SEGI—TIGA | esai Vincent Chandra
Andre Yoga, Didin Jirot, dan Luh Gede Gita Sangita Yasa merupakan salah tiga dari banyak perupa muda Bali yang sadar akan pentingnya merawat kesadaran eksistensial dalam medan sosial seni rupa. Secara tidak langsung, kesadaran mereka makin terpupuk dalam-dalam lewat mengakrabi dunia seni rupa melalui jalur akademis—Andre di DKV ISI Denpasar, Didin di seni rupa ISI Yogyakarta, dan Luhde di seni rupa ITB—dibarengi oleh bertemunya mereka dengan iklim berkesenian yang hangat di lingkungan geografis mereka tinggal selama hijrah keluar untuk kepentingan proses perkuliahan.
Apabila diamati melalui rekam jejak karir kesenirupaan masing-masing, Andre Yoga tergolong sebagai yang cukup aktif terlibat dalam berbagai jenis skena serta gelaran pameran di Bali, sementara Didin dan Luhde yang belum lama baru pulang ke Bali mengaku harus beradaptasi dengan medan sosial seni rupa di tempat mereka lahir dan tumbuh. Sehingga tujuan awal atas diinisiasinya Pameran Segi—Tiga di Uma Seminyak, Bali, 27 Maret – 10 April, oleh ketiga perupa muda ini, dapat segera terbaca oleh para penikmat secara sederhana sebagai upaya mereka dalam menghadirkan pembacaan yang lebih luas oleh publik khususnya di Bali terhadap karya-karya mereka. Selain diniatkan untuk melibatkan diri secara penuh dalam peta seni rupa Bali, pameran ini bagi mereka juga adalah sebentuk rasa optimisme untuk mengembangkan sayap mereka sebagai perupa muda kontemporer di Bali.
Dipilih sebagai judul pameran, kata “segitiga” sendiri bersifat cair dan bermaksud untuk membingkai secara utuh artikulasi khas ketiga perupa muda dengan pilihan bahasa rupa serta latar historis diri yang berbeda-beda. Segitiga dalam pengertiannya sebagai sebuah bangun datar, terbangun lewat tiga titik sudut yang antara satu sama lainnya dihubungkan oleh rusuk-rusuk berupa garis. Sifat-sifat tadi lalu diasosiasikan dalam konteks pameran ini. Sederhananya, tiga titik sudut mewakili tiga identitas peserta pameran, Andre, Didin, dan Luhde. Kemudian keterhubungan ketiga titik identitas ini terbaca melalui rusuk-rusuk yang berupa dorongan eksistensial, atau bahkan boleh jadi berupa perbedaan individu-individu dan keragaman budaya Bali itu sendiri.
Identitas, kata Gidden, adalah sebuah proyek manusia untuk melanggengkan narasi tentang dirinya. Namun identitas—apa yang kita pikirkan tentang diri kita—selalu berubah dari situasi yang satu ke situasi yang lain, bergantung pada ruang dan waktunya. Karenanya, sebagai sebuah proyek, ia selalu dalam proses, bergerak maju, serta terbentuk dari memori kita di masa lampau dan masa kini. Ia semacam lintasan harapan kita atas masa depan. Begitu juga dengan ketiga perupa dalam pameran ini, narasi tentang diri mereka hadir khas karena menyinggung pengalaman-pengalaman personalnya. Secara subjektif, mereka tengah mengonstruksi citra atas dirinya dengan menggali dan memaknai segala persoalan yang melingkupi diri masing-masing.
Maka dengan kata lain, pokok persoalan yang dikemukakan dalam karya-karya ketiga perupa muda ini adalah menyoal diri mereka sendiri; mereka bicara tentang mereka. Andre Yoga berbicara tentang realitas di luar dirinya, Didin yang memaknai kembali tradisi budayanya, serta Luhde yang khusyuk memproduksi dunia idealnya. Ketiga kecenderungan subject matter ini layak untuk kita simak dalam-dalam sebagai refleksi atas diri dan realitas budaya yang mengonstruk diri itu sendiri.
Di samping niatan menghadirkan narasi atau muatan isi itu, tentu saja proses perwujudan karya kemudian menjadi tidak kalah penting untuk dibahas. Sehingga untuk memahami keseluruhan karya mereka, kita perlu menyinggung aspek biografis mereka semisal dengan mempertanyakan “bagaimana mereka sampai pada kondisinya saat ini?”, “konsep berpikir seperti apa yang mengokohkan konstruksi diri mereka?”, atau sesederhana “apa saja sumber-sumber berkesenian mereka?”. Esai ini lalu bertugas untuk menyajikan ungkapan-ungkapan ketiga perupa tersebut.
Titik A: Logika Andre
Melukis dengan menggunakan logika painting dan melukis dengan menggunakan logika desain, membedakan keduanya sungguh tidak perlu lagi dewasa ini. Keduanya ibarat mesin dan roda pada sebuah kendaraan, saling mendukung untuk mencapai tujuan yang sama. Andre Yoga meyakini hal ini. Kendati kemudian ia lebih banyak menggunakan logika atau prinsip desain dalam melukis adalah persoalan biasa-tidak biasa, bukan bisa-tidak bisa.
Bagaimana sesungguhnya logika desain ini bekerja dalam diri Andre? Yang jelas, “apa yang hadir” pada sebagian besar karya-karyanya, kekuatannya bertimbang pada bagaimana aspek-aspek formal rupa itu tersusun. Ia cenderung menyusun aspek-aspek formal serupa garis, warna, bidang, barik, dan ruang dalam karyanya secara seimbang, rapi, dan tegas. Setiap desainer umumnya menghadapi tantangan yang sama ketika berhadapan dengan inequality bentuk dan warna. Di sinilah, menurut Andre, logikanya bermain. Tujuannya sederhana, yaitu untuk mencapai keseimbangan, bukan simetrisitas, namun keseimbangan (balance).
Baginya, keseimbangan yang baik akan membantu semua unsur itu hadir dan berbicara; mereka saling padu dan menguatkan setiap muatan atau isi karya. Sehingga pertanyaan semisal, Mengapa merah? Mengapa figure tentara? Mengapa teks ini yang muncul? Tiap simbol dan tanda ini akan dapat ia jelaskan dengan detil, walaupun hampir pada semua karyanya simbol-simbol ini cenderung dihadirkan secara verbal sehingga Andre sendiri tidak perlu membeberkan makna aslinya.
Yang tidak kalah penting adalah bagaimana ia mengomunikasikan ide-idenya melalui pilihan bahasa atau idiom yang tepat tanpa mengurangi nilai di dalam karyanya. Karena itu, baginya, mendalami aspek formal sama pentingnya dengan mematangkan konsep berpikir. Lihat saja dalam karya Andre, “Identity”. Ia tengah memaknai identitas dirinya sebagai seorang Kristiani yang lahir di tanah Bali. Karya ini tersusun dalam 2 panel, di dalam keduanya hadir figur manusia sedang memegang sebuah alkitab berdiri di tengah lanskap berlatar pegunungan. Yang membedakan keduanya yaitu pada panel pertama, figur manusia tampak tak berkepala berdiri di belakang seekor babi dengan label “FOOD”. Sementara pada panel kedua, figur manusia dihadirkan memakai topeng Barong Bali. Tanpa menghadirkan sama sekali wajah di kedua panel tersebut, Andre seolah ingin mengecualikan sifat-sifat individu yang tunggal dan menggantikannya dengan menghadirkan identitas yang hibrid melalui ikon Barong Bali, alkitab, dan seekor babi yang juga menyingkapkan keterbacaan soal budaya konsumsi yang ada di Bali.
Andre pun menjelaskan, “(dalam pameran) ini aku lebih banyak mempertanyakan identitasku… aku tertarik dengan dinamika budaya (di Bali) khususnya di tempat tinggalku sekarang yang sangat menggambarkan ide-ide plurarisme.” Jadi, identitas Andre sesungguhnya terbangun lewat aspek yang seluruhnya kultural serta lewat sikap toleran yang ia praktikkan dan ia terima.
Logika Andre juga terbaca lewat bagaimana pola-pola dihadirkan sebagai latar belakang (background) dan latar depan (foreground). Pun tidak jarang latar-latar itu tersamarkan atau tidak jelas lagi mana bagian depan dan mana bagian belakang. Pola atau motifnya—terbangun lewat susunan warna dan simbol dengan irama yang statis—secara sadar dihadirkan sebagai white space atau ruang kosong dalam karyanya. Hadirnya pola ini merupakan wujud aksentuasi melalui pengulangan unsur. Andre bertujuan untuk menciptakan titik berat pada objek-objek utama dalam karyanya melalui aksentuasi tersebut. (Lihat karyanya yang berjudul “Playground”).

Sebelum itu, proses aksentuasi juga terjadi persis sebelum ia mengerjakan bagian latar, baik depan atau belakang. Andre mengaku selalu mengerjakan bagian objek utama lebih dulu, sehingga pada karyanya sering kali tidak nampak ada kedalaman ruang yang benar-benar dalam karena antara objek utama dengan latar ia cenderung terlepas atau terkesan bertaburan. Bersamaan dengan hadirnya ruang-ruang kosong, objek-objek subject matter yang tersusun rapi ini kemudian menghasilkan potensi intertekstualitas. Artinya, antarruang objek dan objek-objek, mereka saling terhubung dan membuka kemungkinan-kemungkinan interpretasi yang luas kepada para penikmat karyanya.
Selain bersumber dari mengamati lingkungan sekitar tempat tinggalnya, Andre juga menjelaskan ide-idenya juga banyak berangkat dari pengalaman-pengalaman pribadinya, buku-buku yang ia baca, persoalan sosial yang tengah hangat diperbincangkan, hingga pernyataan-pernyataan seniman tentang medan sosial seni rupa. Inilah yang membuat Andre semakin tertantang sehingga kemudian persepsi Andre tentang melukis dan mendesain melebar. Baginya, melukis tidak lagi melulu soal memindahkan desain ke atas kanvas. Medium lukis (kini) adalah medan perang yang ingin selalu ia dudukkan.
Titik B: Membongkar dan Merangkai
Didin kecil mulai mengenali bentuk dan tertarik belajar mengukir lewat arahan ayahnya yang merupakan seorang seniman ukir di Singapadu. Masa remajanya ia isi dengan mengukir dan belajar membuat patung ogoh-ogoh di Banjarnya. Didin mengaku menikmati proses berkesenian tersebut sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan studinya di jurusan Seni Patung, SMSR Batubulan. Seusai dari sana, Didin kemudian hijrah ke tanah Jawa untuk melanjutkan studinya di jurusan seni murni ISI Yogyakarta untuk mendalami passion-nya terhadap seni patung.
Sejak awal kariernya, Didin telah tertarik melakukan eksplorasi dalam karyanya dengan mengangkat tema yang bersinggungan dengan tradisi budayanya di Bali. Namun tema yang dibicarakan dalam karya Didin tampaknya (hanya) berfungsi sebagai titik berangkat. Tema ini dapat terbaca sebagai upaya Didin untuk “berbicara” tentang dirinya, tentang identitas ke-Bali-annya. Namun pada proses selanjutnya, posisi tema tergeser oleh kepentingan ekspresi. Tema-tema dalam periode kekaryaannya belakangan ini tidak lagi hadir dalam bentuk-bentuk yang representatif. Ia tersembunyi secara sengaja sebagai apa yang Didin sebut sebagai “esensi” dalam olahan lembaran-lembaran plat aluminium. Seiring waktu, tema ini berkembang menjadi konsep pokok dalam periode kekaryaannya hari ini. Simak pernyataan Didin berikut mengenai konsep berkaryanya.
“…aku mengambil esensi (prinsip) pembuatan upakara/sesajen (canang sari; banten; sarana upacara), mulai dari melipat, memotong dan sebagainya (di Bali disebut mejejaitan). Memori tentang sesajen ini dekat denganku karena ibuku adalah seorang Serati yang dipercayai membuat sesajen untuk upacara di pura… lalu aku menggali lagi konsep-konsep mengapa sesajen ini ada, bagaimana simbolisasinya, dan apa yang menarik dari aspek kerupaannya.”
Lewat apa yang diungkapkan oleh Didin, kita segera tahu bahwa memori-memori masa lalunya menjadi sumber penting yang membentuk identitas (karya) Didin hari ini. Meski demikian, tidak serta-merta karya-karyanya selalu diniatkan untuk berbicara tentang “Bali”. Karenanya, karya-karya Didin sesungguhnya tidak terikat oleh tema. Tema pun menjadi ada sebagai pintu masuk alternatif penikmat untuk memahami karyanya. Baginya, tema bisa jadi dua hal, yang menstimulus atau terstimulus, hadir lebih dulu atau hadir setelahnya, sebagai yang dilengkapi atau yang melengkapi.
Dalam karya-karyanya hari ini, ia tengah berusaha mengembangkan prinsip-prinsip kerja patung konvensional dengan menghadirkan teknik mengurangi (subtraktif) dan menambah (aditif) dalam sebuah momen yang sama. Lihat saja pada karyanya yang berjudul “Canang”, lapisan lembaran plat logam hadir tertata dan terangkai secara ekspresif melalui perlakuan medium yang diadopsi dari teknik mejejaitan seperti yang telah dijelaskan dalam pernyataan Didin sebelumnya, yakni proses membongkar dengan memotong dan merobek; serta proses merangkai kembali plat yang satu dengan yang lainnya lewat menggulung, melipat, dan menyambung. Lewat teknik ini, Didin berharap prinsip-prinsip kerja karya patung dapat terbekukan dalam satu ruang dan waktu yang sama.

Selain membekukan teknis berkarya, karya yang ia maknai sebagai abstraksi dari bentuk canang ini juga tengah membicarakan persoalan medium berkarya yang ia pilih. Medium logam aluminium—yang memberi kesan kokoh, awet, bisa dianggap mewakili ciri budaya yang lebih industrial—ia pakai untuk merekontruksi ulang bentuk canang yang biasanya dibuat dengan daun janur yang dianggap mencirikan kesementaraan. Maka canang sebagai representasi identitasnya seolah terus menerus ada dan abadi dalam objek tiga dimensi. Dalam karyanya sendiri ia tengah merekam berbagai peristiwa. Selain proses merusak dan menata tadi, boleh jadi “emosi” juga menjadi aspek yang dominan tampak dalam karya-karya Didin. Emosi-emosi, baik yang tersimpan atau tersampaikan oleh karyanya selain tampak lewat kehadiran bentuk-bentuknya yang ekspresif pun secara riil tampak melalui warna-warna chromatic–holographic yang hadir secara harmonis melalui kekontrasan. Semisal jingga ke hijau, biru muda ke ungu, dan lainnya. Ia terkesan begitu ritmis, bergerak akibat cahaya yang jatuh dan sampai pada permukaan licin medium logam.
Gubahan warna chromatic–holographic itu boleh jadi menggambarkan emosi-emosinya yang lirih, amat berlawanan dengan perwujudan bentuk karyanya yang ekspresif, yang hadir lewat proses yang cenderung keras dan menguras tenaga fisik. Adanya emosi lain yang terbaca, kemungkinan ini tidak dibatasi oleh Didin karena warna dan bentuk sesungguhnya mampu menciptakan paradoks dan ambiguitas; dia bermutasi dan bergerak dengan mengubah hal-hal di sekelilingnya.
Titik C: Luhde dan Dunia Idealnya
Paradiso telah menjadi tema yang bolak-balik dibicarakan dalam lukisan Luhde sejak awal kariernya bahkan sampai hari ini. Apa sesungguhnya paradiso itu, Luhde menjelaskannya secara sederhana. Ia memandang bahwa realitas dunia nyata sesungguhnya telah runtuh atau hancur sehingga yang benar-benar nyata kini adalah “apa yang tampak” dalam karyanya, sebuah simulasi atas dunia idealnya yang ia rekonstruksi melalui praktik-praktik pemaknaan.
Luhde merumuskan dunia idealnya yang dianggap “lebih nyata dari yang nyata” melalui susunan memori-memori pribadinya yang dibekukan dalam bentuk images atau foto serta potongan karakter dan simbol-simbol artifisial dalam permainan The Sims. Semua fragmen ini kemudian dikomposisikan ulang secara digital lebih dulu sebelum akhirnya dipindai ke atas kanvas. Di sinilah ia berniat memainkan peran “Tuhan” dalam mencipta. Proses melukis seolah-olah menjadi sebuah permainan, di mana dalam momen “bermain” ini ia bebas menentukan “apa yang tampil” dan “apa yang dihadirkan”. Melukis pun bagi Luhde menjadi semacam jalur pembebasan diri atas realitas kehidupan yang terjalani walaupun ia sendiri menyadari bahwa konflik-konflik atau persoalan dalam batinnya tidak pernah benar-benar menghilang sekalipun ketika ia sedang melukis.
Dalam satu kesempatan berbincang, Luhde menuturkan dirinya tengah didiagnosa mengalami kecenderungan bipolar atau sejenis gangguan yang mempengaruhi suasana hatinya secara episodik. Tanpa pola atau interval waktu yang pasti, ia kadang bisa sangat semangat secara ekstrem (manik) dan kadang juga bisa merasa sangat down atau terpuruk (depresif). Perubahan emosi yang drastis inilah yang menandai periode kekaryaan Luhde setelah ia kembali ke Bali. Bagaimana kemudian Luhde mengatasi kondisi ini ketika melukis, juga adalah hal yang sangat menarik untuk disinggung dalam tulisan singkat ini. Simak pernyataan singkat Luhde berikut mengenai kesulitan-kesulitan yang ia hadapi.
“…Dalam kasusku, aku tidak bisa bernapas dengan baik selama berhari-hari, menstruasi yang berlebihan, dan sakit kepala terus-menerus. Ada masa ketika aku sangat takut untuk keluar rumah dan bersosialisasi, aku menghabiskan waktu berbulan-bulan berbaring di tempat tidur, merasa tidak termotivasi, seolah tidak ada yang menarik untukku. Ada kalanya juga aku tidak bisa melukis karena tanganku tidak bisa berhenti gemetar karena kecemasan yang aku rasakan.”
Luhde menyampaikan bahwa setelah melalui terapi dan pengobatan selama beberapa bulan, kini ia perlahan-lahan dapat menemukan ritmenya kembali. Eksplorasinya pun lalu menajam pada kondisi yang ia jalani. Kondisi itu sekaligus menjadi salah satu alasan pokok di balik perubahan-perubahan yang tampak dalam karya Luhde. Apabila dalam edisi paradiso-paradiso terdahulunya ia lebih tertarik memasukkan citra eksotis Bali berikut hamparan pantainya dan sisipan fragmen-fragmen memori personal yang saling teriris sebagai representasi realitas idealnya kala itu, paradiso Luhde hari ini lebih kepada menggali persoalan kedalaman jiwanya.
Lihat, misalnya, seri karya Luhde yang berjudul, “Tom Always Get Me” #1, #2, dan #3. Luhde menampilkan adegan karakter fiksi Tom—dalam serial kartun Tom & Jerry—sedang menangis, sedih, depresi, serta menenggak beberapa butir pil obat sambil dikelilingi beberapa makanan manis sejenis donat, kue ulang tahun, pie, makaroni, cookies, dan es krim. Memasukkan karakter Tom dalam kanvas atau dunia Luhde adalah upayanya merefleksikan realitas dirinya secara langsung. Karakter Tom dianggap Luhde cukup kuat untuk dipinjam sebagai ungkapan pribadinya, mengingat peran Tom yang hampir selalu mendapat kesusahan dan kelelahan di dalam tiap ceritanya. Sementara semua obat-obatan dan makanan-makanan manis itu menggambarkan apa saja yang ia konsumsi untuk memperbaiki suasana hati sekaligus mengatasi kecenderungan bipolarnya. Luhde berharap lewat karyanya orang-orang dapat memperhatikan kesehatan mental dengan lebih serius, depresi itu nyata dan dapat terwujud secara fisik. Ia tidak hanya terkait perasaan sedih, (merasa) tidak berharga, dan lainnya.

Karena yang hadir secara telanjang dalam pameran ini pun adalah identitas (kekaryaan) yang beragam, maka tak terhindarkan pula keterbacaan penikmat soal siapa yang tampil superior dan siapa yang menjadi inferior. Namun bila kacamata “segitiga” yang disampaikan di awal tulisan ini coba dipakai, maka yang tampak kemudian adalah tiga identitas yang sama-sama kuat-menguatkan. Mereka menciptakan sebuah makna atau identitas yang baru, boleh jadi mengaburkan batas-batas antar identitas, lagi-lagi bergantung dari sudut mana kita ingin mengamatinya.
Akhir kata, tulisan ini hadir tidak untuk menyimpulkan identitas teman-teman yang berpameran melainkan menjadi salah satu hasil pembacaan yang dapat dipakai untuk mendekati karya-karya mereka. Pameran Segi—Tiga ini juga sangat mempersilakan tumbuhnya pembacaan lain kepada tiga orang muda ini dengan metode, pendekatan, serta kemungkinan-kemungkinan lainnya yang akan turut memperkaya dan melengkapi isi pameran ini. Selamat mengapresiasi!
Maret 2021, di Ruang Antara Studio, Gurat Insitute, Batubulan, Bali

VINCENT CHANDRA lahir dan tumbuh di Medan, Sumatra Utara, 9 Desember 1997. Sejak kecil senang dengan berbagai bentuk kesenian, semisal menggambar, menari, dan menulis. Pada tahun 2015, hijrah ke Bali untuk menekuni dunia seni rupa lewat jalur akademik di Prodi Pendidikan Seni Rupa, Universitas Pendidikan Ganesha. Menjelang lulus pada tahun 2019, iklim kesenian di Bali pada saat itu pelan-pelan mengubah arah minatnya pada dunia penulisan seni rupa. Pada tahun 2020, diajak bergabung dalam komunitas Gurat Institute. Di sana ia belajar banyak tentang riset, pengarsipan, pendokumentasian, penulisan, serta pengelolaan pameran. Hingga hari ini masih melangsungkan keduanya, belajar menggambar dan belajar menulis.
Gambar Utama: Foto oleh U Need Studio