PRASIDHA 93: Potret Diri Sesungguhnya | esai Mikke Susanto

Prasidha 93 secara khusus telah menjadi salah satu kelompok yang turut mewarnai dan menyumbang pemikiran kesenian Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Berbekal atau berangkat dari latar pendidikan yang sama yakni berasal dari Jurusan Seni Murni, peminatan Seni Lukis ISI Yogyakarta, Prasidha 93 ingin turut membidik berbagai kemungkinan. Salah satu kemungkinan atau tujuan tersebut adalah pengembangan individu anggota untuk merasakan persaingan sekaligus kemitraan agar terus mengasah diri di tengah masyarakat. Karenanya meskipun sistem keanggotaan ini bersifat tertutup, namun keterbukaan atas berbagai kemungkinan pemikiran tetap terjadi. Prasidha ibarat ruang kelas yang tiada henti dan tanpa kelulusan.
Lalu dimana posisi Prashida dalam konteks “kelompok kerja” secara umum? Seiring perkembangan yang ada, kemunculan kelompok kerja seni turut memberi warna khas di Indonesia. Pengertian “kelompok kerja seni” dapat diasumsikan yakni mereka yang bernaung dalam satu wadah yang tetap maupun tidak tetap serta didasari semangat kebersamaan, termasuk tanpa diharuskan menjadi anggota pun dapat berpameran bersama selama persetujuan dicapai. Perihal sistem keanggotaannya yang tampak silang sengkarut tidak menjadi persoalan.
Latar belakang kemunculan kelompok kerja di Indonesia yang digagas seniman dengan berbagai pola berpikir dapat dilacak sebagai berikut: (1) pola lokalitas/ primordialisme (ASRI di Medan, SEMI di Bukittinggi, HIPTA Jakarta, Sanggar Dewata Indonesia; SAKATO & kelompok Semut asal Minang; dan Sanggar Bidar Sriwijaya dan kelompok Muara), (2) pola angkatan yang berangkat dari level tahun akademi atau mereka di luar akademi (kelompok Spirit 90, Legenda 92, Prasidha 93, kelompok Kosong, Blobor 98, dan lain-lain), (3) pola ideologi (Pelukis Rakyat, LEKRA, LKN, Lembaga Budaya Taring Padi, Kelompok Seni Rupa Bermain Surabaya, Yayasan Seni Rupa Komunitas dan lain-lain), (4) pola eksplorasi media & hasil riset (Apotik Komik, Asosiasi Pematung Indonesia, Mess 56, Petakumpet, Geber Modusoperandi, Performanceklub, HoNF dan lain-lain), dan (5) pola “kebetulan” (dimana munculnya kelompok tanpa ideologi, tanpa maksud apapun, hanya sekadar kebetulan dan biasanya kelompok-kelompok ini tidak bertahan lama serta hanya memakai nama secara serampangan dan bersifat sporadis).
Dengan latar belakang pola angkatan, sampai saat ini mungkin hanya Prasidha yang mampu bertahan dan terus eksis berpameran. Setidaknya Prasidha 93 sudah 6 kali berpameran, termasuk pameran di RJ. Katamsi Gallery pada 8-18 Oktober 2022 ini. Mengapa? Kemungkinannya karena sejumlah hal. Hal pertama yang menjadi alasan adalah karena sebagian besar anggotanya masih berkarya seni. Tercatat pada awal masuk anggota Prasidha berjumlah 50 orang mahasiswa pada tahun 1993. Pada pameran ini terbukti ada 28 anggota yang turut serta menyajikan karya-karyanya. Jumlah ini sesungguhnya bisa bertambah. Beberapa anggota yang masih berkarya, tetapi belum bisa turut serta dalam pameran ini dikarenakan adanya kesibukan yang belum bisa ditinggalkan.
Kedua, aspek kebersamaan terus terjalin. Lebih dari 50% anggota-anggotanya masih bertahan dan tinggal di Yogyakarta, meskipun telah lepas dari biduk akademik. Sistem saling mengunjungi, nongkrong bareng, dan pertemuan non-formal turut mendukung alasan ini. Terjalinnya silaturahim turut memicu keinginan untuk berpameran dan membuka peluang lainnya. Obrolan di Barak Seni Stefan Buana atau di SARANG Building, Kopi Wae, Studio Nyoman Masriadi, hingga warungnya Heru Uthantoro atau di Dicti Art Laboratory maupun di rumah para anggota lainnya menjadi contoh betapa jalinan komunikasi adalah hal penting dalam perspektif ini.
Perihal ketiga adalah kemauan untuk tetap berserikat dan berpameran. Hal ini pun ditopang karena sejumlah hal penting diantaranya adanya variasi profesi selain sebagai pelukis dalam kelompok ini: kurator, pemilik art space, pemilik penginapan, penulis, dosen, guru SMA, desainer buku, musisi digital, illustrator/komik, ahli mesin cetak, event organizer, pemilik warung makan, ahli pembuat snack, ahli kopi, ahli pengoplos minuman herbal, dan aktivis kreatif lainnya. Variasi profesi rupanya sedikit banyak memudahkan anggota lainnya dalam bertahan maupun memudahkan dalam mengelaborasikan diri dalam berkelompok maupun berpameran.

Beberapa anggota yang telah bereputasi nasional dan internasional, baik sebagai pelukis maupun penulis tetap rendah hati untuk saling membantu anggota lainnya yang masih meniti karir kesenian. Keinginan berserikat dan berpameran ini juga ditandai dengan hadirnya aktivitas pendukung lainnya berupa interaksi yang intensif untuk menggerakkan diri sebagai anggota keluarga dalam komunikasi media sosial di WA, FB ataupun IG. Asyiknya lagi ketika banyolan komunikasi dengan menggunakan “stiker” WA–berisi wajah para anggota–buatan anggota lainnya. Dari obrolan WA ini kita dapat merasakan status harian, situasi diri, termasuk kedewasaan masing-masing anggota.
Pada aspek lain, karya-karya anggota Prasidha tentu tidak boleh dilewatkan. Keberadaan anggota Prasidha yang merupakan mahasiswa lulusan atau jebolan seni lukis tak boleh dipandang remeh. Adanya person-person seperti Nyoman Masriadi, Jumaldi Alfi, Yunizar, Setyo Priyo Nugroho, Oscar Matano, Edwin Jurriens, Muji Harjo, Suraji, Wayan Arnata, Donny Kurniawan dan lainnya adalah jaminan atas pameran ini patut ditonton. Dari karya-karya bergaya realitik, pop, hingga non-realistik hadir. Dari subjek berupa benda sehari-hari sampai objek tak bendawi meminta perhatian. Dari yang verbal hingga simbolik menarik untuk diselami.
Saya tidak akan membahas karya mereka satu persatu atau mengambil contoh diantaranya dalam tulisan ini. Jauh yang lebih berharga untuk dikaji adalah konsistensi berkarya, kemauan bertahan dalam kelompok, dan kemampuan kreatif individu anggota Prasidha. Inilah yang patut untuk dipakai sebagai objek kajian/“kuliah” adik-adik mahasiswa, kawan-kawan seniman, maupun para dosen masa kini dan para apresiator lainnya.
Soal topik pameran ini yang bertema “potret diri” mungkin membuat Anda bingung. Sebagian konsisten dengan teori “potret diri” dalam seni rupa, sebagian lain terkesan “memberontak” atau tidak konsisten atas tema tersebut. Ternyata artikulasi potret diri itu bukan perkara wajah bagi sebagian anggota lainnya. Namun tak perlu bimbang, batasan judul itu justru yang membuat Prasidha bersatu. Kelompok ini memang bukan untuk menseriusi tema dengan gaya akademik. Nyata adanya sebagian anggota Prasidha sering mengemukakan, “Lukisan yang saya hasilkan adalah potret diri yang sesungguhnya, tinggal siapa dan dari sudut mana Anda menontonya?” Lha, kan?
Mikke Susanto adalah anggota yang mencatat Prasidha 93 dari dalam, tapi bukan sebagai kurator dalam pameran ini.