RESURRECTION: Semangat AXG Membangkitkan Martabat Seni

Pada era kontemporer, perupa bisa menciptakan apa saja sebagai karya seni. Perupa zaman sekarang bisa menghadirkan karya berwujud apa pun, bahkan karya yang tidak ada wujudnya sekalipun. Ia bisa membuat karya sendiri, bisa juga menyuruh orang lain membuatkan karya untuknya, bahkan bisa tidak membuat apa-apa dan cukup menghadirkan tubuhnya. Karya seni rupa bisa berupa benda maupun nonbenda.

Sekarang zaman pluralis, kata orang. Dalam acara seni rupa, perupa kontemporer bisa menghadirkan lukisan, patung, foto, objek, barang jadi, video, film, media baru, multimedia, instalasi, konsep, pertunjukan, peristiwa, bunyi, arsip, tubuh, cahaya, intervensi, dan banyak lagi bentuk atau pendekatan lain. Berbagai bentuk dan pendekatan itu tak jarang bercampur dan berpadu dalam satu karya.

Kini tidak ada lagi hierarki yang menempatkan satu ragam seni di posisi yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Tidak ada lagi “seni tinggi” dan “seni rendah”. Semua setara. Aneka ragam ekspresi dan pemikiran seni rupa dari seluruh penjuru dunia sama-sama sah. Tidak ada corak artistik yang dapat dianggap lebih penting dibanding corak lain. Tidak ada teori estetika yang sedemikian visioner hingga melampaui zamannya. Tidak ada satu pihak pun yang mampu menetapkan standar artistik yang diakui semua pihak sebagai “benar”.

Era kontemporer memungkinkan hampir segalanya bisa dijadikan seni. Seni adalah apa pun yang diklaim sebagai seni oleh si seniman. Dalam seni rupa era kontemporer, semua boleh. Semua sederajat. Inilah zaman “demokratisasi seni”.

rawraw
Rawraw, Cheers!, 2021

“Demokratisasi seni” dapat dipandang sebagai gejala khas dalam kancah seni rupa kontemporer. Seni rupa kontemporer berkembang seiring dengan tumbuhnya beraneka ragam pemikiran dan teori sejak dekade 1970-an yang melawan modernisme sebagai lembaga. Seiring perjalanan waktu, keberagaman wacana seni rupa kontemporer itu menimbulkan masalah. Ada begitu banyak pandangan dan acuan yang beredar sehingga melemahkan fungsi kritik seni. Sebagaimana yang dikatakan oleh sejarawan seni James Elkins, kritik seni banyak diproduksi, tetapi juga banyak diabaikan. Di Indonesia, situasinya lebih buruk. Jangankan diperhatikan, kritik seni hampir tidak ada lagi yang menulis.

Di dunia seni rupa kontemporer yang merayakan keberagaman dan kesetaraan, wilayah penilaian estetis menjadi bermasalah. Kini tidak ada lagi standar yang berlaku universal dan berwibawa untuk menilai mutu karya seni rupa. Namun, melemahnya atau bahkan menghilangnya standar penilaian seni tidak lantas menjadikan semua karya seni rupa diakui bernilai sama. Pada kenyataannya, karya seni rupa masih dipandang berbeda-beda nilainya. Masalahnya, penentu nilai karya seni rupa bukan lagi estetika, disiplin yang merupakan ranah kritik seni.

Pada zaman sekarang, peran kritik seni sebagai lembaga penentu nilai karya seni telah meredup, kalau tidak padam. Kini palu penilaian seni lebih banyak dipegang oleh lembaga lain yang sangat berpengaruh di medan sosial seni rupa kontemporer, yaitu lembaga komersial. Art fair, contohnya, adalah lembaga komersial yang semakin besar pengaruhnya dalam menentukan arah perkembangan seni rupa kontemporer. Proses globalisasi dan pertumbuhan pasar seni yang menyebar ke seluruh penjuru dunia sejak dekade terakhir abad silam telah menaikkan art fair ke posisi pemain kunci dalam penentuan nilai seni.

Pameran seni rupa Resurrection di Art Xchange Gallery (AXG), Denpasar, 3 April – 3 Mei 2022, berangkat dari kesadaran bahwa seni rupa pada era “demokratisasi seni” sekarang ibarat menghadapi pedang bermata dua. Di satu sisi, ada kebebasan yang hampir tanpa batas untuk mendefinisikan apa yang disebut “seni” dan memproduksi “karya seni”. Di sisi lain, kebebasan yang sama telah membuka peluang lebar-lebar bagi masuknya segala macam kepentingan dan segala bentuk manipulasi yang menjadikan karya seni sebagai objek spekulasi dan eksploitasi belaka, terutama demi meraup keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. “Demokratisasi seni” meluaskan seni, tetapi sekaligus berpotensi mematikan seni.

Pada era “demokratisasi seni”, ketika kritik seni tidak lagi berperan besar menentukan nilai seni, galeri seni rupa memiliki peran strategis dan sekaligus tanggung jawab besar yang melampaui fungsinya sebagai lembaga komersial. Galeri tidak hanya merupakan gerai tempat jual beli benda seni, tetapi juga menjadi salah satu kekuatan penting yang membentuk selera artistik dan menentukan nilai seni. Galeri memberikan nilai pada seni. Ia tidak hanya mendagangkan seni, tetapi juga menanam dan memupuk apresiasi terhadap seni sebagai ungkapan ketinggian budi manusia. Galeri bekerja mencari profit dan merawat kebudayaan. Ia lembaga niaga sekaligus lembaga budaya. Dibanding peran lembaga komersial lain seperti art fair dan balai lelang, peran galeri dalam membangun nilai seni bahkan lebih besar karena galeri memiliki basis relasi yang lebih dekat, ajek, dan permanen dengan perupa, kolektor, pencinta seni, pengamat, penulis, publik, media, serta pemangku kepentingan lainnya.

Menandai langkah pertamanya di Bali, AXG menggelar pameran seni rupa Resurrection yang diikuti puluhan perupa Indonesia dan mancanegara. Para perupa itu adalah Ana, Andi Prayitno, Ang Che Che, Anis Kurniasih, Antoe Budiono, Ben Wong, Budi Asih, Burhanudin Reihan Afnan, Cadio Tarompo, Camelia Mitasari Hasibuan, Chairol Imam, Dedi Imawan, Dona Prawita Arissuta, Hendra Purnama, I Made Gunawan, I Made Santika Putra, I Putu Adi, I Wayan Legianta, Jemana Bayubrata Murti, Johnny Gustaaf Siahaya, Lim Tong Xin, M. Aidi Yupri, Ni Nyoman Sani, Rawraw, Sinisha Kashawelski, Wahyu Nugroho, dan Wisnu Ajitama.

jemana-murti
Jemana Bayubrata Murti, Reflecting on Caravaggio Narcissus, 2022

Kata resurrection dapat dimaknai secara luas sebagai kebangkitan. Sebagaimana yang tersirat pada judulnya, pameran ini hendak menegaskan visi AXG sebagai lembaga yang berniat membangkitkan martabat seni dengan mempromosikan apresiasi terhadap karya seni rupa sebagai prestasi budaya bernilai tinggi, bukan sekadar barang dagangan mahal. AXG bermaksud membangkitkan martabat seni dengan menghadirkan, dalam ungkapan Benny Oentoro, pendiri AXG, “seni yang diciptakan untuk menginspirasi, memperdalam dan membangkitkan sesuatu yang transenden”.           

Pameran ini menggemakan momen pluralis seni era kontemporer. Karya-karya yang ditampilkan menunjukkan keberagaman tema, gaya, bahan, konsep maupun pendekatan artistik. Ada karya dwimatra dan trimatra: lukisan, gambar, karya grafis, patung, dsb. Ada karya konvensional, ada pula karya yang menerabas batas konvensi. Ada karya yang dibuat secara tradisional, juga ada yang melibatkan teknologi tinggi. Sebagian karya mengangkat tema personal, sebagian lainnya membidik masalah sosial atau global.

Wahyu-Nugroho
Wahyu Nugroho, Penyangga #2, 2022

Karya Rawraw, Jemana Bayubrata Murti, M. Aidi Yupri, Dona Prawita Arissuta, dan I Wayan Legianta, contohnya, menunjukkan upaya eksplorasi bentuk dan media untuk menantang paham konvensional tentang lukisan. Cadio Tarompo memeragakan kemampuan teknologi dalam mentransformasi pengertian tentang “lukisan”: citra dalam lukisannya baru sepenuhnya tampak jika lukisan itu dilihat dengan bantuan aplikasi pemindai negatif film. Lim Tong Xin mempercanggih tradisi gambar dan sketsa. I Putu Adi, Chairol Imam, dan Sinisha Kashawelski menafsirkan kembali ragam seni rupa tradisional.     

Cadio-Tarompo
Cadio Tarompo, Sendok Positif, 2022

Meskipun bentuk maupun isinya beragam, karya-karya dalam pameran Resurrection memperlihatkan kepekaan terhadap “keindahan”. Menurut Margaret Morgan dalam “Regarding Beauty” (2006), “keindahan” telah berabad-abad dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan orang mengalami rasa nikmat. Jika indera kita merasakan kenikmatan ketika kita melihat sesuatu, maka sesuatu itu pasti sebentuk “keindahan”. “Keindahan” dianggap bertalian dengan “kenikmatan”.

Pengertian klasik “keindahan” seperti itu sering ditolak sejak munculnya modernisme seni rupa pada akhir abad ke-19 di Eropa. Seni rupa modernis garda depan memuliakan yang buruk rupa, yang kasar, yang biasa, yang sehari-hari, segala yang dianggap tidak indah oleh kaum borjuis. Untuk menampilkan keindahan, pelukis modernis tidak lagi melukis perempuan cantik, tapi justru perempuan jelek. Pergeseran pandangan tentang keindahan itu antara lain disebabkan oleh tendensi seni modernis untuk menjauhi konvensi masyarakat borjuis yang dianggap munafik dan dekaden. Perupa modernis berhasrat mengungkapkan “kebenaran”, bukan “keindahan”. Oleh sebab itu, seni rupa mereka tidak perlu indah. Seni rupa mereka justru boleh mengejutkan, meresahkan, bahkan menjijikkan. 

Keindahan sering dilihat sebagai lawan dari konseptual. Pasalnya, keindahan berada di ranah pemirsa, sedangkan konseptual berada di ranah seniman. Keindahan dirasakan oleh pemirsa. Konseptual disusun oleh seniman. Dalam pandangan Margaret Morgan, keindahan diidentikkan dengan “seni yang baik, ‘murni’ estetis, menyenangkan, molek, rapi, anggun, sublim”. Keindahan dianggap sebagai “antitesis terhadap konseptual, analitis, naratif, didaktis, politis, hina (abject)”.

Dalam The Invisible Dragon (1993), kritikus seni Amerika, Dave Hickey, menyerukan gagasan tentang “kembali ke keindahan”. Ia mengatakan pengalaman menyaksikan seni rupa seharusnya menyenangkan. Di hadapan lukisan, pemirsa seharusnya menikmati lukisan tersebut, bukan berpikir untuk memahami makna, pesan atau konsep di balik karya. Hickey pada dasarnya mengatakan aspek visual lebih penting daripada aspek konseptual.

Sinisha
Sinisha Kashawelski, Nolite Tempore, 2022

Karya-karya dalam pameran Resurrection menghargai segi keindahan, tetapi juga memperhitungkan sisi konseptual. Kesadaran terhadap konseptual diungkapkan di tataran bentuk maupun isi karya. Di tataran bentuk, pencarian konseptual paling terlihat pada berbagai interogasi kreatif perupa terhadap “tradisi” pembuatan karya seni rupa (art making), termasuk terhadap media rupa. Di tataran isi, jelajah konseptual terbaca jelas dalam respons kritis perupa terhadap persoalan eksistensial, psikologis, sosial, religius, historis, ekologis dsb. Para perupa menerjemahkan konseptual menjadi keindahan. Dengan cara demikian, keindahan menjadi bergizi, dan konseptual menjadi dapat dinikmati.

Para perupa pameran Resurrection berasal dari latar sosial-budaya yang berbeda-beda. Kebanyakan dari mereka jarang, atau bahkan baru pertama kali, berpameran di Bali. Kenyataan ini selaras dengan misi AXG untuk mendorong pertukaran kreatif antarperupa dan menghadirkan karya-karya bermutu tinggi dari berbagai kawasan. Misi itulah yang terus diperjuangkan AXG melalui berbagai program pameran di dalam maupun luar negeri sejak galeri ini berdiri pada tahun 2009 di Surabaya dan kemudian berbasis di Singapura.

peresmian
Gwen The meresmikan pameran Resurrection didampingi Direktur AXG, Benny Oentoro.

Pameran Resurrection menandai kebangkitan AXG di ruang barunya di Bali. Ruang untuk melanjutkan kerja kulturalnya dalam menyediakan “jendela ke jiwa, tempat gairah bertemu dengan kreativitas”.

ARIF BAGUS PRASETYO

Penulis, penerjemah, dan kurator seni rupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *