SENI LUKIS WAYAN APEL HENDRAWAN

oleh Arif Bagus Prasetyo

Sebuah perahu di tengah sungai. Figur dewa dan wujud demonik. Sesosok bayi di antara empat kepala raksasa bertaring dan empat orang dewasa. Dua dunia yang berlawanan terhampar dari tepi ke tepi. Di sisi kanan terbentang alam terang, hijau, air segar, citra surga. Di sisi kiri terentang alam gelap, merah, amuk api, citra neraka.

Demikianlah gambaran yang tersaji dalam lukisan “Sang Diri”, satu karya kunci Wayan Apel Hendrawan. Lukisan ini bercerita tentang hakikat manusia. Sang perupa berbicara perihal manusia yang terbuat dari lima elemen fundamental alam semesta, yaitu tanah, air, api, udara, dan ruang – lima anasir yang di Bali dikenal sebagai Pancamahabhuta. Ia sampaikan bahwa sejak lahir, manusia ditemani oleh empat saudara kandung mistis yang di Bali disebut Kanda Mpat. Dituturkannya bahwa manusia, juga seluruh alam semesta, adalah medan interaksi dua kekuatan yang berlawanan: terang-gelap, positif-negatif, kutub-kutub energi yang di Bali dinamakan Rwa Bhineda. Lukisan “Sang Diri” memberikan kesaksian benderang tentang pandangan dan kreativitas artistik Apel yang pekat diwarnai budaya Bali, tempat sang seniman dilahirkan dan dibesarkan.

Secara khusus, wacana Kanda Mpat dalam lukisan “Sang Diri” menawarkan pintu untuk memasuki karya-karya Apel yang lain. Kanda Mpat, menurut Andrea Acri dalam “Pancakusika and Kanda Mpat” (2014), menyediakan tautan antara mikrokosmos dan makrokosmos, manusia dan Tuhan, elemen-elemen alam dan psiko-fisik beserta realitas supra-duniawinya. Kanda Mpat merupakan unsur kunci yang membingkai identitas individu di dunia rohani, di dunia materi, dan di masyarakat. Selaras dengan pandangan Bali tentang realitas yang berlapis-lapis, Kanda Mpat terlibat di tiga tingkatan realitas yang membingkai segala yang ada di alam semesta fisik maupun alam semesta batin, yaitu tingkatan elementer, tingkatan manusia, dan tingkatan dewa.

Seakan diresapi wacana Kanda Mpat, seni lukis Apel berpijak pada gagasan Bali tentang individu sebagai jagat kecil yang mencerminkan jagat besar dalam realitas yang bertingkat-tingkat. Gagasan ini ibarat jantung yang tak henti-henti memompa darah segar ke sekujur tubuh kreativitas Apel. Inilah gagasan utama yang terus-menerus dijelajahi dan dimaknai Apel dengan berbagai cara dalam lukisan. Karya-karyanya dapat dibaca sebagai sebentuk perjalanan batin menembus lorong-lorong imajinasi untuk menyingkapkan hakikat sang diri sebagai bagian integral dari alam semesta.

Meskipun pada dasarnya berpusat pada wacana tentang diri, lukisan-lukisan Apel tidak didominasi penggambaran figur manusia. Dalam pameran tunggal mutakhirnya, Into the Secret of Cosmic Energy, di Galeri Zen1, Bali, 27 Januari – 9 Februari, figur manusia dapat dikatakan hampir absen dari kanvas. Beberapa lukisan memang menampilkan citra wajah manusia, tetapi atribut yang melekat pada wajah itu menunjukkan status adimanusiawi. Wajah manusia dalam lukisan Apel mewakili perwujudan dewa. Sejalan dengan pandangan religius Bali, sejumlah karya Apel yang bersubjek dewa menyiratkan potensi diri manusia untuk berkembang dari tahap kasar ke tahap halus hingga akhirnya mencapai tingkatan tertinggi, yaitu “menjadi dewa”.

Sebagian besar karya baru Apel menghadirkan citra binatang. Ada lukisan kuda, gajah, harimau, dan kerbau. Binatang-binatang tersebut dipilih karena memiliki makna simbolis penting dalam budaya Bali. Mereka adalah kendaraan dewata. Kuda merupakan wahana Dewa Surya, gajah adalah tunggangan Dewa Indra, harimau merupakan wahana Dewi Durga, dan kerbau adalah tunggangan Dewa Yama. Sebagai semacam “perpanjangan” dari dewa yang menungganginya, binatang-binatang itu menjadi lambang dari karakter dewa yang bersangkutan. Dalam perspektif religius Bali, manusia berpotensi “menjadi dewa”. Maka binatang tunggangan dewa dalam lukisan Apel juga melambangkan potensi yang terpendam dalam diri manusia. Contohnya, potensi atau hasrat yang berkaitan dengan kekuasaan, sebagaimana yang tersirat dalam lukisan yang menyajikan citra harimau – sang raja rimba – dan mahkota.

Pandangan Bali tentang semesta yang tercipta dari elemen-elemen fundamental digemakan oleh pelukisan citraan semi-abstrak pada kanvas Apel. Bentuk manusia (atau tepatnya, adimanusia), binatang, gunung dsb. dikonstruksi sebagai muncul dari unsur-unsur pembangun berupa paduan ekspresif bidang-bidang warna. Sering kali bidang-bidang warna tidak hanya membentuk citra tertentu, tetapi juga mengisi latar di sekitarnya, seakan-akan menegaskan bahwa segalanya tersusun dari bagian-bagian elementer yang sama.

Elemen-elemen fundamental alam direpresentasikan pula dengan cara lain yang lebih simbolis. Hampir semua lukisan Apel mengandung komponen visual yang dapat ditafsirkan sebagai menyimbolkan elemen-elemen fundamental. Antara lain, warna hitam atau coklat yang berasosiasi dengan tanah, warna biru atau hijau yang mengingatkan pada air, warna merah atau bentuk mirip lidah api yang mewakili api, dan suasana berkabut yang membangkitkan kesan tentang pergerakan udara dalam ruang.

Tanda kultural Bali lain yang kerap mencirikan karya Apel adalah aksara Bali. Banyak lukisan Apel digurati aksara Bali yang menggaungkan tulisan suci atau tulisan mistis dalam tradisi Bali. Di Bali, penekun dunia spiritual seperti pendeta dan balian kerap memanfaatkan aksara untuk sarana pelindungan, pemberdayaan, penyembuhan dsb. Pengguratan aksara untuk tujuan spiritual terdapat dalam praktik pembuatan jimat rajah (rerajahan) maupun peneraan simbol suku kata mistis pada tubuh manusia (nyasa). Lebih daripada sekadar mengangkat nilai visual artistik aksara Bali, Apel memberikan konteks dan makna baru pada salah satu ragam tradisi mistisisme Bali.        

Dari kanvas ke kanvas, Apel tampak melukiskan pergulatan yang bergejolak dan emosional antara chaos dan kosmos, kelabilan dan kestabilan, kegelapan dan cahaya. Wujud yang dapat dikenali dalam lukisannya hampir selalu terlihat menyeruak keluar dari belantara citraan abstrak yang karut marut atau kelam. Suatu identitas yang stabil seakan terlahir dari rahim daya-daya ganas yang labil dan destruktif. Kemunculan wujud atau sosok tertentu terasa mengumandangkan pesan transformasi dari disintegrasi ke integrasi, dari kekacauan ke ketertiban, dari chaos ke kosmos. Itulah pesan yang menggemakan perjalanan hidup Apel yang pernah mengalami masa keterpurukan suram sebelum “dilahirkan kembali” menjadi pribadi yang lebih baik.

Pada Apel, gagasan Bali tentang harmoni mikrokosmis-makrokosmis boleh jadi tidak berhenti sebagai konsep, teori atau filosofi belaka. Boleh jadi, gagasan itu tersublimasi menjadi sebentuk “hubungan khusus” antara dirinya dan alam. Setidaknya ada dua peristiwa yang mengisyaratkan itu.

Beberapa tahun silam, Apel tergerak melukis gunung meletus. Ketika lukisan itu dipamerkan di Jerman, Gunung Agung meletus. Kemudian, awal tahun lalu, Apel terdorong membuat ogoh-ogoh “Sang Hyang Penyalin” yang diyakini sebagai simbol penolak bala. Tidak lama kemudian, pagebluk Covid-19 melanda dunia.

Mungkin dua kejadian itu kebetulan belaka, mungkin tidak. Yang pasti, sebagai seniman yang juga pendeta Bali, Apel hidup dinapasi dan sekaligus menapasi tradisi ibu kulturalnya.

ARIF BAGUS PRASETYO

Penulis, penerjemah, dan kurator seni rupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *