak. (2020) Di Klinik Biasa Kau yang menggigil di tengah pasien antre. Badanmu sungguhan didekap dingin kutub. Kakimu tak bernyali menapak lantai. Geliatmu macam kucing kurus dikepung hujan. Tapi tubuhmu sekalian dilalap bara badai matahari. Bagaimana bisa kau mengadu pada tempat pesakitan sesemenjana ini. Sekelilingmu tak lebih seteru yang mahir menyaru sebagai kaum beradab yang sabar disapa sawan musim. Pandangan mereka juga tatapan orang takluk yang tunduk di hadapan roti kadaluarsa. Segera keluar sebab tak bakal kau terima azimat penyembuh termujarab. Pasti pula kau tak mendengar jejampi yang mengupak madah-madah jahat di peporimu dibisikkan. Pulang saja, sebab niat kesembuhan yang berkobar hanya bakal ditawar sebungkus pil seharga segelas teh di warung biasa. Segera tata langkahmu, biar gemetaran juga, biar erangan menyertai. Lekas raih itu daun pintu yang tampak remang dan kunang di pandangan. (2020) Ode Sugeng Rahayu Kami mau kecepatan yang kian nanjak sebab tubuh tak ingin berpapasan dengan pengamal langgam zigzag ini. Tapi apalah daya karena jalan kami ke tujuan benar-benar lajur cilaka yang dirujuk para kembara yang tak pernah sampai di rumah, atau kaum penyintas yang sekadar balik berkalang sebelah tangan, hilang bola mata, kaki tak terindera pandangan. Berjumpa dengannya ialah ihwal ngeri yang diperi warta marabahaya. Kami minta keberanian datanglah, serta enyah kegamangan jauh-jauh. Sebab ia hawa buruk yang putus urat takut, yang memutar arah kami tiba-tiba. Dibikinnya kami lupa di mana kami berpangkal dan harus ke mana kami pulang. Ia lebih gawat dari teluh yang menetap di atas atap. Sebab ia ngerti perihal menyemburkan isi perut kami, mengaduk-aduk lambung ini, menukar letak kepala ke bawah kaki. Ia paham ihwal meredam kecepatan kami di atas tunggangan tanggung ini. Hindarkan kami dari kesiurnya memotong, muslihatnya merongrong itikad kami menyegerakan perjalanan. Sebab kami bakal dilipur kalibut pandang bila tiba-tiba unjuk gelagat menantang di hadapan hasrat berbalapnya. (2020)
Dody Kristianto lahir di Surabaya, Jawa Timur. Tinggal dan bekerja di Serang, Banten. Buku puisinya Petarung Kidal (2013). Bergiat bersama Kabe Gulbleg.
Gambar utama: Foto Anna Shvets dari Pexels.