CandikataCeritaSastraSeni

TAXI DAN LAGU-LAGU KENANGAN | cerita Rifat Khan

Kamu dan aku terdiam di dalam taxi. Tak ada sepatah suara. Hanya terdengar alunan lagu Everyday I Love You-nya Boyzone. Sesekali sopir taxi mengintai kita dari kaca spion. Jika kebetulan aku melirik, sopir taxi itu segera memalingkan wajahnya ke depan, seakan fokus melihat jalan. Aku melirik ke kiri, sebentar saja ke wajahmu. Kosong. Kamu masih terdiam. Gurat wajahmu sendu. Tapi cantikmu, masih sama seperti dulu. Aroma rambutmu tak berubah, begitu juga harum tubuhmu, selalu membuat betah. Tapi di matamu malam ini, aku tak dapat menangkap apa-apa, dan aku belum juga berani bertanya kamu kenapa?

“Belok kiri atau kanan, Mas?” Sopir taxi bertanya tanpa menoleh. Suaranya terdengar berat. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat.

“Ambil kiri saja, Pak” jawabku sembari membuka kaca jendela mobil. Aku ingin merasakan angin sebentar, antara berbagai kenangan di otakku yang terus berputar.

Kamu belum juga menatapku. Namun ingatanku kembali pada cerita kita beberapa tahun silam. Saat cinta membuat kita tenggelam. Sering membuat kita demam dan merindukan diam-diam. Waktu itu, saat kamu dan aku masih menjadi kita dan waktu begitu banyak kita habiskan di taman kota. Berbicara apa saja. Tentang Seno dan cerpennya yang berisi senja. Atau tentang Sungging Raga yang selalu bercerita tentang cinta dan itu-itu saja.

“Apa kamu mau menjadi Sukab?” tanyamu tiba-tiba. Langit cerah di taman itu. Aku tengah asyik memandang sesuatu.

“Hai. Kekasihku. Apakah kamu mau menjadi Sukab?” Kamu mengulang tanya itu. Aku kaget, tentu.

“Menjadi Sukab? Memotong senja untukmu? Apakah begitu?” Aku mencoba tertawa.

“Ya. Berkorban untukku. Tepatnya.” Kamu membalas dengan menatapku tajam. Kita sudah duduk kurang lebih satu jam. Langit mendung tiba-tiba, tanpa pernah memberi aba-aba.

“Waow.” Aku menggoda. “Sejak kapan kamu menyukai senja?” tanyaku. Kamu menatapku beku.

“Sejak aku mencintaimu” balasmu tegas. Hujan turun bergegas. Aku belum sempat membalas ucapmu. Kita berlari ke bawah pohon beringin. Merasakan dingin angin dan menyatukan segala ingin. Kita saling pandang. Taman itu tampak lumayan sepi. Aku berpikir, ada yang tentu lebih hangat dari sekadar nyala api. Adalah bibirmu, yang merah basah dan mampu mengusir ribuan resah.

***

Taxi terus melaju. Ke tempat entah. Sopir taxi menguap beberapa kali. Ia ngantuk, barang kali. Aku memberi isyarat berhenti sebentar. Aku keluar mobil dan masuk ke supermarket. Membeli tiga botol minuman. Satu bungkus rokok dan roti meses cokelat yang dulu kamu gemari. Di dalam taxi, aku tawarkan roti dan sebotol air padamu. Kamu tak menggubris, aku letakkan di sampingmu. Sopir taxi menoleh, “Kita jalan Mas?” Aku membalas dengan mengangguk. Taxi melaju pelan, sepi tampak mulai menyelimuti jalan. Alunan lagu Sebuah Rasa-nya Agnez Mo terdengar.

Lagu itu pernah kita nyanyikan bersama pada sebuah percakapan telpon. Aku ingat, malam itu kamu bilang, kalau seorang perempuan yang merupakan sahabat kentalmu sedang gak mood padamu. Kamu bilang namanya Mira, dan aku tentu kenal juga dengan Mira. Kamu bilang Mira tiba-tiba berubah. Ia banyak diam dan sering tak menegur dan menggubrismu. Aku bilang Mira seorang penderita bipolar. Kamu hanya tertawa. “Besok juga kalian pasti baikan” Aku coba menyimpulkan. Kamu hanya mengiyakan.

Kemudian kita asyik ngobrol tentang namamu di FB. Nama yang sungguh alay menurutku.

“Itu aku buat saat pertama kali mengenal FB. Sepuluh tahun lalu,” jelasmu.

Aku tak menanggapi penjelasanmu itu. Malah aku berulang menyebut nama FB-mu itu sembari ngakak.

“Mhief Chimief Chimuet,” ucapku berulang sampai lima kali dengan nada sedikit alay.

Kamu ikut tertawa terbahak-bahak. Meski kamu sedikit malu, tapi sungguh itu terdengar lucu, kamu kini sudah sepakat. Segala hal sederhana dan tak berguna semacam itu selalu kita buat seolah lucu. Kita berusaha mencari celah dari setiap obrolan yang bisa memancing tawa.

“Besok aku akan ganti nama itu,” katamu.

Kemudian kita kembali ngobrol tentang beberapa rencanamu. Antara lain tentang kuliahmu yang sebentar lagi skripsi. Juga tentang tugas penyajian akhirmu yang selalu membuatmu berpikir keras dan merasa menjadi manusia yang diberi beban paling berat di dunia ini oleh Tuhan.

“Kamu lupa bagaimana beban dan masalah yang diberikan kepada para Nabi,” ucapku datar. Saat kamu terus mengeluh tentang penyajian akhir itu.

“Aku perempuan, Randuse. Tubuhku jauh lebih lemah. Otakku tak kuat. Berbeda dengan para Nabi.” Kamu bicara dengan serius. Padahal barusan kita masih ketawa-ketawa.

“Bukankah kemarin waktu pentas di Taman Budaya kamu berperan sebagai perempuan yang kuat. Perempuan yang tak mau diinjak-injak lelaki.” Aku mengungkit peristiwa seminggu lalu. Ada sebuah pentas memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan kamu jadi pemeran utama.

“Itu hanya peran, Randuse. Aku jelas tak sekuat tokoh perempuan di pentas itu,” bantahmu. Suaramu lebih keras. Hujan di luar terdengar turun begitu deras.

“Berarti kamu sudah membohongi 400 orang yang menonton pentas itu. Kamu melakukan pembohongan terhadap publik. Kamu berdosa, kamu masuk neraka.” Aku coba mencandaimu. Dengan nada yang tak biasa. Kamu pun tertawa. “Ya Tuhan. Maafkan hambamu.” Lirih suaramu di ujung telpon. Dan kita segera ganti topik pembicaraan.

“Kamu sudah minum obat?” tanyamu kemudian. Kamu ternyata ingat bahwa aku sedang kurang sehat. Sebab tadi siang aku tak bisa menemuimu sebab badanku demam. Dan kamu bilang, “Masih banyak waktu untuk kita bisa bertemu”.

“Sudah. Aku leburkan obat itu dalam segelas air. Agar bisa masuk di tenggorokan,” jawabku. Dan kamu tentu sudah faham, aku paling tak bisa minum obat dengan cara normal. Pasti muntah. Satu-satunya cara adalah meleburkan dalam segelas air seperti cara anak kecil.

“Semua yang lebur akan jauh lebih sakit, Randuse.” Kamu mengejekku. Sebab kemarin aku jujur bilang bahwa aku cemburu saat kamu duduk begitu dekat bersama seorang lelaki. Aku bilang kalau hatiku lebur. Dan kamu berjanji tak lagi mengulangi itu.

Aku mencoba tertawa dan bilang, “Sekarang kan sudah gak lebur. Lagi berbunga-bunga, sebab bisa mendengar suaramu”. Kamu pun tertawa. Kemudian kamu pamit cuci muka dan mematikan panggilan telpon. Aku memilih tidur dan merindukanmu.

***

Taxi melaju ke arah Taman Kota. Semua tampak beda. Lagu I Don’t Love You-nya MCR mengalun pelan. Lagu yang juga menjadi penutup kisah muram pada cinta kita. “I don’t love you like I did yesterday“, begitu penggalan liriknya. Aku berusaha belajar untuk tak lagi mencintaimu, meski semua di dalam hatiku sudah hancur. Sangat hancur. Saat itu kita sangat dekat, tiap malam ke warnet mengerjakan skripsimu. Tak jarang sampai larut. Saat pulang kita sering kehujanan dan berteduh di mana saja. Hanya saling pandang begitu lekat. Lalu tugas penyajian akhirmu aku bantu semampuku dan sukses dan membuat dosen-dosen itu berdecak kagum. Kamu pun wisuda dengan IPK fantastis. Sehari selepas itu gemuruh menyambar dadaku. Begitu telak. Saat panggilan telponmu berdering di siang yang mendung. Siang yang sungguh mendung.

“Randuse. Aku tahu apa yang akan kusampaikan ini berat. Ibu dan Bapak bilang, ada anak kerabatnya yang baru saja wisuda. Mereka menjodohkanku dengannya. Katanya, ia pria baik, berbudi pekerti luhur dan masa depannya jelas tergambar. Menuruti orang tua adalah ibadah, kan, Randuse? Aku tak mau dikutuk menjadi batu hanya lantaran mempertahankan cinta kita yang tak jelas ini dan menolak keinginan mereka. Kau faham takdir Tuhan, kan? Dan aku yakin. Ujian ini gak seberat ujian yang diberikan pada Nabi-Nabi. Kamu harus tabah, Randuse. Aku akan belajar untuk melupakan, sebaiknya kamu juga belajar melupakan segala tentang kita.” Kamu terdengar menahan isak mengucapkan ini.

Aku kira semua ucapmu adalah lelucon dan sejenis prank. Namun itu adalah sebuah kenyataan. Sejak itu kamu benar-benar menghilang. Bahkan memblokirku dari semua media sosialmu. Aku menangis sepanjang malam. Aku pikir, semua ucapan terakhirmu itu adalah ucapan yang tak benar-benar keluar dari hati dan mulutmu sendiri. Aku benar-benar lebur. Apalagi setelah melihat foto-foto pernikahanmu di unggahan Facebook seorang kawan. Aku semakin hancur. Hingga pelan-pelan aku belajar seperti katamu. Belajar melupakan semuanya. Sampai setengah tahun sejak pernikahanmu, sekali pun aku tak pernah melihat dan menemuimu. Aku coba benar-benar lupa, dan tak sadar bahwa melupakan adalah cara paling mudah juga untuk mengingat seseorang.

Sampai pada jam 10 tadi, aku berada pada sebuah taxi. Aku lihat perempuan di tepi jalan. Rambutnya semrawut namun wajahnya begitu manis dan sangat kukenali. Perempuan itu adalah kamu. Aku meminta sopir taxi berhenti sebentar dan menawarkanmu untuk kuantar pulang ke rumah suamimu. Kamu hanya diam. Tapi juga tak menolak. Kamu masuk dan duduk dan terus diam sampai detik ini. Dan aku belum berani bertanya kamu kenapa?

***

Taxi memasuki jalan Diponegoro. Udara semakin dingin saja. “Mas, ntar di perempatan, mau lolos, belok kiri atau kanan?” Dengan menatap spion, sopir taxi bertanya.

“Belok kiri, Pak.” Aku tahu rumah tempatmu tinggal dan suamimu.

“Lolos saja, Pak,” ucapmu dengan segera. “Sekitar 20 meter di sana, aku turun,” tambahmu.

Yang kamu sebut adalah alamat rumahmu. Tentu aku masih ingat. Gang Melati 04. Akhirnya untuk pertama kalinya aku memberanikan diri bertanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Pada hidupmu?” Aku memandangmu tajam.

Kamu menoleh dan memandangku jauh lebih tajam.

“Randuse. Sore tadi aku resmi bercerai. Ketukan palu di pengadilan sudah mengakhiri semua kisahku dengan suamiku.”

Kamu terisak. Matamu tampak berkaca-kaca. (*)

Majidi, Maret 2020

RIFAT KHAN bergiat di Komunitas Rabu Langit Lombok Timur. Cerpennya tersiar di berbagai media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *