SELAWAT SEPASANG LANSIA |cerpen Aksan Taqwin Embe
Jika kau berada di Gentengkali dan langkahmu bergerak pada tahun 1942, maka kau akan memandang Surabaya yang riuh para pedagang rempah dan hidangan berbagai macam makanan, pagi hingga malam di sepanjang jalan. Babi guling, gule kambing, tahu campur, dan ketupat sayur. Barangkali kau akan terheran-heran dengan mengelus dada pelan-pelan. Penjual dan pembeli kebanyakan orang Jepang. Di sisi kanan sekira tujuh langkah dari gerbang utama, kemudian melirik dengan jarak lima jengkal ke kanan, kau akan menemukan perempuan yang selalu mengenakan daster corak biru, kelabu, atau tak jarang warna ungu, dengan rambut ikal yang setengah tertutup kain. Tangannya lentur cekat membanting dan memukul-mukul daging babi yang merah mengucur darah dengan batangan kayu. Setelah ia merasa bahwa daging sudah sedikit lunak—sentuhan jemari ke kiri dan ke kanan berkali-kali sambil mata terpejam, ia meletakkan ke atas perapian secara hati-hati.
“Kelezatan babi ada pada daging yang menyimpan penderitaan,” ucap Perempuan Berdaster.
Terlalu jauh jika kau kuhantar dan harus membayangkan bagaimana wujud masa depan kota Surabaya waktu itu. Banyak lelaki pribumi keluar masuk rumah, terpaksa bekerja dengan tubuh berkeringat telanjang dada. Harapan mereka adalah yang penting mampu menambal perut dan bertahan hidup. Tapi kehidupan selalu sia-sia. Jika kau tahu; ketika kau hidup di masa itu—kau akan melihat bentuk orang-orang pribumi yang terusik, yang mati dengan cara mengenaskan hanya perkara mereka tidak ingin orang-orang merasai kebahagiaan.
Susurilah ke selatan tepian Gentengkali yang sedikit jauh, kau akan bertemu dengan sungai Kalimas yang hanya menyisakan sedikit air tidak begitu pekat. Di tepiannya terdapat tumbuhan-tumbuhan yang kering. Musim kemarau baru saja tandang. Sebentar lagi sungai akan perlahan kering lebih dulu. Bagaimana mungkin?
Entahlah, orang-orang pun limbung kebingungan. Di tepian sungai itu kau akan menemukan satu rumah yang dibangun sekadarnya. Bangunan rumah berbentuk persegi dengan dinding tempelan-tempelan, potongan tripleks bekas yang tidak rata. Atapnya terbuat dari sulaman daun kelapa yang sudah dikeringkan selama tujuh hari dengan doa-doa. Di depan rumah ada gundukan tanah yang mengeras berlapis batu menjorok ke bawah dan langsung terhubung dengan sungai. Di tepi sungai itulah sepasang lansia melakukan ritus rutinitas sebagai keluarga yang bahagia. Salah satu dari sekian rumah di tepi sungai—dianggap paling bagus di antara yang lain—ditinggali mereka; Modin Sar dan Sriminah yang berusaha hidup bahagia—tanpa beban apa pun. Orang lain pun akan menganggap bahwa rumah dirinyalah yang paling bagus ketimbang rumah yang lain. Padahal konstruksi sama—kayu dan tripleks bekas, daun kelapa, dan plastik sebagai jendela.
“Kita lupakan masa lalu yang mendera dada kita berkali-kali setiap menjelang malam, Sar,” ucap Sriminah sambil melipat lengan jaketnya, “jika kenangan itu tumbuh, maka kita tak akan pernah mampu mendapatkan anak kita.”
“Istriku, bukankah justru melupakan masa lalu akan membuat kita semakin terpuruk?”
“Maksudmu?”
“Ketika kita melupakan masa lalu, maka kita tidak akan pernah mampu mengubah kesalahan apa yang pernah kita alami, dan mana yang harus kita perbaiki.”
“Bukan, bukan, bukan itu maksudku, suamiku. Sudahlah, kau tak akan pernah mampu mengerti, suamiku. Tanpa harus kusuruh pun, ingatanmu jauh lebih lemah dua kali lipat tanpa diminta.”
“Kau mengejekku?”
“Tidak, suamiku. Justru aku memujimu. Kau pandai melupakan kisah-kisah masa lalu tanpa disuruh.”
Orang-orang yang tinggal di kejauhan tempat tinggal mereka; jaraknya 200 meter—ditandai dengan gundukan tanah berlapis batu yang menjorok ke sungai—rumah keluarga lain; perantauan yang ingin memperbaiki hidup. Tidak seperti Modin Sar dan Sriminah. Mereka pergi dari rumah dengan perkara lain. Mereka terpaksa pergi dan tidak takut mati. Pada jarak 200 meter berikutnya, kau akan menemukan rumah lagi. Penduduk baru yang barangkali kau akan tertarik untuk menyapa dan berkenalan dengan mereka. Semua memiliki kenangan; bahagia atau suram, impian, dan masa depan.
“Apakah kau dengar suara itu, suamiku?” ucap Sriminah sambil menempelkan telinganya di tripleks yang lembab, “suara itu, mengingatkanku sekitar dua belas, eh, lima belas, atau tujuh belas, ya? Ah, atau sembilan belas tahun yang lalu ketika…” tambahnya.
Sriminah kerap terlintas suara dan bayangan-bayangan anaknya mengintai dirinya. Namun Sriminah selalu kecewa ketika apa yang dirasakan, dan yakin bahwa benar apa yang dirasakan, suaminya tak merasakan apa pun.
“Aku tidak mendengar apa pun, sayang. Sebaiknya kau tidur kembali.”
Modin Sar memotong kalimat istrinya. Ia merebahkan punggung istrinya ke atas tikar secara hati-hati. Begitu juga dirinya, meletakkan punggungnya dengan empasan napas yang panjang. Modin Sar hanya mendengar suara azan yang sayup-sayup. Ia menatap langit-langit yang kering. Kapan saja angin malam akan merasuk melalui celah apa pun yang ada di rumah. Bisa saja tubuh mereka hangat karena selimut tebal. Tapi itu sangat jarang. Kerap mereka merasakan gigil angin malam yang luar biasa. Merasakan angin pergantian musim yang konon selalu membawa penyakit. Menujum perpindahan lintang yang membawa petaka dan harus pindah tempat sewaktu-waktu. Satu selimut tebal yang mereka pakai bersama ternyata masih tembus. Mereka tetap sabar.
“Padahal aku benar-benar mendengar suara itu, suamiku. Suara rintih tangis Lindamayu—anak kita yang…”
Malam perlahan menenggelamkan ingatannya. Angin yang merasuki pori tubuhnya sudah tidak berasa lagi. Modin Sar ingat langgar yang ia tinggalkan dengan tubuh gemetar dan tergesa. Ingat siapa yang harus azan di langgar yang saban pagi dan sore hari ia bersihkan dengan ketulusan tanpa upah dari siapa pun. Semakin ia mengingat, semakin ganas ia ingin lekas pulang.
***
Barangkali orang-orang akan menilaiku perempuan ringkih yang bodoh mencintai Pradopo—lelaki petani tembakau yang beralih menjadi nelayan agar kelak bisa lebih dekat denganku. Berkali-kali kami menempuh perjalanan menyusuri pantai Tuban hanya perkara menghabiskan waktu pertemuan dan kerinduan sampai luruhnya senja. Orang-orang buruh pabrik gula mulai mengemas kelelahannya menuju rumah masing-masing—dihantar dengan menggunakan truk pengangkut sapi.
Pertemuan di tempat itu adalah semata-mata kesepakatan jalur tengah dari keberadaan kami. Setiap kali kami bertemu, maka kami berjanji akan bertemu kembali menjelang purnama yang habis terkikis. Aku tidak peduli ia hadir atau tidak, yang jelas keberadaanku adalah mutlak bukti bahwa aku mencintainya. Nyatanya ia tidak pernah ingkar janji semasa kami sadar bahwa cinta yang hakiki adalah saling memaafkan dan merawat cinta yang ada.
Pradopo sudah beristri, itu alasan bapak dan ibu melarangku untuk hidup bersama. Lebur sudah mimpi-mimpi membangun rumah tangga dan beranak pinak, hidup sakinah, mawaddah, warrahmah. Padahal sudah kuceritakan berkali-kali bahwa hanya Pradopo yang mampu membius ingatan masa lampau yang dilakukan Fernando yang lenyap entah ke mana.
Mula-mula Fernando datang ke rumah dan berjanji kepada bapak dan ibu akan menikahiku. Menurut kami, hubungan selama tiga tahun adalah waktu yang cukup matang bagiku. Bapak dan ibu menolak. Apa kata tetangga jika aku anak modin semata wayang harus menikah dengan lelaki kafir sepertinya. Dengan berbagai alasan dan kelit yang melilit hati ibu, akhirnya bapak menyetujui karena Fernando akhirnya menjadi mualaf. Tapi nyatanya, pada akhirnya ia meninggalkanku kemudian kembali ke agama sebelumnya. Bedebah!
***
Seandainya ibu dan bapakku tahu bahwa ingatan perihal tubuhku adalah aroma busuk yang bisa tercium sampai kedalaman berapa pun, kejauhan berapa pun. Malam itu—15 Mei 1942 sama sekali tidak akan bisa kumaafkan dan tidak akan pernah kulupakan. Ketika para tentara itu meringkus tubuhku di rumah mungil, di atas bukit bilangan kecil di Jombang. Bapak dan ibuku dibekap. Tidak bisa bergerak. Setelah aku diangkut ke dalam mobil truk baja warna hitam, mereka bergegas naik. Sementara ibu dan bapak dibiarkan lunglai tak berdaya. Aku melihat mata mereka menderaskan air mata. Aku mendengar suara parau teriakan bapak, mendengar jerit lengking ibu yang semakin lama semakin mengecil. Semakin menjauh. Rupanya di dalam mobil aku tidak sendirian. Banyak perempuan di dalam. Ada Kinanti, temanku baca quran—murid bapakku di langgar Al-hidayah. Tapi mengapa aku tidak menemukan wajah sayu atau ketakutan pada Kinanti?
“Kita akan bersenang-senang di Surabaya.” ucap tentara yang di dada kirinya tertulis nama Osamu.
Aku sangat tidak percaya dengan mereka. Mengapa perempuan-perempuan di dalam mobil ini justru sorak bahagia? Bodoh! Kalau saja mereka berniat baik, mengambil tubuhku pun dengan cara baik-baik. Oh, ya. Kalau tidak salah ini adalah tiga kalinya mereka ingin menjemputku. Dua kali sebelumnya mereka beralasan bahwa aku akan diberikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Tentu saja, bapak dan ibuku tidak percaya dengan akal bulus para tentara. Bapak selalu meronta, mereka mendesak dengan cara kekerasan. Ini adalah langkah terakhir, mereka menjemputku dengan membekap bapak dan ibu. Beruntung sekali, mereka tidak menghabisi nyawa bapak dan ibu. Lalu, apakah perempuan-perempuan ini beranggapan bahwa mereka akan diberikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga?
Jrusss (meludah). Omong kosong. Sesampai Surabaya tubuhku dilempar di dalam kamar. Pengap dan gelap. Hanya ada satu lilin yang sudah hampir habis meleleh. Punggungku dicambuk dengan sabuk berkali-kali. Aku dipaksa membuka kedua paha, kemudian tentara bedebah itu meneteskan lelehan lilin ke selangkangku. Ketika aku teriak dan meludahi mukanya, ia menamparku, menjambak berkali-kali. Malam itulah paling sial buatku. Ia menggagahi tubuhku. Setelah ia lemas tersungkur di atas dadaku, masuk kawannya. Masuk lagi, lagi, dan entah tentara yang ke berapa menggagahi aku sampai aku tak sadarkan diri.
Ketika aku sadar, di sampingku sudah ada Kinanti. Ia tidak sadarkan diri. Ia terlihat pucat dengan tubuh penuh keringat telanjang dada.
***
Modin Sar dan Sriminah bisa sampai ke Surabaya berkat pengepul tembakau dari Jombang yang akan mengirimkan kembali tembakau-tembakau pilihannya ke Surabaya. Tetangga-tetangganya riuh setelah mereka mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang dibawa tentara itu menuju Surabaya telah dijadikan budak nafsu bagi mereka. Mereka terkejut ketika mengetahui Modin Sar dan Sriminah akan menuju ke Surabaya mencari di mana keberadaan anaknya.
“Kalian saya turunkan di sini, ya, Mbah.” ucap pengepul. Truk berisi tembakau melesat seperti kilat. Buntelan sarung mereka tenteng pelan-pelan. Entah bagaimana nasib pengepul itu jika sampai ketahuan atau tertahan oleh tentara-tentara itu. Habislah ia, pasti! Tepian Kalimas adalah tempat pelarian orang-orang. Mereka sengaja mengasingkan diri atau bersembunyi dari keramaian, atau apalah itu; memperbaiki kehidupan dari kampungnya menuju kota. Urusan mati belakangan. Terpenting mereka mampu berpindah dari tempat kelahirannya yang sudah tidak sehat baginya.
Kedua lansia itu kebingungan. Tempat yang asing bagi mereka ini sungguh sangat menyesakkan dada. Mereka saling berpegang tangan. Tangan satunya memegang buntelan. Berjalan pelan-pelan. Saling berselawatan.
“Ke mana arah kita, istriku?”
“Sepertinya ke Selatan, sayangku. Aku melihat burung-burung bangau itu terbang ke arah sana.”
“Setajam itu penerkaanmu, istriku.”
“Ini sangat nyata, ini bulan November, suamiku. Burung-burung itu akan pergi mengasingkan diri, ke selatan. Sepertinya sebentar lagi adalah musim hujan. Musim yang membuat mereka merasai angin yang gigil.”
Mereka menyusuri tepian sungai. Sar berhenti di tepian gundukan tanah, di bawah pohon kapas. Sriminah meletakkan buntelannya. Ia duduk pelan-pelan dan bersandar di batang pohon.
“Aku lelah, Sar.”
“Iya, kita istirahat, sayang.”
***
“Semalam aku bermimpi, istriku.” Modin Sar memandang lekat mata istrinya yang masih setengah sadar dengan tubuh tertutup selimut tebal.
“Kau mimpi apa, suamiku?”
“Aku bermimpi kita sedang merayakan pesta, sayang.”
“Pesta untuk siapa?”
“Untuk anak kita. Anak kita telah menikah dengan anak Ustaz Saleh. Tetapi dalam mimpi itu ada yang aneh, istriku.”
“Maksudmu?”
“Aku melihat bulan tiba-tiba membelah dua. Kemudian ribuan kucing keluar dari bulan itu, turun lalu membawa Lindamayu—anak kita dengan suaminya itu menembus langit.”
“Yaa, Tuhan. Ini petanda buruk. Lekas kau wudu kemudian salat sunah dua rakaat. Lekas, sebelum bencana akan menimpa kita.”
“Istriku, hentikan tafsir konyolmu.”
“Benar, suamiku. Ini benar.”
Modin Sar menuntun Sriminah berselawat berkali-kali sambil mengusap-usap dada untuk meleburkan mimpi. Tahukah kau bahwa ketika kau tertimpa musibah kemudian kau berselawat berkali-kali maka kau akan mendapatkan kebaikan yang melapangkan dadamu?
“Suamiku, ke mana lagi kita harus mencari anak kita?”
“Tetap rapal doa, sayangku. Allah akan mempertemukan.”
“Mari kita melakukan perjalanan, suamiku. Setelah kita menunggu di sini, terlalu lama. Melintasi puluhan purnama aku merasakan lelah. Sebaiknya kita pergi dari sini.”
“Baiklah, sayang.”
Modin Sar dan Sriminah bergegas. Menggelar sarung kemudian mengikat-menenteng butelan-buntelan berisi baju serupa waktu itu. Jalan pelan-pelan saling beriringan. Saling berpegangan. Saling merapal selawat. Sesekali berhenti mengelus dada, Modin Sar mengecup kening istrinya.
“Arah ke mana kita, Sar?”
“ Ke utara, istriku.”
“Ada apa di utara?”
“Kita akan mencari lautan. Ketika kita menemukan lautan, maka di sana kita akan menemukan kedamaian.”
“Apakah ada anak kita di sana?”
“Bisa jadi ada, istriku. Anak kita mencintai lautan, ia suka ketenangan, bukan?”
“Bagaimana jika kita tidak menemukan anak kita?”
“Masih ada ikan-ikan, istriku. Ikan-ikan itulah yang akan menjadi kedamaian hati kita. Sembari menunggu anak kita datang, kita pandang lekat ikan-ikan. Ia pasti datang, istriku. Pasti datang.”
Sriminah tersenyum bahagia. Mereka berjalan beriringan. Saling bergandengan. Merapal selawat di sepanjang jalan. Mereka tidak pernah tahu bahwa anaknya yang diculik tentara Jepang sudah meninggal beberapa tahun silam. Mereka tidak pernah sadar, bahwa orang-orang Jepang sudah tidak lagi ada di Surabaya. Mereka tidak pernah tahu bahwa Indonesia sudah jauh lebih merdeka. Mereka terus berjalan sampai lupa ke mana harus bertandang dan pulang. Bibirnya masih merapal selawat di sepanjang jalan.
Tangerang, November 2019

Aksan Taqwin Embe
Sastrawan Berkarya Tahun 2019 ke wilayah 3T; Seruyan-Kalimantan Tengah, utusan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ia pernah terpilih sebagai perwakilan penulis muda Indonesia dalam Majelis Sastra Asia Tenggara, kategori cerpen 2018. Terpilih dalam Emerging Writers Ubud Writers and Readers Festival 2017. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit berjudul Gadis Pingitan, Penerbit Banten Muda, 2014, dan Mati yang Menakjubkan, Penerbit Basabasi, 2020. Saat ini ia bekerja menjadi guru di Sekolah Insan Cendekia Madani BSD, Serpong dan menjadi Redaktur Buletin Tanpa Batas.
Gambar Utama: Foto oleh Yayan Sopian di Unsplash.