CandikataCeritaSastraSeni

REX ORANGE COUNTY | cerita Robbyan Abel Ramdhon

Matahari turun dengan gerakan yang lambat, dan sinarnya bersilang di antara gedung-gedung tinggi; segaris lain jatuh ke bagian kiri wajahku. Waktu menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, dan Emira belum juga datang kemari.

Aku ingat perkataan ayahku ketika kami merayakan ulang tahunku yang ketujuh belas: “Kau tidak akan bertemu perempuan sampai kau sudah bisa mengikat tali sepatumu dengan benar, maka berlatihlah dengan ini,” lalu memberikanku sepasang sepatu pantofel berwarna usang sebagai hadiah. Sepatu itu ukurannya lebih besar dari ukuran kakiku saat itu.

Aku tak terlalu paham maksud perkataan ayahku saat itu, tapi kusimpulkan ada kaitannya dengan kemapanan ekonomi seorang lelaki yang identik dengan sepatu pantofel. Kalau sudah berpenampilan lengkap dengan sepatu pantofel, mungkin menarik perhatian seorang perempuan bukanlah hal yang sulit.

Tetapi Emira yang kukenal bukanlah perempuan yang memandang lelaki dengan cara seperti itu, pikirku.

Melalui telepon semalam, aku dan Emira sudah bersepakat bertemu di sini; di Art Date, cafe dengan rooftop yang penuh bunga-bunga. Emira suka sekali tempat ini. Terpasang sejumlah speaker di sudut-sudut ruangan lantai bawah, dan suaranya bisa terdengar sampai ke atas. Tadinya ada berita mengenai penyebaran wabah yang dapat mengancam nyawa manusia di bumi, tapi lagu milik Rex Orange County yang berjudul Best Friend segera menggantikan siaran radio tersebut sebelum berita selesai dibacakan penyiar.

Aku pergi berkemih ke toilet setelah kopi susu yang kupesan datang. Sekembalinya, langkahku terhenti saat melihat sebuah lukisan tergantung di dinding tangga; memperlihatkan formasi meja dan kursi yang ditata sekenanya dalam sebuah ruangan yang sekilas tidak terlalu lebar, namun memanjang seperti hendak menyambung ke ruangan lain, dan di tengah ruangan itu terdapat meja biliar yang cenderung menjadi objek dominan dalam lukisan.

Le Café de nuit, lukisan asli yang dibuat Gogh tahun 1888 itu disimpan di Yale University Art Gallery, dan yang tampak di hadapanku sekarang adalah replika belaka.

Di tengah aku mengamati lukisan itu, seorang perempuan berdehem di dekatku.

“Replika Le Café de nuit karya Vincent van Gogh,” kata Emira ikut mengamati lukisan.

“Oh, hai!” sapaku agak kikuk.

“Sudah pesan?” tanyanya.

“Kopi susu. Perlu kupanggilkan pelayan?”

“Tidak usah. Aku sudah pesan jus jeruk dan kentang goreng,” jawabnya.                   

Emira hari ini tampil cantik. Ia mengenakan dress hitam dengan motif kembang. Jilbab yang dipakainya juga berwarna gelap, sementara sepatu cone heels perpaduan warna cokelat dan abu-abu sangat cocok di kakinya.

Emira mengajakku berfoto selfie dengan latar belakang gedung perkotaan yang diselimuti cahaya keemasan. Emira menyandarkan kepalanya di pundakku, aku membentangkan lengan pada punggung kursi yang didudukinya, dan begitulah pose kami hingga tiga kali jepret.

Jus jeruk dan kentang goreng yang ia pesan pun datang. Pelayan pergi sesudah mengucapkan selamat menikmati. Padahal sebelumnya ia tak mengucapkan kata-kata semanis itu saat aku sendiri.

“Mungkin kesan nikmatnya baru dapat kalau sudah berdua,” katanya seraya tersenyum memperlihatkan gigi-giginya mungil.

“Bagaimana hari ini di kantor?” tanyaku.

Emira pernah bercerita bahwa ia bekerja di sebuah perusahaan radio yang hanya punya waktu libur sekali dalam seminggu. Tak jarang Emira jatuh sakit akibat waktu kerja yang padat itu.

“Kau ingat Adi? Manajerku yang tolol itu,” ia mulai bercerita, dan baru kuperhatikan kuku-kukunya telah dikuteks hitam.

“Tentu saja. Kau sering menceritakannya. Membayangkannya saja aku sudah tahu dia pasti orang yang tolol.”

Bagi Emira, Adi kelewat tolol untuk ukuran seorang manager. Adi tergabung dalam sebuah organisasi jurnalis berhaluan kiri. Namun, Adi tidak pernah mencerminkan idealisme dari organisasinya itu. Menurut banyak cerita yang didapatkan Emira, Adi memang sudah jarang aktif mengikuti kegiatan di organisasi. Keberadaannya pun nyaris tidak dianggap lagi. Beberapa kali melakukan keberpihakan tanpa alasan saat momen politik, sering memberikan perintah tak masuk akal pada para wartawan adalah dua contoh perangai Adi yang membuat sosoknya kehilangan kehormatan.

“Hari ini istrinya tiba-tiba datang ke kantor, dan memergoki Adi berselingkuh dengan asistennya. Wajahnya langsung pasi,” Emira memeras perutnya karena tertawa terlalu lepas, “tapi sudahlah, menyebut namanya hanya akan membuat kencan kita hari ini tercemar,” ia berhasil menahan tawanya, lalu menghela napas.

Aku diam-diam tersipu mendengarnya mengakui bahwa pertemuan kami adalah kencan. Seingatku, aku bahkan belum pernah secara resmi mengajaknya berpacaran atau semacamnya. Pertemuan kami masih tidak lebih seperti teman baik dalam acara reuni sekolah.

“Berapa lama kau di sini?” tanya Emira.

“Mungkin sekitar sejam yang lalu.”

“Maksudku, sampai kapan kau akan tinggal di Simul?”

“Oh, entahlah. Aku dapat proyek yang penyelesaiannya membutuhkan waktu sekitar dua bulan.”

“Interior cafe?”

“Kira-kira begitu,” Emira tampak tak tertarik dengan jawabanku, “kau sudah cek jadwal pameran minggu ini?”

“Rabu malam, di museum House of Simul.”

“Artinya hari ini?”

“Ah, benar! Bagaimana bisa aku melupakan itu?!”

Aku mengangguk-angguk, lalu bertanya lagi: “Siapa senimannya?”

“Aku lupa namanya. Pokoknya kolaborasi sepasang kekasih. Si lelaki menjadi pelukisnya, dan si perempuan menerjemahkan lukisan si lelaki melalui puisi.”

Kami sama-sama menyukai seni rupa. Emira suka ekspresionis khas Affandi, sementara aku merasa nyaman saat mengamati impresionis ala Claude Monet. Kami mulai mengenal karya kedua pelukis itu di kampus, tepatnya ketika masih berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi.

Karena kami tak pernah melihat karya asli kedua pelukis itu secara langsung, kami sering menyiasatinya dengan mengunduh foto lukisan-lukisan mereka dari internet, kemudian mencetaknya sendiri, hingga membingkainya. Pernah kami iseng-iseng ingin mencoba melukis ulang karya Affandi dan Monet. Saat itu, Emira mengamati barong, dan aku mengamati soleil levant. Lucunya, kami sama-sama menyerah sebelum memulai apa pun.

“Emira.”

“Saya?” jawabnya.

“Tadinya aku berpikir terlalu sulit untuk mengatakannya sekarang, tapi akan lebih menyiksa lagi bagiku bila tak mengatakannya segera. Perasaan ini menggangguku selama dua tahun belakangan, dan aku berencana menyelesaikannya sesegera mungkin, jadi mohon jangan tersinggung bila…”

“Kau ingin menyatakan cinta?” Emira memotong penjelasanku.

Aku termangu.

“Kenapa perlu dinyatakan ketika semuanya sudah jelas? Lagi pula kau terlalu to the point, mestinya habiskan dulu kopimu supaya tidak terlalu canggung.”

Aku memalingkan wajahku ke bawah: melihat kalung salib yang menggantung di leherku. Kakiku tiba-tiba bagai tertancap ke bumi.

“Apanya yang jelas?”

“Kau mencintaiku,” Emira menjawabnya dengan cepat. “Aku juga ingin mengatakan hal yang sama.”

“Mengatakan apa?”

“Aku mencintaimu.”

“Katakan sekali lagi.”

“Aku mencintaimu.”

“Apa ini tidak akan menjadi masalah?”

Emira tersenyum. Kami tak berbicara lagi sampai beberapa saat. Sambil mendengar Best Friend dari Rex Orange County, kami berdua sekilas seperti sedang memikirkan satu sama lain. Memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi setelah kami keluar dari cafe ini.

“Jam berapa mau ke museum?” tanyaku mencairkan situasi.

“Kita berangkat sekarang pun tak masalah. Hitung-hitung jalan-jalan.”

“Sebentar lagi azan, kau tidak salat dulu?”

“Ini hari ketigaku haid,” katanya sambil memperlihatkan kuku-kukunya yang berwarna hitam.

“Aku ingin memberi tahu sesuatu sebelum kita berangkat,” kataku.

“Apa?”

“Cafe ini sudah memutar Rex Orange County dengan lagu yang sama sebanyak lebih dari sejuta kali. Kau tak menyadarinya?”

“Tentu saja aku menyadarinya, sebagaimana keputusanku menjadikanmu pacarku mulai hari ini.”

Kami bangun dari kursi tepat ketika suara azan magrib terdengar dari jauh.

Ketika menuruni tangga, kami berpapasan dengan seorang pria yang wajahnya dipenuhi berewok. Pria itu mengenakan topi yang pada bagian ujungnya berbulu, hampir mirip topi ushanka hat orang Rusia. Pria itu berjalan sambil batuk-batuk.

Emira menyenggol lambungku dengan sikunya: “Apakah orang itu sedang menirukan gaya Vincent van Gogh di film At Eternity’s Gate?”

“Nyaris,” jawabku agak berbisik.

Aku dan Emira cekikikan.            

“Hai!” panggilan itu datang dari arah belakang sebelum kami melewati satu anak tangga yang tersisa, suaranya parau seperti baru bangun dari tidur panjang. Orang bergaya Vincent van Gogh itu memanggil kami. “Tali sepatumu terlepas,” katanya, sambil menunjuk sepatu pantofelku, lalu ia kembali berjalan menuju rooftop.***

Robbyan Abel Ramdhon lahir di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sejumlah karyanya berupa cerpen dan esai pernah tersiar di berbagai media cetak dan daring. Juga bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *