SENI DAN KEMANUSIAAN | esai Hartanto

Seni untuk kemanusiaan, awal mula saya pahami ketika duduk di bangku SMA. Saat itu, 1 Agustus 1971, di Madison Square Garden, New York City, digelar acara konser amal bertajuk “Concert for Bangladesh”. Konser yang diinisiatori oleh George Harisson dan Ravi Shankar tersebut digelar untuk menyentuh kesadaran internasional, yakni solidaritas yang diperlukan bagi para pengungsi dari Pakistan Timur. Seperti kita ketahui, setelah bencana Topan Bhola  pada tahun 1970 dan perang kemerdekaan yang dikaitkan dengan persoalan genosida pada 26 Maret sampai 16 Desember 1971, kondisi Pakistan Timur (sekarang Bangladesh) amat memprihatinkan.

Perang panjang yang menewaskan 3.000.000 orang tersebut menyentuh rasa “kesenimanan” George Harrison dan Ravi Shankar serta mengajak beberapa seniman dunia untuk bersama-sama menebarkan “kesadaran dunia” tentang pentingnya rasa solidaritas dan cinta sesama. Seniman yang terlibat, antara lain, Ringo Starr, Bob Dylan, Eric Clapton, Billy Preston, Leon Russell, Badfinger, dan Ali Akbar Khan.

George Harrison dan Ravi Shankar berhasil mengangkat isu Bangladesh ke publik dunia, dibuktikan dengan datangnya berbagai bantuan dari negara dan organisasi internasional seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan PBB. Padahal, semula target hasil dari konser ini hanya 25.000 USD. Tapi, yang terkumpul di akhir acara 243.148 USD. Gaung konser ini pun berkepanjangan dan menghasilkan dana jutaan dolar (sekitar 12 juta USD). Sebab – saya kutip dari Wikipedia – konser tersebut diikuti oleh album live terlaris, “The Concert For Bangladesh” – satu set berisi tiga album – dan dokumenter konser Apple Films, yang dibuka di bioskop pada musim semi 1972.

Semua uang hasil konser tersebut dihimpun dalam satu wadah PBB yang bekerja sama dengan George Harrison membentuk sebuah badan amal yang disebut The George Harrison Fund for UNICEF (TGHFU) yang masih aktif hingga saat ini. Tapi, mohon maaf, saya kurang tahu pasti apakah lembaga ini masih aktif hingga kini. Andai lembaga ini masih aktif, sungguh menjadi legenda tersendiri tentang “seniman dan kemanusiaan”.

Gempa, Seniman, dan Lembaga Seni

Pertama kali saya terlibat dalam seni kemanusiaan adalah saat terjadi gempa magnitudo 7,8 di Flores, 12 Desember 1992. Waktu itu, majalah Matra, tempat saya bekerja, menugaskan untuk peliputan bencana besar tersebut. Namun karena saya, perupa l Made Wianta, koreografer Sardono W. Kusumo, Romo YB Mangunwijaya, wartawan Kompas Sudjiwo Tedjo, Cak Rina dan Agus Woworuntu berencana bikin kegiatan amal yang difasilitasi oleh Hotel Tandjung Sari milik Agus, maka hanya fotografer Des Maisal Zaenal yang berangkat ke Flores. Kegiatan ini diinisiasi oleh seniman Wiantadan Hotel Tandjung Sari Sanur. Belakangan, pemusik Iwan Fals dan Bujel ikut terlibat dalam kegiatan amal tersebut. Gempa yang disertai tsunami ini memakan korban jiwa 2.500 orang meninggal, 500 orang hilang, 5.000 orang mengungsi, dan 18.000 rumah hancur, menjadi bencana besar bagi Republik Indonesia.

Kegiatan ini menghasilkan sejumlah dana, yang sebagian disalurkan ke lembaga yang berhak dan ke Romo YB. Mangunwijaya yang secara konkret membangun rumah-rumah tahan gempa pada sebagian korban gempa di Flores. Pada kesempatan itu, Sardono menggelar pertunjukan Cak Rina di pinggir pantai, di belakang hotel Tandjung Sari – dan menghasilkan dana dari para wisatawan yang menginap di hotel penuh legenda tersebut. Made Wianta, dan beberapa teman maestro perupa – juga berdonasi karya pada kegiatan tersebut. Iwan Fals, pada 13 Januari 1993, melelang lagu “Maumere”, yang juga didonasikan ke Flores.

Waktu itu, saya tidak mengetahui secara pasti apakah kegiatan lelang Iwan Fals berkait dengan kegiatan Art for Flores (AFF), atau berdiri sendiri dan terpicu dari AFF. Sebab, setelah wacana AFF jadi isu nasional, saya tak banyak mengikuti perkembangan kegiatan tersebut. Yang saya tahu, Romo YB Mangunwijaya secara konkret membangun rumah-rumah tahan gempa di Flores. Seingat saya, perupa-perupa senior seperti Sunaryo dan Srihadi berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Soal seni untuk kemanusiaan yang berkait dengan seniman dan lembaga seni, saya terpicu oleh V Art Gallery Jogja/Jakartadan penggiat seni serta para perupa Bali;  antara lain, perupa I Wayan Sujana ‘Suklu’, Polenk Rediasa, Grace Tjondro Nimpuno, Made Arya Dedok, Putu Adi Gunawan, Ketut Endrawan, serta penggiat seni Wasti dan Darmo. Belakangan, kurator Mikke Susanto ikut terlibat. Waktu itu, Bpk. Budi Pranoto, owner V Art Gallery dan Presdir Astra Oto Part, mendanai kegiatan “V Art Human Mission”, tanpa batas (unlimited). Pada bencana gempa berkekuatan 5,9 skala Richter yang terjadi pada 27 Mei 2006 ini, kami, selain membantu pengadaan kebutuhan pokok, juga membantu instalasi air bersih (seni instalasi yang menghasilkan air bersih) di daerah Sleman, Wonosari, Bantul dan sebagian kota Jogja.

Kepala desa Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Bantul, betul-betul mendukung kegiatan kami. Sebab, ketika kami membikin instalasi air di sebuah tempat, ada partai yang mengklaim kegiatan tersebut dengan menancapkan bendera partai. Dengan serta merta, Bapak Kepala Desa mencabut bendera tersebut.  Pak Kepala Desa juga membantu seperangkat gamelan miliknya saat acara musik untuk perhelatan perpisahan kami yang mengharukan. Sebulan setelah kegiatan/misi kemanusiaan itu, V Art Gallery Jogja mengadakan pameran amal untuk kelanjutan membantu korban di desa tersebut. Pameran dibuka oleh anggota DPR RI, Dyah Pitaloka, S.Sos, M.Si., dan Bapak Kepala Desa di Pundong, Bantul, tersebut.

Yang menggetarkan hati saya adalah partisipasi anak-anak kampung bersangkutan ikut membantu Suklu secara spontan. Waktu itu, Suklu bikin seni instalasi air bersih dengan bantuan pompa air, sabut kelapa, kerikil, arang, dan beberapa filter yang dibeli dari toko. Lebih mengharukan lagi, ketika air bersih mengucur, anak-anak secara spontan mengumandangkan sholawat “Tombo Ati”-nya Cak Nun, yang memang sedang populer di kampung-kampung saat itu. Pada acara perpisahan antara para seniman Bali dan kepala desa serta warga setempat, lagi-lagi nyanyian/sholawat “Tombo Ati” menggema di desa itu pada malam yang pekat.  

Lebih lanjut, pada 12 November 2021, saya berkenalan dengan Pak Ronald Sitolang. Beliau adalah owner PT Karya Mas Makmur, produsen Teh Villa. Pak Ronaldmendapat referen dari keponakan Bapak Johan Budi Sava almarhum, owner toko buku Togamas, untuk menemui saya. Pada pertemuan itu, kami sepakat membikin galeri di area pabriknya. Tapi, dalam diskusi mengenai pendirian galeri, kami setuju untuk berbeda dari House of Sampoerna.  Untuk membedakannya, kami berusaha mengalokasikan sekian persen hasil penjualan untuk kegiatan sosial, misalnya untuk panti asuhan, panti wreda, dan lain sebagainya. Kami hanya ingin berbagi.

Tanpa memerlukan waktu yang panjang, maka pada 13 hingga 24 Desember 2021, digelar pameran yang pertama, menampilkan karya-karya Made Gunawan. Pameran yang bertajuk Living in Harmony itu cukup sukses untuk bisa membantu sebuah panti asuhan di Surabaya. Dan Ronald selaku pemilik galeri berikrar untuk tetap mengalokasikan sekian persen hasil penjualan untuk kegiatan sosial. Tentu, dengan penyempurnaan sistem yang lebih baik.

Pada pameran kedua, digelar karya perupa I Nyoman Sujana ‘Kenyem’. Pameran yang bertajuk Finding Balance pada 6 Mei hingga 26 Juni 2022 itu juga memetik sukses untuk membantu sesama yang membutuhkan. Oleh karenanya, Ronald kian bergairah mengadakan pameran di galerinya agar bisa membantu sesama yang membutuhkan. Terakhir, Teh Villa Gallery menggelar pameran bersama karya Nyoman Sujana ‘Kenyem’, Made Gunawan, Putu ‘Bonuz’ Sudiana, dan Galung Wiratmaja. Pameran yang bertajuk Art for Humanity ini diharapkan juga bisa membantu sesama yang membutuhkan. Pameran digelar dari 22 Juli sampai 27 Agustus 2022.

Seni, Kemanusiaan, dan Anak-Anak

Terus terang, kepedulian terhadap sesama juga saya pelajari dari anak saya, Natya. Saat itu, ketika ia duduk di bangku kelas VIII SMPN 1 Denpasar, ia bersama kawan-kawannya yang aktif pada kursus musik menggelar acara amal di Sektor Restaurant, Hotel Inna Grand Bali Beach. Konser itu diperuntukkan bagi teman-teman (yang tak dikenalnya) yang tertimpa kehancuran akibat peristiwa gempa Padang Sumater Barat sebesar 7,6 skala Richter tahun 2009.

Pada acara tersebut, terkumpul dana cukup banyak dan diserahkan pada komunitas masyarakat Padang di Bali, untuk dilanjutkan ke sebuah sekolah di Padang. Ketika itu, Jeanny, manajer Sektor Restaurant, bertindak selaku ketua penyelenggara. Dan bagi saya, yang menarik dari anak-anak ini adalah semboyannya dalam berkegiatan: We study art not because we want to be artists, but because we are a part of humanity” (Kami belajar seni bukan karena kami ingin menjadi seniman, tetapi karena kami adalah bagian dari kemanusiaan).

Kemudian, pada 23 Februari 2013, saat Natya duduk di bangku SMAN 4, lagi-lagi bersama teman-teman Sekolah Dasarnya yang juga ikut kursus musik, khususnya piano dan biola, menggelar acara amal untuk guru SD-nya yang menderita penyakit lupus. Acara bertajuk “Love for Our Beloved Teacher” itu dihadiri juga oleh guru yang bersangkutan. Dana yang terkumpul langsung diserahkan pada ibu guru tercinta. Sayang, tak berapa lama, ibu guru tercinta mesti meninggalkan murid-murid yang mencintainya.

Dari situ, saya banyak belajar dari kemurnian jiwa anak-anak. Untuk menggerakkan “rasa kemanusiaan” secara nyata, kita tak perlu mesti kehilangan 3.000.000 jiwa seperti yang terjadi di Bangladesh. Bagi saya, cukup merenungi semboyan anak-anak yang tergerak hatinya karena “rasa kemanusiaan”: “We study art not because we want to be artists, but because we are a part of humanity” (Kami belajar seni bukan karena kami ingin menjadi seniman, tetapi karena kami adalah bagian dari kemanusiaan).

*Esai ini disampaikan dalam acara diskusi “Seni Pascapandemi, Seni untuk Kemanusiaan” di Warung Mina Renon, Denpasar, 29 Agustus 2022.

Hartanto adalah petani, tinggal di Bali.

**Gambar Utama: Foto Tim Marshall di Unsplash

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *