Sepuluh Alasan Kenapa Kita Harus Membicarakan H.B. JASSIN Sekarang dan di Masa-Masa Selanjutnya | oleh NIRWAN DEWANTO
* Dipidatokan oleh Nirwan Dewanto di Perpustakaan Nasional pada 22 Februari 2022 dan di Gedung DPR pada 23 Februari 2022.
Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kawan-kawan di Gorontalo dan Jakarta, yang telah mengundang saya kemari, ke dalam forum ini, forum yang hendak mempertegas—izinkan saya mengutip dari dua undangan yang saya terima—“upaya besar H.B. Jassin” dalam “mencerdaskan bangsa Indonesia” dan “menjaga kebebasan mencipta manusia Indonesia” dan, kemudian, mengupayakan ia untuk menjadi “pahlawan peradaban Indonesia”. Izinkan saya mengajukan sepuluh alasan tentang kenapa Pak Jassin (begitulah saya memanggilnya) sangat layak kita hadirkan sekarang dan terus-menerus dalam kancah kontemporer kita.
Yang pertama, ketokohan. Saya hendak menekankan kembali bahwa H.B. Jassin, sejak 1940-an hingga wafatnya pada 2000, menghimpun ke dalam dirinya peran-peran selaku redaktur berbagai majalah sastra, kritikus sastra, pengajar-pendidik sastra, dokumentator sastra, dan penerjemah sastra. Predikat yang masih bisa diperpanjang ini sesungguhnya satu kesatuan belaka, yang tak terpisah satu sama lain. Saya berpendapat, tidak ada seorang pun yang menjalankan rangkap-peran setebal itu—apalagi dengan rentang waktu yang begitu panjang, terutama lagi di masa sekarang, ketika makna profesi dan profesionalisme menjadi sangat sempit-sesak—baik di Indonesia dan di mancanegara. Jassin adalah warisan langka dalam sejarah Indonesia, yakni sejarah yang hingga sekarang, mohon maaf, terlalu banyak dimaknai secara politik. Pun sosok sejenis Jassin sangat langka dalam sejarah kebudayaan di abad 20 di kancah yang mana pun juga.
Yang kedua, apa yang saya sebut sebagai ketokohan di atas ternyata adalah antinomi seratus persen terhadap ketokohan yang kita tatap pada hari-hari ini. Tokoh-tokoh kita sekarang adalah mereka yang gemerlapan; pengundang tepuk tangan, dukungan, cap jempol, dan seterusnya; mereka yang dilumuri oleh stardom syndrome. Jassin sesungguhnya adalah seorang anti-tokoh, anti-star, penempuh jalan hening-sunyi, figur yang sungguh-sungguh harus ada dan “diperbanyak” bila kita hendak mengembangkan lelaku riset dan eksperimentasi. Pada saat kita didesak oleh ambisi hendak “berguna bagi nusa dan bangsa”, kita justru mengabaikan banyak sekali kiprah sunyi-sepi kaum spesialis di kalangan keilmuan, kesenian, penelitian dan pengkajian. Dalam berkarya, Jassin adalah penghuni laboratorium atau menara gading, tentu dalam arti yang positif. Peradaban, via Jassin, harus dikembangkan dari bagian paling hulu, dari “dapur” nun di belakang sana, jauh lebih dulu dan utama daripada berpameran di etalase. Berbeda dengan Jassin, tokoh-tokoh kita yang sekarang terlalu cepat “tergoda untuk diterima publik luas”.
Yang ketiga (masih erat kaitannya dengan butir pertama dan kedua), Jassin mengamalkan nilai-nilai yang sekarang sangat jarang kita dapati di kalangan kaum profesional kita—ketekunan, kerajinan, ketabahan, keberanian, ketelitian, kesetiaan, dan ketakpamrihan. Sambil menjadi “pendorong, penjaga dan batu canai dalam pembentukan pemikiran dan perkembangan kesusastraan Indonesia”—di sini saya mengutip A. Teeuw, filolog dan kritikus sastra terkemuka—ia merupakan “satu-satunya orang yang secara sadar dan penuh khidmat mengabdikan dirinya untuk memainkan peranan penanggung dosa orang lain dan penderitaan segala akibat.” Sesungguhnya kiprah Jassin sangat jauh dari heroisme, namun ia tak segan untuk berada paling depan ketika serangan datang ke dalam masalah yang seringkali dimulai bukan oleh ia, tetapi oleh pihak lain, termasuk sastrawan sendiri.

Yang keempat, untuk melanjutkan butir ketiga, Jassin menjadi saksi bagi pertumbuhan sastra Indonesia sepanjang enam dekade, dan berani memutuskan apa-apa yang penting bagi khazanah sastra sendiri maupun bagi sidang pembaca (tentu juga dengan risiko berbuat keliru); ia, misalnya, sebagaimana kita tahu, berani mengatakan Chairil Anwar ialah seorang pembaharu besar dan Amir Hamzah adalah sang “raja penyair Pudjangga Baru”. Dalam kedua kasus ini, Jassin ternyata benar. Saya perlu menekankan pendekatan Jassin yang kanonik tersebut, sebab dalam kebudayaan kita maupun “kebudayaan dunia” sekarang merajalela pendekatan yang politically correct, di mana penilaian yang tanpa pamrih dianggap tidak ada—penilaian apa pun selalu terikat kepada apa yang bernama politik, khususnya politik identitas. Tentu saja Jassin bukan sejenis paus, kardinal, ayatullah, atau imam besar; tidak ada niatnya untuk mengejar posisi yang demikian. Penilaiannya adalah hasil yang sewajarnya dalam pencariannya akan “butir-butir mutiara” di kedalaman laut sastra Indonesia.
Yang kelima, saya ingin mengatakan bahwa sastra Indonesia—tepatnya, karya-karya terbaiknya—adalah pelaksanaan terbaik dari amanat “menjunjung bahasa persatuan”. Sastra Indonesia, dalam himpunan keseluruhannya, ialah the private history of our nation, dan untuk itu Jassin telah menjadi wali penjaganya yang setia (ia sendiri pernah berkata penuh humor bahwa ia adalah penjaga kuburan sastra Indonesia). Jassin seringkali melihat (dan mengakui) apa yang belum dilihat orang lain, yaitu pembaharuan sastra, atau potensi ke arah sana. Dalam situasi “komunikasi yang wajar”, bahasa Indonesia mudah terjatuh ke dalam jebakan jargon, slogan dan rumus: kita seringkali lupa bahwa bahasa kita bisa mandek, tumpul, renta, dan aus. Sastra kita meremajakan terus-menerus bahasa Indonesia. Para redaktur-kritikus seperti Jassin melancarkan peremajaan ini. Ia menyediakan sarana bagi munculnya pembaharuan tersebut, yakni di majalah-majalah sastra yang diasuhnya.
Yang keenam, Jassin membangun dokumentasi sastra Indonesia berskala raksasa, sendirian. Ini adalah sesuatu yang tak bisa terbayangkan pada masanya, apalagi pada masa kita. Sesuatu yang, dengan sokongan Gubernur Ali Sadikin, kelak bernama Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Ini adalah kerja khas Jassin, kerja yang sangat keras kepala dan tak mengenal istirahat. Kerja “gila” yang tidak akan dilakukan oleh siapa pun dan lembaga apa pun—di Indonesia atau di negara mana pun di dunia ini. Ignas Kleden pernah berkata, jika untuk berbagai penelitian ilmu-ilmu sosial dan humaniora Indonesia kita harus mencari arsip dan dokumentasi ke pusat-pusat penelitian di mancanegara, maka hanya dalam penelitian sastra kita bisa tetap tinggal di Indonesia—di lembaga yang didirikan Jassin tersebut. Saya berpendapat, ikhtiar untuk menjadikan Pak Jassin sebagai “pahlawan peradaban” semestinya satu-menyatu belaka dengan segenap langkah untuk merawat dan mengembangkan terus-menerus Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Yang ketujuh, Jassin membuktikan bahwa daerah-daerah di Indonesia (luar Jawa, misalnya, dalam hal ini adalah Gorontalo), bukan hanya bisa melahirkan putra daerah, bukan hanya manusia Indonesia, tetapi juga manusia internasional-universal. Dengan ini Jassin juga menunjukkan bahwa wawasan nasional Indonesia, wawasan peradaban Indonesia, harus diperkaya dengan wawasan internasional dan mesti mencapai mutu internasional (“sastra Indonesia adalah warga sastra dunia,” demikianlah Jassin menekankan). Salah satu faset profesionalisme Jassin yang terpenting adalah bahwa ia selalu mempertahankan kebebasan mencipta (yang dari jurusan lain bisa disebut kebebasan akademik) terhadap tekanan yang datang dari paham-paham sempit dari agama, politik, golongan, ras, dan seterusnya. Kita perlu mengatakan hal ini dengan gamblang manakala dikotomi pusat-daerah, pusat-pinggiran, dunia-Indonesia tidak juga hapus di zaman globalisasi tahap lanjut ini. Daerah, sebagaimana ditunjukkan oleh kiprah Jassin, bukanlah sekadar satu unit dalam “Taman Indonesia Indah”.

Yang kedelapan, Jassin menunjukkan bahwa untuk membangun peradaban Indonesia, seseorang harus masuk ke dalam sebuah disiplin. Dalam hal ini, ia masuk melalui sastra, dan mengikuti seluruh tantangan yang berada di jalan sastra ini. Dengan begitu, kebudayaan Indonesia tidak bisa bersifat preskriptif, namun harus dipergulatkan di medan yang sesungguhnya, “praktis”, dan baru kemudian bersifat reflektif. Secara sastra, artinya secara Jassin, peradaban Indonesia adalah eksperimentasi yang terus-menerus oleh kaum spesialis, yaitu spesialis yang berwawasan luas justru untuk mempertajam pengkaryaannya. Kebudayaan dan peradaban sebagai sumber-sumber kreativitas hanya bisa dilindungi dengan kesungguhan disiplin (seni dan ilmu) masing-masing, dengan kompetisi yang semestinya.
Yang kesembilan, Jassin juga memperlakukan dirinya menjadi jembatan apresiasi. Seorang redaktur sastra dan kritikus sastra seperti Jassin tidak cukup hanya mengakui adanya pembaharuan sastra, tapi juga harus mengabarkannya, menjelaskannya ke khalayak. Buku-buku Jassin juga harus dilihat sebagai caranya mendidik masyarakat—mencerdaskan bangsa Indonesia. Pendekatannya yang kanonik sesungguhnya adalah caranya mengatakan bahwa kita, masyarakat Indonesia, layak hidup dengan hasil-hasil kebudayaan yang bermutu tinggi, sebagaimana bangsa-bangsa maju di dunia ini. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang hanya mencapai kesemenjanaan, mediocrity. Menghadapi, membaca karya-karya yang terbaik adalah bagian dari proses belajar menjadi Indonesia yang lebih baik lagi.

Yang kesepuluh, kiprah Jassin selalu menjadi kontra-argumen bagi kita di semua zaman, termasuk zaman ini. Pada saat ini, ketika semua hasrat kita untuk mencapai kemajuan serta ketinggian mutu dan profesionalisme harus mengalami “birokratisasi” (menunggu “kebaikan negara” atau “kebaikan filantropi”), kita teringat kepada Jassin yang memperjuangkan semuanya dengan jiwa-raganya sendiri. Kini, sambil mengingat kiprah Jassin itu sebagai semacam keajaiban, kita layak mengikuti ia dalam hal keberanian, kesetiaan, ketekunan, kesendirian, kenekatan, ketakpamrihan. Membicarakan Jassin sekarang dan di masa-masa selanjutnya adalah sarana kita untuk memelihara eksperimentasi dan kreativitas dan kepiawaian di jalan profesi yang hening-sunyi. Jassin selalu menjadi nilai alternatif di zaman sekarang ketika uang, kemasyhuran, dan dukungan politik adalah segala-galanya. Hans Bague Jassin adalah sebuah anti-monumen yang monumental. []
—Nirwan Dewanto (20 Februari 2022)

NIRWAN DEWANTO adalah penyair, esais & kurator. Buku-bukunya adalah, antara lain, Buli-Buli Lima Kaki (puisi), Museum of Pure Desire (puisi dalam terjemahan Inggris), Buku Jingga (prosa), dan Kaki Kata (esai).