Sembilan Sajak Purnama | Angga Wijaya
Catatan penyair:
W.S. Rendra, dalam “Sajak Sebatang Lisong”mengkritisi para penyair yang disebutnya penyair salon, yang hanya memikirkan keindahan sementara tidak peka dengan keadaan sosial di sekitarnya. Aku bertanya/ tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon/yang bersajak tentang anggur dan rembulan/sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya/ dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian//. Sajak-sajak saya berikut berangkat dari purnama dan rembulan. Bukan berarti saya termasuk penyair salon, seperti istilah W.S. Rendra. Pendekatan yang saya lakukan berbeda; saya melihat mistisisme purnama. Bulan penuh memberi inspirasi juga suasana meditatif, dan sajak-sajak ini “datang” menghampiri. Selamat menikmati dan mengapresiasi. Salam hangat, Angga Wijaya.
Kopi Dini Hari Duduk manis di beranda Rembulan terang di barat Sinarnya di tengah alis Pusat segala kesadaran Cahaya segala cahaya Lembut, sangat halus Tempat arwah berumah Sebelum lahir kembali Kunyalakan api diri ini Bakar segala dosa-dosa Engkau begitu perkasa Wahai penguasa alam Kuhangatkan tubuhku Secangkir kopi tubruk Meditasi di beranda hari Waktu berlalu tak kurasa 2019 Kota Tanpa Purnama kenangan itu datang lagi mengajak kita mengenangnya bukan hitam bukan putih hanya kelam kelam yang tak sungguh kelam telah jauh setapak kita lewati aku tak memungut sesuatu pun sebab aku tahu itu akan lepas genggamanku tak erat malam ini tak ada purnama mendung telah menelannya seperti malam kemarin hujan terus membasahi kota kota tanpa purnama. 2009 Purnama Merindu Aku merindukan-Mu Pada hening meditasi Doa kuhaturkan di altar Tarian kupersembahkan Mengundang-Mu datang Di sudut hati berbunga Kudengar seruling-Mu Di tepi sungai Yamuna Para gopi berkumpul Bersama kerinduan Begitu membuncah Dia datang tersenyum Nyanyian menggema Seribu bayang-Mu Peluk tubuh merindu Pada terang purnama Pertemuan illahi, Dia dan hanya Dia Govinda! Kesava! Sang Pencuri Hati Di kaki-Mu aku bersujud. Hari Bol! 2018 Cinta Rembulan Bulan sabit di langit barat Membuka kenangan kita Menjadi manusia baru Melepas baju-baju lama Awan menutupi sinar-Nya Tak ada cahaya di kamar Temaram merkuri jalanan Sisakan lolongan anjing Hening menjadi bening Pintu hati terbuka lebar Kita berjalan ke surga Bersama cahaya-Nya 2019 Rembulan Terbenam Baik. Akan kuantar Kau terbenam Hyang Chandra, Kekasih-Ku. Akankah kita bertemu lagi, Cintaku Kutunggu malam-malam purnama Hingga penuh hati dengan rindu Bersinar penuh, liputi jiwa gersang Di ujung kepala-Ku kau bertahta Menjadi air suci menjelma Gangga Jangan pergi sekarang, KEKASIH! TUNGGU HINGGA MALAM TIBA Aku menari di ujung jalan panjang Bagai orang sinting tak tahu arah Biarkan mereka membicarakan kita Cinta-Mu Cinta-Ku hanya kita berdua Rayakan malam ini dengan cahaya Semesta tak pernah berdusta. Kau. 2019 Purnama Belum Usai "Masa laluku begitu buruk, bisakah aku menuju tuhan?" Siang menyengat matahari Kita berbincang amat jauh Menembus relung hati nun Waktu berhenti di ruang ini Pertanyaan itu entah siapa Kisah lama di halaman asa Akulah perampok pendosa Penjahat biadab abad lalu Ingin kutanyakan paduka Siapa berkhianat padaku "Hidup dan mati ilusi abadi, mengejar bayangan sendiri" Di bukit semut pencerahan Resi melupakan masa lalu 2019 Malam Sebelum Purnama Awan-awan pergi ke timur Tutupi bulan yang kucinta Putih dan hitam berjelaga Berlalu terbawa angin itu Hyang Chandra tak marah Ia penuh kasih dan sayang Cahaya keluar dari celah Menjelma lukisan langit Di kanvas horison dini hari Aku duduk melihat semua Hingga purnama kembali Sinarnya lembutkan hati Esok sempurnalah dirimu Kubersujud pada-Mu Ibu 2019 Purnama Kesepuluh Perempuan datangi malam Langit bertabur gemintang Kubasuh muka di keran air Wajah penuh kebahagiaan Siapakah Kau hadir di sini Wajah Ibu lama kukenang Mendekatlah, Kekasihku! Kita menari cahaya bulan Jalanan sepi tak ada debu Seruling-Mu merdu telinga Sungai meluap akan rindu Ikan berlompatan gembira Ribuan mantra kunyanyikan Rayakan rembulan tubuhmu 2019 Purnama ribuan nyala pantai senja disana cahaya merah bulan merah aku biru tubuh memerah bibirmu 2009

I Ketut Angga Wijaya, lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Mengawali karir kepengarangan sebagai penulis puisi sejak SMA tahun 2001 saat bergabung di Komunitas Kertas Budaya di kota kelahirannya, tempat ia menimba banyak ilmu bersama Nanoq da Kansas, guru pertama yang mengajarinya menulis, bermain teater, membaca kehidupan, dan melihat dunia dari sisi lain.
Sejak 2018 ia telah menulis 6 (enam) buku kumpulan puisi, Catatan Pulang (Pustaka Ekspresi, 2018), Dua Kota Dua Ingatan (Basabasi, 2019), Taman Bermain (Purata Publishing, 2019), Notes Going Home (Pustaka Ekspresi, 2019) dan Tidur di Hari Minggu (Mahima Institute Indonesia, 2020), Menulis Halusinasi (Lire Publisher, 2021). Juga empat kumpulan esai Masa Depan itu Nisbi (Pustaka Larasan, 2020), Aku Tak Lagi Mendengar Bisikan Suara (Megalitera, 2020), Umbu, Simfoni, Sunyi (Narulis Publisher, 2021), dan Gawai, Pandemi, Kesurupan (Penerbit Lutfi Gilang, 2023) Ia meyakini menulis adalah terapi dan medium katarsis, membawanya menemukan diri dan kembali menyusun kepingan diri yang dulu pernah hilang. Sehari-hari ia bekerja sebagai wartawan sembari terus menulis dan bergiat pada beberapa komunitas di Denpasar. Ia bisa dijumpai di akun Instagram @anggawijaya548.
Photo by Mikhail Nilov: https://www.pexels.com/photo/green-sphere-object-between-blocks-7828027/