Plagiasi Karya Sastra dan Tuntutan di Ranah Hukum | esai Syukur Budiardjo

Di negeri ini, plagiasi rupanya dianggap lumrah. Penyakit literasi ini diidap oleh hampir semua orang, termasuk yang terdidik dan terpelajar sekalipun. Dosen dan guru. Mahasiswa dan pelajar. Tidak pandang bulu. Pejabat dan akademisi bergelar doktor dan profesor juga tak ketinggalan. Mereka menjadi plagiator.

Biasanya mereka memplagiasi karya tulis akademik. Artikel, artikel ilmiah populer, skripsi, tesis, dan disertasi adalah jenis-jenis karya tulis akademik yang sering menjadi bahan plagiasi. Itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk memperoleh gelar akademik, naik pangkat dan jabatan, dan menunaikan tugas-tugas dari guru dan dosen.

Seperti korupsi, plagiasi juga mencuri. Seperti begal atau maling, palgiator itu kriminalis. Namun, layaknya kelakuan orang-orang kita, mereka tak merasa malu jika ketahuan atau tertangkap. Bahkan, di dalam penjara pun, mereka sempat berbuat melawan hukum. Mereka mampu dan piawai mengendalikan kejahatan, misalnya mengedarkan narkoba. Dari balik jeruji besi mereka pun dengan leluasa melakukannya.

Meskipun para plagiator tahu bahwa memplagiasi karya orang lain itu bisa menyeretnya ke meja hijau, kasus plagiasi tak pernah berhenti. Selalu saja muncul kasus plagiasi dengan pelaku yang berbeda. Pelanggaran hak cipta ini seolah-olah tidak bisa dihentikan seperti layaknya korupsi.

Hak Cipta dan Kasus Budi Setiawan

Menurut Wikipedia, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur, mengumumkan atau memperbanyak penggunaan hasil penuangan gagasan, hasil ciptaan atau informasi tertentu atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan menurut peraturan undang-undang yang berlaku. Pada dasarnya, hak cipta merupakan hak untuk menyalin suatu ciptaan. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.

Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet) dan komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.

Kasus terbaru yang sempat mencuat dan menghebohkan dunia literasi dan jagad sastra adalah dugaan penjiplakan yang dilakukan oleh pengarang atas karya pengarang lain. Bahkan, karya jiplakannya itu bisa menembus dan lolos penilaian editor di dua media massa, satu media massa cetak dan satunya lagi media daring. Heboh plagiasi ini terkait dengan karya tulis kreatif cerita pendek atau cerpen. Sungguh mencengangkan.

Suatu ketika Budi Setiawan, penulis cerpen, dianggap telah meniru cerpen karya Agus Noor yang berjudul ‘Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat’ yang pernah dimuat di Harian Kompas pada 29 Desember 2019. Budi Setiawan menulis cerpen berjudul ‘Lelaki Penggali Kubur’, yang dimuat di Harian Suara Merdeka edisi 7 Juni 2020 dan tayang pula di media daring Detik.com pada 6 Juni 2020.

Setelah membandingkan kedua cerpen tersebut terlihat bahwa Budi Setiawan telah memermak cerpen Agus Noor. Sejak paragraf pembuka sangat jelas terlihat upaya Budi Setiawan dengan mengganti diksi, tokoh, dan judul cerpen. Ini hanya ulah akal-akalan yang dibungkus kreativitas. Akhirnya terkuak juga pengakuan Budi Setiawan yang telah meniru ide dan cerita Agus Noor.

“Apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini, sampai plagiarisme terang-terangan bisa terjadi tanpa rasa takut seperti ini? Apa pake ilmu ‘ga sengaja’?” tulis Agus Noor di Twitter-nya.

Agus Noor tidak hanya mengungkapkan keluhannya di Twitter. Namun, ia juga telah melayangkan somasi kepada Budi Setiawan. Inilah surat somasi yang telah ditulis oleh Agus Noor yang ditujukan kepada pelaku plagiarisme, yang dimuat di Halaman Agus Noor 21 Juni 2020 pada pukul 18.55:

Bahwa melakukan tindakan plagiat atas karya sastra (tulisan) punya konsekuensi hukum yang tak ringan. Surat somasi ini sudah dikirim kepada bersangkutan, karena melakukan plagiat atas karya saya, cerpen. “Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat”.

Tak mudah saya memutuskan ini. Dengan berat akhirnya saya menempuh jalur hukum, dengan memberi somasi. Janganlah saya disalahpahami dengan gampang memperkarakan orang.

Saya posting surat somasi ini, agar bisa memberi gambaran pada siapa pun, bahwa tindakan plagiarisme bisa dibawa ke ranah hukum: dari somasi, pelaporan, sampai ke pengadilan. Dengan risiko hukuman penjara.

Setiap karya, dilindungi oleh undang-undang, karenanya, melakukan plagiarisme atau mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri, bisa dituntut karena melanggar undang-undang. Karena itu: hati-hati. Jangan asal main comot karya orang lain.

Kesadaran hukum atas karya satra, sangat rendah. Bahkan cenderung menggampangkan. Persoalan selesai hanya dengan minta maaf. Proses hukum memang akan melelahkan (pada saat ini saya merasakan itu) tapi saya merasa ini mesti saya tempuh. Setidaknya saya ingin agar siapa pun mulai menghargai karya sastra sebagai karya intelektual yang dilindungi undang-undang. Sungguh: saya melakukan ini agar dunia literasi kita semakin baik dalam menghargai karya.

Tindakan Budi Setiawan yang telah melakukan permak terhadap cerpen Agus Noor menjadi batu ujian bagi pengadilan, korban, dunia literasi dan jagad sastra di tanah air. Permohonan maaf dan alasan tidak sengaja yang disampaikan Budi Setiawan tidak masuk akal dan tidak cukup sahih bagi sebuah keadilan yang terkait dengan karsa dan karya manusia. Budi Setiawan telah melecehkan nalar, hati nurani, dan hukum yang kita junjung tinggi.

Agus Noor sebagai korban telah melakukan somasi. Ini layak kita dukung. Langkah-langkah berikutnya di ranah hukum layak kita kawal. Aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim harus memberikan perhatian yang serius terhadap upaya penegakan hukum terkait dengan hak cipta ini.

Apakah motif Budi Setiawan melakukan plagiasi? Mungkin motif ekonomi, mungkin motif popularitas, mungkin motif prestise, atau mungkin motif yang lain. Tindakan melawan hukum ini direncanakan atau tidak? Di ruang sidang pengadilan nanti akan terungkap dan kita ketahui apa motif dan alasan sesungguhnya yang mendasari Budi Setiawan melakukan tindakannya.

Masyarakat sangat menunggu “drama” yang akan berlangsung di pengadilan nanti. Korban telah menuntut dengan mengajukan somasi. Pelaku harus berjiwa ksatria menghadapinya. Karena kasus ini bukan tindak pidana biasa. Namun, berbau pelecehan terhadap intelektualitas dan rasionalitas yang menjadi ciri utama manusia yang senantiasa tidak lelah berpikir dan berasa. Dunia literasi pada umumnya dan khazanah sastra pada khususnya sudah tidak sabar menantikan gayengnya pertunjukan; yang akan digelar di ruang sidang pengadilan.

Akan tetapi, hingga saat ini kita tidak pernah mendengar perkembangan kasus ini meskipun lebih dari setengah tahun masyarakat menunggu sejak Agus Noor melayangkan somasi kepada Budi Setiawan. Apakah kasus ini mengendap? Ataukah kasus ini akan dipetieskan? Ataukah kita akan melupakannya begitu saja seiring dengan lajunya sang waktu?

Kasus Plagiasi Baru Bermunculan

Belum lagi kasus plagiasi yang dilakukan Budi Setiawan terselesaikan secara adil dan bersih, kasus baru terkait plagiasi terhadap karya sastra, khususnya cerpen, muncul ke permukaan. Berkat internet dan media sosial, perbuatan plagiat tidak dapat lagi disembunyikan. Perbuatan busuk ini akhirnya cepat tercium juga oleh masyarakat.

Di akun Facebook Halaman Mekar Cipta Lestari, 2 Maret 2021 pukul 10.00, admin secara terbuka menulis status berikut ini:

“Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Kami mendapatkan informasi bahwa salah satu cerita pendek dalam buku Pesan Penyintas Siang terindikasi plagiat. Setelah melakukan konfirmasi dan koordinasi dengan penyelenggara kegiatan “Nulis dari Rumah” (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan IKAPI) ternyata berita tersebut benar adanya. Cerita pendek berjudul “Doa Sunyi Dedaunan Pohon Trembesi” kiriman Yose Rizal Triarto dianulir kemenangannya.”

“Cerita asli dari karya tersebut berjudul “Salawat Dedaunan” karya Yanusa Nugroho. Kami selaku penerbit tidak terlibat dalam proses seleksi naskah. Sebagai mitra penyelenggara kami hanya bertugas untuk melakukan produksi dan distribusi buku. Kami tentu sangat menyayangkan hal ini. Apapun alasan, plagiasi bukan tindakan yang kami amini. Semoga kedepan hal ini tidak terulang kembali.”

Menurut status tersebut, Yose Rizal Triarto memplagiat cerpen karya Yanusa Nugroho berjudul “Salawat Dedaunan”. Yose Rizal Triarto mengubah judul cerpen milik Yanusa Nugroho menjadi “Doa Sunyi Dedaunan Pohon Trembesi”. Benar-benar bim salabim dan abracadabra. Main terabas dan culas yang dipraktikkan di dunia tulis-menulis ini akhirnya ketahuan masyarakat pembaca juga.

Plagiasi yang lebih ekstrem dilakukan oleh R. Sutandya Yudha Khaidar. Ia telah memplagiasi puluhan cerpen, kemudian membukukannya. Manuskrip kumpulan cerpen ini hendak diterbitkannya di sebuah penerbitan dengan mencatut penerbit Mojok.Co. Ia juga mencatut sejumlah nama penulis dan dosen, sebagai pemberi endorsement dan testimoni. Seolah-olah nama-nama itu memang benar memberikan blurb berupa pujian terhadap diri dan karya-karya plagiatnya itu. Bahkan manuskrip ini pun telah didaftarkan ke Perpustakaan Nasional RI dan memperoleh ISBN pula.

Ulah akal-akalan dan menipu dilakukan oleh anak muda yang tidak mau bekerja keras dan malas. Rupanya ia menginginkan namanya meroket. Akan tetapi, perbuatan licik, culas, dan busuk itu pun terlacak juga berkat internet dan media sosial. Ia – konon anak pejabat dan mahasiswa – bermodalkan uang satu juta rupiah hendak menerbitkan dan mencetak kumpulan cerpen plagiasi.

Ketika kita membaca status di Facebook kita menemukan banyak keluhan dan curhatan pemilik akun yang menyatakan bahwa puisi karyanya telah diplagiasi oleh orang lain. Plagiator tersebut tanpa rasa sungkan dan malu mengatasnamakan puisi tersebut sebagai karyanya. Jadi, karya kreatif puisi dan cerpen yang diposting di Facebook sangat rawan dicuri oleh orang lain.

Sampai kapankah pencurian dan penipuan yang berkaitan dengan karya sastra ini akan terus berlangsung? Kita tidak dapat memprediksikannya. Padahal, para pemangku kepentingan di dunia literasi tidak menginginkan plagiarisme berkembang dan mewarnai jagad tulis-menulis di negeri ini.

Bukan HAMKA dan Chairil Anwar

Dalam sejarah sastra Indonesia modern, plagiasi pernah diramaikan dengan nama Haji Abdul Malik Kaim Amrullah (HAMKA) dan Chairil Anwar. Karya sastra kedua sastrawan ini pernah didakwa dan diduga sebagai hasil plagiasi. HAMKA didakwa memplagiasi novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dan Chairil Anwar pernah disangka memplagiasi puisi “Krawang – Bekasi”. Namun berkat pembelaan kritikus dan Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, nama kedua sastrawan tersebut mampu menembus ruang dan waktu. Karya-karyanya mengabadi dan dibaca masyarakat Indonesia hingga saat ini.

Para plagiator saat ini tentu saja bukan HAMKA dan Chairil Anwar. Karya-karya mereka belum apa-apa. Mereka belum mampu menghasilkan karya avant-garde. Saya menduga mereka hanya ingin terkenal tetapi tidak dapat dan belum mampu menunjukkan karya kreatif yang dapat mengguncang jagad sastra di negeri ini. Berbeda dengan HAMKA dan Chairil Anwar, yang namanya tetap kinclong dan moncer meskipun diguncang isu plagiasi, yang ditiupkan oleh orang-orang yang tidak menyukai HAMKA dan Chairil Anwar ketika negeri ini diperintah oleh rezim Orde Lama. Unsur politis sangat kental mewarnai gosip ini.

Kesimpulan sementara dikemukakan oleh Seno Gumira Ajidarma berkaitan dengan plagiarisme. Ia menulis bahwa (1) plagiarisme sebagai bentuk kebersalahan timbul dari mitos kesucian pengarang yang ditentukan oleh orisinalitasnya; (2) meski secara filosofis dominasi pengarang atas teks sudah terhapus, tidak berarti bahwa plagiarisme menjadi halal karena mengakui ketidakmungkinan untuk jadi asli tidaklah sama dengan pemberian izin untuk mengutip tanpa menyebutkan sumbernya; (3) plagiarisme sebagai masalah etis, meski moralitasnya merupakan tanggung jawab pelaku terhadap dirinya sendiri, layak diterjemahkan secara legal dan sosial, sejauh terdapat pihak yang karenanya mendapat kerugian dan ketidakadilan dalam segala bentuk; (4) setiap bentuk kebersalahan dalam konteks ini tentunya diandaikan dapat ditebus kembali. (“Plagiarisme dan Kepengarangan”, Seno Gumira Ajidarma, Kompas.Com, 9 Juni 2008).

Meskipun demikian, pada akhirnya kita tidak dapat mendukung dan memaklumi plagiarisme terhadap karya sastra puisi, cerpen, dan novel yang pada saat ini kian booming di media-media daring. Kita harus senantiasa mengumandangkan kata tidak kepada tindak kejahatan pencurian karya yang mencoreng sejarah sastra di negeri ini. Demikianlah..

Cibinong 14 Mei 2022

Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor sejumlah antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun Facebook, Instagram, dan Youtube menggunakan nama Sukur Budiharjo.

*Gambar Utama: Foto mohamed Hassan dari Pixabay

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *