CandikataEsaiRupaSeni

Seni Rupa Butakala Plastik MADE BAYAK

Made Bayak kecil bermain di sawah. Di sekitarnya, hamparan alam hijau sejauh mata memandang. Udara bersih. Burung-burung terbang bebas. Tiba-tiba mata Bayak tertumbuk pada sungai kecil yang mengalir di dekat sawah. Ia melihat air sungai, tetapi tidak hanya itu. Bekas kemasan sampo dan aneka sampah plastik lain menari-nari terbawa arus kali. Ia bertanya dalam hati: apa jadinya jika plastik buangan seperti itu semakin banyak? Tentu saja ia tak punya jawaban.

Bertahun-tahun kemudian, episode masa kecil itu terbayang kembali ketika Bayak merenungkan perjalanannya sebagai seniman yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Kali ini ia sudah punya jawaban, tentu saja: sampah plastik adalah masalah besar planet kita. Sudah satu dasawarsa Bayak mencurahkan kegiatan seninya untuk ikut memecahkan problem global pencemaran lingkungan parah akibat ledakan produksi plastik dunia.

Saat ini, sulit membayangkan dunia tanpa plastik. Plastik sangat memudahkan kehidupan manusia. Karena murah dan banyak gunanya, plastik ada di mana-mana. Dari perkakas rumah tangga sampai peralatan rumah sakit, dari kemasan makanan sampai komponen pesawat antariksa. Plastik seakan pilar peradaban manusia kontemporer. Seolah kita hidup pada era yang disebut Bayak sebagai Zaman Plastilitikum. Zaman Plastik.

Masalahnya, plastik tidak hanya menguntungkan, tapi juga merugikan. Sampah plastik mencemari lingkungan. Plastik tak mudah terurai hancur. Sampah plastik bisa bertahan ratusan tahun. Sebagian besar plastik buangan berakhir di laut dan lama beredar di sana, meracuni kehidupan bahari yang menopang ekosistem bumi. Sampah plastik membunuh satwa, dan pada akhirnya membunuh manusia itu sendiri.

Didorong keprihatinan terhadap problem ekologis yang ditimbulkan plastik, Bayak mengembangkan proyek seni yang spesifik mengangkat isu sampah plastik. “Proyek seni sampah plastik” yang telah ditekuninya selama satu dekade itu dinamakannya “plasticology”, gabungan dari kata plastic dan ecology. Dalam plasticology, Bayak menggunakan sampah plastik, terutama plastik kemasan makanan dan kantung plastik bekas, sebagai bahan utama untuk menciptakan karya seni rupa.

Sebagian besar kreasi plasticology Bayak berupa karya dwimatra atau lukisan, meskipun ada juga karya trimatra atau patung. Bayak menciptakan komposisi dari sampah plastik yang ditempelkan pada kertas, kemudian menggambar atau mencetak citra tertentu di atas komposisi itu. “Melalui karya dari sampah plastik, aku menyampaikan pesan bahwa plastik yang kita buang setelah digunakan sesungguhnya belum tamat riwayatnya. Sampah plastik bertahan lama di lingkungan. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan sampah plastik yang kita hasilkan,” tutur Bayak. 

Meskipun mengusung pesan ekologis tentang sampah plastik, lukisan Bayak tidak spesifik bertema sampah plastik. Tidak ada narasi yang secara langsung mempersoalkan sampah plastik. Sebagaimana yang terlihat dalam pameran BHUTA KALA PLASTIK POLENG di Galeri Zen1 Kesiman, Second Floor Coffee, Bali, subjek lukisan Bayak berkisar pada citra budaya tradisional Bali dan makhluk aneh bin ajaib dari alam mitos atau dunia fantasi.

bhuta-kala-plastik-poleng

Bayak tampak tak ingin cerewet berbicara sebatas sampah plastik saja. Materi sampah plastik digunakannya secara simbolis untuk melontarkan kritik terhadap konsumerisme dan komodifikasi budaya, khususnya yang berlangsung masif di Bali sebagai efek pariwisata massal.             

Beberapa lukisan Bayak menampilkan figur yang mewakili citra romantis dan eksotis tentang Bali, sebagaimana yang banyak dieksploitasi oleh industri pariwisata sejak zaman kolonial sampai sekarang. Misalnya, penari Bali atau wajah perempuan Bali. Citra kultural tradisional Bali semacam itu dihadirkan dengan latar belakang mosaik sampah plastik dari produk industri. Bayak seperti menelanjangi realitas buruk rupa Bali sebagai “pulau sampah” di balik kosmetik wajah molek “pulau surga” yang dijajakan industri pariwisata.             

the-warrior-dance
The Warrior Dance

Sejumlah lukisan lain mewakili seri “Bhuta Kala Plastik”. Dengan komposisi lebih sederhana, seri lukisan ini mengetengahkan tas keresek bergambar makhluk mitologis dari khazanah tradisi spiritual Bali. Sumber inspirasinya berasal dari kakek Bayak, seorang perupa tradisional yang karya gambarnya dipersembahkan untuk kepentingan keagamaan Bali. Gambar bermotif tradisional Bali pada tas keresek yang merupakan produk modern mencerminkan pertanyaan kritis Bayak tentang kemampuan tradisi peninggalan leluhur untuk menjawab problem kekinian.            

bhuta-kala-plastik-2
Bhuta Kala Plastik 2

Perkembangan mutakhir plasticology Bayak terlihat dalam karya-karya bersubjek monster fantastis mirip kartun dan wajah mirip topeng. Pembuatan beberapa karya terbaru melibatkan bahan warna alami. Bayak membuat pewarna sendiri dari ekstrak tumbuhan seperti kunyit, buah beri, dan bunga telang. Penggunaan bahan warna alami ini menandai  kesadaran ekologis yang lebih dalam pada proses kreatif Bayak.

legal-alien
Legal Alien III

Selain itu, warna emas menghiasi sejumlah karya mutakhir. Benturan citra mewah emas dengan citra sampah plastik menggemakan dualisme plastik sebagai bahan yang menguntungkan sekaligus merugikan, juga dualisme Bali sebagai “pulau surga” sekaligus “pulau sampah”.             

bhuta-kala-plastik-poleng
Bhuta Kala Plastik Poleng

Seni rupa plasticology Bayak tidak hanya berwujud benda seperti lukisan dan patung, tetapi juga berbentuk nonbenda. Bayak aktif mengadakan lokakarya plasticology. Ia mengajarkan pembuatan karya seni dari sampah plastik. Pesertanya terutama anak-anak. Bayak menanamkan kesadaran pada anak-anak bahwa sampah plastik adalah problem yang harus dipikirkan, disikapi, dan dijawab. Pemanfaatan sampah plastik sebagai bahan karya seni adalah jalan masuk untuk memperkenalkan pencarian solusi atas sampah plastik. Plasticology mencirikan praktik seni rupa kontemporer yang tidak hanya memproduksi benda seni, tetapi juga merambah aktivisme.             

Sebagai seniman yang mengampanyekan kesadaran lingkungan, Bayak merawat sikap moral berkesenian yang sejalan dengan apa yang dikampanyekannya. Ia berprinsip bahwa pembuatan karya seni berbahan sampah plastik tidak boleh justru menghasilkan sampah. Sampah plastik yang dikumpulkannya untuk membuat karya seni harus sedapat mungkin dihabiskan. Kalau pun tersisa, ia simpan untuk membuat karya lain. Prinsip “berkarya tanpa bersampah” itu pernah membuat Bayak menolak pesanan membikin karya patung dari sampah plastik untuk suatu acara. Pasalnya, pihak pemesan tidak dapat menjamin patung itu tidak bakal menjadi sampah setelah acara berakhir.             

Kendati bersikap kritis terhadap sampah plastik, Bayak tidak antiplastik. Ia sangat menyadari bahwa plastik, dengan segala mudaratnya, tetaplah membawa manfaat. Sikap antiplastik juga tidak realistis baginya, karena sampai hari ini belum ada alternatif yang dapat menandingi plastik, terutama dalam hal kepraktisan dan keekonomisan.

Dalam seri karya “Bhuta Kala Plastik”, Bayak mengumpamakan plastik sebagai butakala, makhluk halus yang bersifat merusak. Kepercayaan Bali menggariskan agar orang tidak membunuh atau mengusir butakala, melainkan menenangkannya. Kekuatan destruktif butakala tidak dimatikan, tetapi dijinakkan. Ibarat butakala, plastik tidak ditolak Bayak, tapi justru dirangkul untuk dikendalikan penggunaannya, sebagaimana ditunjukkan dalam plasticology.             

Sikap Bayak terhadap plastik selaras dengan pandangan “materialisme ekologis” atau “materialisme lingkungan”. Mengacu pada pemikiran Jane Bennett, Linda Weintraub dalam To Life: Eco Art in Pursuit of a Sustainable Planet (2012) mengatakan “materialisme lingkungan” bukanlah materialisme yang berkaitan dengan konsumerisme yang merayakan kepemilikan dan kemelimpahan materi. Materialisme lingkungan menganjurkan hubungan yang bijaksana dan penuh makna dengan lingkungan materi. Kita harus menghargai segala benda, karena segala objek materiel merupakan bagian dari jaring-jaring rapat yang menghubungkan semua komponen lingkungan, baik makhluk hidup maupun benda mati.             

Diresapi pandangan “materialisme ekologis”, seni rupa Bayak menganjurkan agar kita menghargai plastik. Tidak menggunakan plastik secara berlebihan, dan tidak membuang sampah plastik secara sembarangan. Plasticology mengajak kita untuk lebih bijak melihat persoalan sampah plastik dan lebih arif menggunakan plastik.

ARIF BAGUS PRASETYO

Penulis, penerjemah, dan kurator seni rupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *