SATRIO WELANG: Dengan Apa Kutulis Sajak Ini?
Membuka lembaran tahun 2021, Teater Sastra Welang mengibarkan harapan baiknya dengan meluncurkan video pembacaan puisi. Tidak tanggung- tanggung, proyek ini melibatkan 31 seniman lintas generasi dari beragam disiplin. Ada penyair, aktor teater, penyanyi, musisi, aktor film, dan praktisi seni lainnya. Mereka bergantian membacakan puisi “Dengan Apa Kutulis Sajak Ini?” karya Moch Satrio Welang, pentolan Teater Sastra Welang.
Seniman yang terlibat adalah sastrawan senior Ketut Syahruwardi Abbas, penyair senior Warih Wisatsana, aktris teater senior Putu Suwartini, sutradara Dadi Reza Pujiadi (Jakarta), dan aktor/sutradara Hendra Utay.
Barisan muda diwakili penyair Pranita Dewi, penyair Mira MM Astra, penyair Kadek Surya Kencana, penyair Achmad Obe Marzuki, aktris film dan penyanyi Heny Shanti, penyanyi dan aktris teater Eba Ayu Febra, aktris teater Sukma Uma, penyanyi Risma Putri, kritikus seni Dwi S Wibowo, musisi dan sutradara teater Heri Windi Anggara, musisi Wendra Wijaya, sutradara dan penulis naskah drama Wayan Sumahardika, dan aktris teater Desi Nurani.
Ikut beraksi pula, produser film dan teater Ryan Indra Darmawan, novelis Jingga Kelana (Banyuwangi), penyanyi dan aktor Inda Mpol, musisi Bayu Reinhard, penyanyi Goldyna Rarasari, praktisi program seni Dwi Putri Rejeki, penyanyi Tukko Manuel, sutradara dan penata artistik Legu Adi Wiguna, penyair Imam Barker, penyair Bonk Ava, aktor De Ogie, akademisi sastra Linda Ayu Darmurtika (Mataram), dan tentu saja Moch Satrio Welang yang menutup parade pembacaan puisi ini.
Puisi “Dengan Apa Kutulis Sajak Ini?” karya Moch Satrio Welang mengumandangkan perenungan yang tidak hanya berangkat dari ruang pribadi, namun juga berkembang dalam beragam tema kehidupan berikut problematikanya. Ada nada kekhawatiran, keresahan, juga nuansa kerinduan serta otokritik diri dalam pesan “lalu sampai kapan sembunyi di larik syair? Berlindung di kemegahan kata, tak pernah sampai di kedalaman puisi”.
Melalui puisi, Moch Satrio Welang mengajak kita untuk memasuki diri lebih dalam lagi. Sebab, dalam gelap, sering kali kita akan melihat lebih terang. Lelaki yang lahir di Surabaya, 14 April 1982, ini merintis kegiatan seni teaternya dari Teater Orok Universitas Udayana. Ia kemudian mendirikan Teater Sastra Welang pada 2010.
Salah satu penyair yang turut dalam pembacaan puisi ini, Kadek Surya Kencana, mengatakan bahwa puisi memiliki tugas untuk menjernihkan perasaan. Puisi adalah media berekspresi, pemurnian jiwa, melatih empati, dalam proses pencarian makna nilai-nilai kehidupan.
“Puisi bermain dalam ranah rasa yang menjadikan para penulisnya atau pun penikmatnya seyogyanya dapat menjadi pribadi yang lebih baik,” ujar Kadek yang selain menekuni jalur kepenyairan, juga merupakan aktor teater mumpuni yang sempat menjadi pengajar bahasa dan sastra di SMA Lab Undiksha selama hampir lima tahun.
Penyair senior Warih Wisatsana mengatakan pembacaan puisi ini adalah upaya positif yang layak diberi apresiasi. “Pandemi harus disikapi secara kreatif. Kehadiran puisi dan pembacaan puisi melalui ragam seni virtual seperti ini menjadi bagian dari kenyataan kita bahwa di samping kehidupan-kehidupan kreatif dan bentuk-bentuk kesenian yang selama ini hadir secara luring, kini juga harus diupayakan atau disiapkan sebagai satu sajian berbentuk daring,” komentar Warih.
Dalam suasana pandemi, Teater Sastra Welang tetap memilih untuk berproses kreatif, walau dilakukan dengan jarak jauh. Pandemi tidak menghentikan para seniman untuk terus berkreasi.
Berkat kemajuan teknologi digital, proses pengambilan gambar dan pengeditan dapat dilakukan dengan lebih leluasa. Proses ini diharapkan mendekatkan karya sastra ke masyarakat luas. Tujuannya agar masyakarat tidak melihat sastra sebagai benda asing atau tamu misterius, melainkan satu kesatuan organis dalam nafas kehidupan.