CandikataEsaiSeni

Pre-historic Soul: Death Project, Kematian adalah Bukti Abadi Kehidupan

oleh L. Taji

Semua yang hidup akan mati. Sebuah kalimat sederhana untuk menggambarkan bagaimana kematian menjadi sebuah fase yang akan dicapai oleh kehidupan. Tidak hanya sampai pada titik berhentinya fungsi-fungsi biologis dari tubuh, kematian memiliki pemaknaan yang hidup sesuai dengan ruang tempat kehidupan tersebut hadir dan tumbuh.

Kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan menghadirkan kekayaan dalam tradisi pemaknaan terhadap kematian. Michael Kerrigan (2007) dalam buku Sejarah Kematian mengatakan bahwa tidak ada sumber studi ritual kematian, tidak ada yang lebih  bermanfaat selain Indonesia, sebuah negara kepulauan yang di dalam tebaran pulau-pulaunya terdapat banyak kebudayaan yang berkembang secara terpisah selama berabad-abad. Keanekaragaman budaya yang luar biasa di dalam satu wilayah, yang secara geografis relatif kecil, tempat satu pulau dengan pulau yang lain memiliki kumpulan tradisi beragam. Sangat berbeda dengan tradisi-tradisi yang ditemukan di tempat lain di dunia.  

Hal ini tentu tak bisa dilepaskan dari bagaimana artefak-artefak yang berkaitan dengan prosesi kematian bisa ditemukan dan tersebar di kepulauan Indonesia. Pemaknaan dan artefak yang membentang dari zaman prasejarah hingga kini. Eksistensi pemaknaan dan ritual atas kematian setidaknya tampak pada penemuan artefak sarkofagus di Bali, kubur peti batu di Jawa Timur, menhir di Sumatera Barat, kubur tempayan, dan sebagainya.

Selain keberadaan artefak yang menunjukkan bagaimana ritual kematian zaman megalitikum pernah hadir di Nusantara, aktivitas ritual yang bercirikan budaya megalitikum masih dilaksanakan di  beberapa wilayah seperti sebagian wilayah Karo Sumatra Utara, Kepulauan Nias, Suku Toraja di Sulawesi, dan Kepercayaan Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan yang memadukan konsep animisme, spiritualisme, dan dinamisme. Dalam kepercayaan yang masih dianut sekitar 30% penduduk Pulau Sumba, kematian merupakan sebuah proses peralihan dalam kehidupan setiap manusia, yaitu proses peralihan dari kehidupan sementara di alam fana ke kehidupan abadi di alam baka, dari kehidupan berjasad kasar ke kehidupan jasad halus.

Proses peralihan itu merupakan suatu krisis karena pada saat kematiannya, manusia sama sekali tidak mempunyai daya kekuatan sendiri untuk melepas roh dari tubuh yang telah mati. Yang mampu melepaskan roh adalah para sanak keluarganya dengan cara melaksanakan berbagai rangkaian upacara yang telah ditentukan dalam adat kematian dan penguburan. Merekalah yang berkewajiban menyelamatkan roh dengan melaksanakan ritus-ritus dengan secermat-cermatnya.

Kecermatan dan kesempurnaan pelaksanaan ritus-ritus itu sangat menentukan “nasib” roh anggota keluarga yang meninggal. Sebab, apabila pelaksanaannya tidak cermat dan tidak sempurna, roh si mati akan mengalami banyak kesulitan dalam perjalanannya mencapai Negeri Marapu, “Parai Marapu”. Apabila tidak sempurna dalam prosesnya, arwah bahkan bisa tersesat dan menjadi penghuni masyarakat arwah yang terkutuk untuk selama-lamanya.

Dalam kosmologi masyarakat Sumba, alam semesta terbagi atas tiga lapisan, yaitu lapisan atas (langit), lapisan tengah (bumi), dan lapisan bawah (di bawah bumi). Sebagai penguasa tertinggi, Tuhan (Ilah tertinggi) dan para Marapu dipercaya tinggal di langit (Wellem, 2004 ).

Ritus-ritus itu meneguhkan saling keterikatan di antara mereka, membentuk sarana yang ampuh untuk menguatkan semangat solidaritas mekanis. Inilah yang merupakan sarana pengikat, tidak saja dalam masyarakat kecil, tetapi juga dalam masyarakat besar, yang sedang menempuh jalan ke solidaritas organis. Kepercayaan asli di Nusantara ini sudah seharusnya menjadi contoh warisan budaya tangible dan intangible yang terintegrasi dan lestari.

Kepercayaan Marapu asli masyarakat Sumba tersebut sejatinya adalah khazanah ilmu pengetahuan. Ada kelengkapan sistem dalam kepercayaan tersebut, pengetahuan yang selalu mempelajari gejala alam untuk bisa beradaptasi dan bertahan di kehidupan.

Kepercayaan Marapu masih menyebar di seluruh Pulau Sumba dan memiliki kriteria keistimewaan yang tidak terbantahkan. Pola adaptif dalam pengelolaan warisan budaya kepercayaan Marapu dapat dilakukan dalam berbagai media mengikuti kaidah pelestarian. Bukan hal mustahil jika suatu saat Pulau Sumba dengan kompleksitas warisan budayanya dapat menjadi museum pulau.

Semangat pelestarian serta eksistensi kepercayaan Marapu dengan berbagai manifestasi wujud budayanya menjadi inspirasi dari “Death Project”, yang merupakan bagian dari proyek “Prehistoric Soul” yang sudah digelar sejak 2004.

Teater Multimedia Baru

“Death Project” dibungkus dalam tema Kematian adalah Bukti Abadi Kehidupan”, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang namanya kematian. Keabadian secara implisit akan terlihat dari bentuk perlakuan jasad secara fisik dengan berbagai bentuk penguburan sebagai bentuk penghargaan arwah. Terdapat hal-hal yang dapat dipetik sebagai pembelajaran, seperti munculnya fakta artefaktual (kepurbakalaan) sebagai bentuk tinggalan masa lalu (makam), ritual sebagai gambaran nilai budaya (kosmologis), dan implementasi kepercayaan dalam berkehidupan duniawi. 

Tema ini juga terkait dengan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Kepercayaan Marapu sebagai entitas dari budaya secara luas dan beragam akan diangkat sebagai bagian khazanah budaya Nusantara dan ilmu pengetahuan. 

Kematian adalah Bukti Abadi Kehidupan” hadir dalam bentuk gelaran teater multimedia. Pengertian multimedia secara umum adalah  penggabungan teks, gambar, animasi, audio, video, dan interaksi dalam komputer atau segala yang berhubungan dengan teknologi komputer.

“Secara umum, tujuan proyek ini adalah untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat atau publik yang lebih luas terkait budaya dan tradisi. Kami melihat Sumba sebagai laboratorium pelestarian budaya, serta konsep Marapu sebagai akar semangat jiwa konservatif masyarakat Sumba” ungkap Jonas Sestrakresna, sosok visual anthropologist yang telah bergerilya dengan konsep “Presitoric Soul” lebih dari 15 tahun yang lalu.

Melalui penggunaan pendekatan multimedia, Jonas Sestrakresna berharap semakin mengenalkan multimedia sebagai sarana untuk menjaga kelangsungan pengetahuan budaya. Multimedia dapat menstimulasi ketertarikan masyarakat dan pemerintah untuk membuat museum digital yang berorientasi koleksi tangible-intangible, cagar budaya bergerak-tak bergerak yang datanya (artefak/foto, aktivitas/data video) dapat dikumpulkan secara kolektif sejak dini. Pengumpulan data tersebut tentunya sangat berguna untuk warisan budaya Indonesia, tidak hanya menjadi data arsip, tetapi juga bisa menjadi bahan untuk menghasilkan karya baru lagi di lintas disiplin ilmu yang berbeda.

Gelaran “Death Project: Kematian adalah Bukti Abadi Kehidupan” akan dilangsungkan di dua tempat, yaitu Bali dan Sumba Timur.

Pertunjukan yang diadakan di Bali hanya mempresentasikan dua adegan, yaitu proses pembungkusan tubuh dengan kain tenun dan proses papanggang (pengawal) menuju batu kubur dengan memanfaatkan dua sisi area penonton sebagai area replika kubur batu dan video mapping. Dua adegan tersebut akan didahului dengan pengantar audio visual budaya megalitik dunia, Nusantara, dan Bali.

Gelaran di Bali berlangsung pada Kamis, 5 November, di Kalangan Tajen, Pura Dalem Mutering Jagat, Desa Kesiman, Denpasar. Pentas melibatkan seniman lintas wilayah dan disiplin. Dari Sumba, hadir Atta Ratu (musik), Nancy Dwi Ratna (aktivis perempuan dan tenun designer), Anton Toba Lenda (budayawan dan penari), dan Lukas Lunggi Haling (instalasi dan musik). Sementara dari Bali, hadir Jonas Sestrakresna (multimedia), Bimo Dwipoalam (multimedia), Wahyudi Chandra (multimedia), Andi Muhtar (instalasi), Pierre Alvian (musik), Sunu (musik), Gihon “Pale” Siahaya (musik), Ronald L. (musik), dan Arie Putra (instalasi).

“Prehistoric Soul Project” merupakan sebuah proyek performance art dari Jonas Sestrakresna untuk merekonstruksi hidup prasejarah menggunakan pendekatan multimedia dan sains. Hadir pertama pada 2004 melalui “Some Rice et Festival”, proyek dilanjutkan dengan “Incestplaneta” (2006), “Mongoloid Migration”, “Human is Alien” (2015), “Leviathan Lamalera” (2017), dan pada akhir tahun ini, “Death Project”. “Prehistoric Soul Project” dihadirkan Jonas Sestrakresna untuk mengingatkan manusia pada kebutuhan dasar, agar manusia tidak terlalu larut pada konsumsi yang berlebih dan eksploitasi alam.

l_taji

L. TAJI

penulis, fotografer, aktivis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *