Puan Kenangan | sajak-sajak Fajar Satriyo

Menziarahi Oktober

Oktober tergurat pada nisan. Ziarah malang terasa dingin dan nestapa. Ratusan selongsong peluru menyemayamkan isak tangis yang terbata-bata. Ribuan sorak-sorai telah lunglai tersedak kabut yang menderai. Lantas semua pun tahu, Yamadipati kini berperawakan pelindung dengan busur air mata kadaluwarsa,

–kematian pun enggan menuding, gerangan siapa yang menyulut kutuk Ibu.

Puan Kenangan

Bukankah Puan mengerti, kami enggan dimabukkan air mata. Sehingga tiada pula tangan rela melambai sampai jumpa. Kami bayangkan rona merah dalam bibir Puan mengigil dari balik jendela pesawat yang menembus langit-langit kudeta. Sesaat, sebelum kelak kita mengenang bandara menjadi museum perpisahan yang menyimpan masa silam dari bangsa kelam.

Dalam malam yang angkuh, kami kerap terbangun oleh mimpi Bavaria yang nestapa. Tempat dimana Puan berasa jauh dari aroma masakan ibu dan wangi kemeja putih ayah. Kami kini tak dapat memejamkan mata dalam igauan resah yang tak hendah sudah. — Lantas langit masih melengkung hening membekukan suara dari Surabaya. Kami pun terkantuk menidurkan kerinduan pada sosok yang menjelma pengembara, Bukankah Puan mengerti.

Lebaran Bersama Ibu

/1/

Selama setahun jari tangan Ibu begitu anggun tak henti-hentinya merajut kasih sayang, yang nantinya akan aku kenakan ketika perayaan kemenangan dan arak-arakan senyuman, meski kini Ibu mendadak mengabut di keheningan malam dan aku tiada henti mengejanya.

/2/

Sebelum malam lebaran tiba, Ibu menjelma sepasang ingatan yang mengembun dan menempel di pelupuk mataku; aroma pandan adonan, kue kering yang belum diangkat dari loyang,

juga lantunan takbir yang menidurkan mimpi selepas semalam berjaga.

/3/

Lebaran di tanah basah sehabis germis, Ibu menyuguhiku sebaris nama dan tanggal yang tergurat pada sebongkah batu bisu. Tak pernah terdapat alamat. Lantas aku harus segera mengucapkan kata yang sempat Ibu kenal artinya — meski sepi ialah kata yang tepat merayakan lebaran bersama Ibu.

fajar-satriyo

Fajar Satriyo merupakan alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Buku pertamanya Rona Merah (Kumcer, Pagan Press 2022). Tergabung di Teater Gapus Surabaya. Fajar dapat disapa melalui instagram @fajar.satriyo.

Photo by Elizaveta Dushechkina: https://www.pexels.com/photo/person-holding-brown-flower-curtain-3750715/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *