CandikataPuisiSastra

Telepon dari Rumah Sakit Jiwa

Sajak-sajak ANGGA WIJAYA
Anjing Kami Belum Pulang

Dia sudah jadi bagian keluarga kami
Anjing jenis mini pom warna cokelat

Hilang sejak seminggu lalu di rumah
Sudah sepuluh tahun kami pelihara

Dia sudah tua, ada tato di telinga
kanannya. Bulu sangat pendek dan
 
tumbuh tidak rata. Ada bekas luka
di bagian pantat. Dulu kami rescue.

Banyak kenangan tentangnya di hati
Kami benar-benar sedih dia hilang

Bagi yang menemukan anjing kami
Harap menghubungi nomor di iklan

Hadiah akan kami siapkan untuk itu
Anakku menangis merindukan Kuki

Imbalan sebesar satu juta kami beri
Akan diberikan tanpa ada pertanyaan


2020
 
 
Telepon dari Rumah Sakit Jiwa

Sore yang tenang, aku duduk di teras rumah
bersama musik blues menyayat kalbu. Luka
penuhi ruang hati. Aku begitu menikmati.

Berdering suara telepon, dari nomor yang tak
kukenal. Kudengar kecemasan, dari seorang
kawan yang dirawat di rumah sakit jiwa.

"Tolong jemput aku kemari, aku mau mati!"
Aku tak paham apa yang ia alami. Berkata
aku padanya untuk berobat dulu di Bangli

Di koran pagi, aku melihat kabar kawanku mati.
Dipukul pengidap skizofrenia di sal yang sama.
Dokter tak bisa berkata apa. Nyawa tak selamat

Kukenal dia lelaki pendiam baik hati. Ia sering
menemani malam dengan obrolan panjang.
Membantuku berjualan tiket bus di rumah.

Keluarganya tak peduli padanya. Pulang
setelah tak bisa lagi bertahan di Denpasar.
Penyakit jiwa hancurkan mimpi-mimpinya.

Dulu ia sopir taksi, pandai bergaul punya
banyak teman. Turis senang padanya.
Ia sering mengantar mereka jelajahi pulau.

Ia mati. Lelaki cerdas dan cadas. Tak ada
yang peduli padanya, bahkan saat polisi datang.
Keluarga berkata semua takdir. Selesai sudah.
 
 
2020
 
 
Terminal
  -untuk sujaya
 
Kita mesti berhenti, setelah jauh berjalan
Itu kau katakan siang tadi saat bertemu
 
Berpindah tempat membuatku sering lupa
Jalan hidup sulit kutempuh dengan sabar
 
Tak ketemu, bagai mencari alamat penyair
Peta di layar ponsel tak bisa temukan dia
 
Pada akhirnya kita akan singgah sejenak
Terminal tawarkan tiket pulang ke desa
 
Kerinduan pada mata ibu yang bersedih
Sendirian di rumah tanpa teman bicara
 
Telah sampaikah kita pada pemahaman
Mengejar bayangan sendiri melelahkan
 
Segelas kopi dan percakapan hangat ini
Bawaku pada tanya, di mana rumahku?
 
 
2020
angga-wijaya
ANGGA WIJAYA

Lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Mengawali karier kepengarangan sebagai penulis puisi sejak SMA tahun 2001 saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya di kota kelahirannya, tempat ia menimba banyak ilmu bersama Nanoq da Kansas, guru pertama yang mengajarinya menulis, bermain teater, membaca kehidupan, dan melihat dunia dari sisi lain.

Melanjutkan studi ke kota Denpasar, ia tetap menulis puisi, mengisi lembar sastra-budaya koran lokal dan membawanya pada banyak perhelatan sastra, di antaranya Festival Sastra Internasional (2003) yang digagas Komunitas Utan Kayu, Jakarta, dan jejaring komunitas sastra di Bali. Ia juga menekuni esai sejak 2008, saat menjadi wartawan tabloid budaya di Denpasar dan kolumnis koran Independent News yang memberinya ruang berekspresi dan mengasah mata pena serta kemampuan menulisnya.

Sempat kuliah di Program Studi Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana selama lima tahun, tak rampung karena penyakit mental skizofrenia mendera di ujung studi membuat ia berada di titik nol kehidupan. Ia terselamatkan berkat cinta dan dorongan kekasih yang membuatnya bangkit, kembali berkarya dan bekerja di Denpasar. Perkenalan dengan seorang psikiater membuatnya bisa pulih, bersama kawan-kawan senasib membangun Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) simpul Bali yang kini menjadi garda depan pemberdayaan Orang dengan Skizofrenia di Bali dan aktif mengedukasi masyarakat terkait isu kesehatan mental.

Sejak awal 2018 ia telah menerbitkan lima buku kumpulan puisi, Catatan Pulang (Pustaka Ekspresi, 2018), Dua Kota Dua Ingatan (Penerbit Basabasi, 2019), Taman Bermain (Purata Publishing, 2019), Notes Going Home (Pustaka Ekspresi, 2019), dan Tidur di Hari Minggu (Mahima Institute Indonesia, 2020). Juga buku kumpulan esai, Masa Depan Itu Nisbi (Pustaka Larasan, 2020). Ia meyakini menulis adalah terapi dan medium katarsis, membawanya menemukan diri dan kembali menyusun kepingan diri yang dulu pernah hilang. Sehari-hari bekerja sebagai wartawan lepas dan pembina ekstrakulikuler jurnalistik sebuah SMA di Kuta, Badung, Bali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *