PUISI VISUAL PENYEMBUHAN DAN PERJALANAN FUNKY SUN
Desember hampir berakhir. Tahun 2019 segera berlalu. Perupa Cina, Sun Rong Fang alias Funky Sun, mendarat di Bali. Ia bermaksud merayakan tahun baru di Pulau Dewata. Bali berhasil memikatnya. Membuatnya merasa betah. Tak terasa, Maret pun tiba. Pemerintah Indonesia memaklumkan badai virus Covid-19 telah menembus negeri ini. Penerbangan dari dan ke Indonesia kemudian dihentikan. Karena satu dan lain hal, Sun tak pulang ke Negeri Tirai Bambu.
“Terdampar” di Bali ternyata menjadi berkah terselubung bagi Sun. Pembatasan kegiatan masyarakat yang gencar diterapkan di Bali untuk menekan laju penularan Covid-19 memberikan banyak waktu kepada Sun untuk tekun berkarya selama di Bali. Di tempat tinggalnya yang jauh dari keramaian, di pelosok Tegalalang, Ubud, ia merenung dan mencipta. Sun banyak merenungkan situasi kemanusiaan yang berubah secara dramatis akibat pandemi, dan menciptakan karya seni yang menanggapi kehidupan baru manusia di tengah ancaman penyakit menular.
Karya-karya lukis yang dihasilkan Sun di Bali merupakan bagian utama dari pameran tunggalnya di Galeri Zen1, Badung, Bali, 2–22 Mei. Sun memberikan judul unik untuk pameran perdananya di Indonesia ini: OBART. Kata “obart” terbentuk dari racikan dua kata: “obat” dan “art” (seni). Sun mengaku pernah mendengar dari seseorang bahwa nama Ubud, tempat ia berkesenian saat ini, sesungguhnya bermakna “obat”. “Obart” menjadi ungkapan baru yang menunjuk gagasan kreatif seorang perupa Cina di Ubud tentang pertalian mendalam antara seni dan pengobatan. Seni dan penyembuhan.

“Dalam situasi pandemi Covid-19, kita semua menghadapi masalah kesehatan,” kata Sun. “Ada yang kehilangan anggota keluarga, ada yang menderita, ada yang ketakutan. Yang bisa kita lakukan dalam situasi ini adalah memahami tubuh kita dengan cara yang benar. Itulah sebabnya aku ingin berbagi OBART dengan semua orang melalui seniku.”
Melalui serangkaian gubahan visual puitis yang lahir dari renungan tentang tubuh dan alam, Pameran OBART berbicara tentang seni penyembuhan. Sun tampak memahami seni penyembuhan dalam dua arti yang tak terpisahkan: penyembuhan sebagai seni, dan seni sebagai penyembuhan.
Karya-karya dalam OBART berangkat dari pengalaman pribadi Sun ketika menyembuhkan dirinya sendiri, khususnya masalah psikologis yang dialaminya. OBART merefleksikan bagaimana Sun berpikir tentang dirinya dan lingkungan, tentang dunia di dalam dan di luar dirinya. Refleksi personal tentang penyembuhan ini berjalin dengan pemikiran mengenai kehidupan umat manusia yang kini berjuang menyembuhkan diri dari pandemi. “Proyek Pameran OBART mencerminkan perasaanku tentang situasi dunia saat ini,” ujar Sun.
Penyembuhan yang diangkat dalam OBART berakar pada ajaran Taoisme, tradisi filosofis-religius tua Cina yang dianut oleh Sun. Sebagaimana yang dikemukakan Daniel Reid dalam The Complete Book of Chinese Health and Healing (1994), keseimbangan dan harmoni merupakan prinsip kunci dalam jalan hidup Taois. Kesehatan sepenuhnya bergantung pada pemeliharaan keseimbangan dan harmoni antara esensi, energi, dan roh; antara energi organ-organ vital; dan antara tubuh manusia dan lingkungan alamnya. Hidup selaras dengan alam adalah jalan menuju keseimbangan dan harmoni.
Tema penyembuhan yang diresapi pandangan Taois tampil menonjol dalam sejumlah lukisan Sun yang dibuat pada media kertas padi (rice paper) khas Cina. Keselarasan dengan alam terungkap dalam lukisan-lukisan yang menampilkan citraan alam seperti bunga, daun, batang pohon, dan binatang. Citraan-citraan itu digoreskan pada kertas dengan garis mengalun dan sentuhan penuh perasaan.

Karakter liris yang kuat juga terpancar dari beberapa lukisan kertas lain yang bersubjek figur manusia. Ada orang-orang yang digambarkan sedang melakukan kegiatan jasmani seperti kungfu. Ada pula seseorang yang duduk dengan sikap tubuh meditatif. Sebuah lukisan memperlihatkan skema pertautan antara titik-titik pada wajah dengan organ internal manusia. Figur manusia dalam lukisan Sun seperti menunjukkan kesadaran tinggi akan tubuh. Kesadaran tentang tubuh ini mencerminkan pandangan Taois bahwa ketimbang disebabkan oleh serangan dari luar, penyakit lebih disebabkan oleh kelengahan kita menjaga diri, misalnya tidak menerapkan pola hidup sehat.

Hampir semua lukisan kertas Sun yang bersubjek manusia disertai dengan tulisan beraksara Cina. Tulisan Cina tersebut dikutipnya dari buku kecil manual ajaran Taoisme yang dibawanya ke mana pun ia pergi. Kehadiran serentak citra manusia dan teks Cina dalam lukisan dapat ditafsirkan sebagai ungkapan ketidakterpisahan antara tubuh dan pikiran, suatu pandangan Taois yang berseberangan dengan pandangan dualistik filsafat Barat.

Selain lukisan kertas, Pameran OBART juga menampilkan salinan cetak dari lukisan digital yang dikerjakan dengan aplikasi lukis di komputer tablet. Karya-karya ini merupakan bagian dari seri “buku harian visual” (visual diary) yang dihasilkan Sun sejak beberapa tahun lalu. Seperti pelukis tradisional yang suka menenteng buku gambar ke mana-mana untuk membikin sketsa (yang mungkin akan dikembangkan di studio menjadi lukisan), Sun selalu membawa komputer tablet untuk membikin lukisan (bukan sketsa!) di mana pun. Dengan komputer tabletnya, ia “mencatat” secara visual-artistik momen-momen yang berlangsung singkat, namun penuh makna, dalam pengalaman hidupnya sehari-hari.
Sebagaimana lazimnya pelukis Cina, Sun akrab dengan teknik lukis pada kertas padi. Ia bahkan belajar kaligrafi dari kakeknya sejak kecil. Namun, Sun tak segan melukis dengan media komputer tablet. Baginya, bahan lukis tidak penting. Yang penting adalah apa yang disampaikan dalam lukisan. Meskipun demikian, efek visual khas lukisan (painterliness) tetap menjadi salah satu daya tarik kuat karya digital Sun.
Sebelum pandemi melanda, Sun adalah perupa yang kerap melakukan perjalanan. Banyak negeri di berbagai belahan dunia telah dijelajahinya. Kemampuan dan kesukaan melukis digital di komputer tablet memungkinkan seorang pelancong seperti dirinya untuk menyalurkan gairah kreatif artistik tanpa terkendala oleh keterbatasan ruang, waktu maupun materi. “Dengan tablet, aku bisa melukis di mana saja. Rasanya seperti membawa studio ke mana-mana,” ucap Sun.

Berbeda dengan lukisan kertasnya yang terasa “Cina” (mengingatkan pada lukisan tradisional dan kaligrafi Cina, mengangkat unsur budaya tradisional Cina), lukisan digital Sun berkarakter kosmopolitan. Karya-karya digital Sun menampilkan pemandangan berbagai belahan dunia: Eropa, Mesir, India, Hong Kong, Bali. Ada keragaman budaya. Ada percampuran ras, etnis, jenis kelamin, kelas sosial, bahkan agama. Seakan tidak ada lagi batas kultural dan sekat identitas, yang secara ironis justru sering menimbulkan masalah di dunia global. “Setelah banyak melakukan perjalanan, aku merasa dunia ini tidak lagi begitu besar. Tidak lagi begitu berbeda-beda,” tutur Sun.
Satu lukisan digital mengungkapkan dengan tajam visi Sun tentang kuali peleburan (melting pot) budaya dan identitas. Dua perempuan berjilbab dan bergaun muslim duduk minum kopi atau teh di ruangan berjendela lengkung ala arsitektur mediterania. Di belakang dua perempuan itu, membelakangi mereka, seorang perempuan berambut pirang dan berpakaian Eropa tampak berdiri memotret gunung dengan ponsel. Di manakah adegan ini terjadi? Keterangan tempat di pojok bawah lukisan mengungkapkan lokasinya yang tak terduga: Bali!

Lukisan digital Sun bertabur warna-warni cerah. Suasananya terasa ceria. Alam yang molek. Kota nan elok. Daun dan bunga begitu segar. Makanan dan minuman bertebaran. Orang-orang bersantai menikmati hidup. Semua seakan memancarkan energi positif.
Lebih dari sekadar bias pandangan turis, atmosfir hangat yang melingkupi karya digital Sun menegaskan kekuatan seni dalam menyembuhkan: seni sebagai penyembuhan. “Ketika membuat karya seni, aku merasa diriku menjadi lebih baik,” kata Sun yang juga menekuni kungfu dan ilmu penyembuhan tradisional Cina. “Aku ingin berbagi energi yang baik, yang sehat, melalui seni. Seni itu seperti obat. Seperti vitamin. Seni memberi energi yang baik dan menyembuhkan.”
