CandikataCeritaSastraSeni

PIRILOS | cerita Kiki Sulistyo

Kami sudah melewati jembatan. Di sebelah kanan kami, aliran sungai kelihatan seperti garis lurus menuju laut. Di pinggir sungai, lampu-lampu kafe menerangi suara percakapan para pengunjung. Di sebelah kiri kami, aliran sungai tidak terlihat, sementara di pinggirnya rumah-rumah warga berdiri dalam arsitektur yang mengingatkan pada suatu bentuk seni yang tak terjelaskan.

Hililyah memegang tanganku. Aku merasakan telapaknya yang hangat di pergelangan tanganku.

“Bagaimana kalau kita lewat sana?” tanyanya seraya menunjuk tepi sungai tempat rumah-rumah berdiri.

Aku diam saja. Hililyah lalu menarik tanganku, mengajakku menyeberang. Sepertinya sudah hampir tengah malam, bayangan kami memanjang di ruang antara besi jembatan. Suara anjing langsung melompat begitu kami memasuki wilayah yang tak mendapat cahaya lantaran tertutup tembok-tembok tinggi pertokoan.

“Itu pasti anjingnya Pirilos. Dia tinggal sekitar sini. Kau tahu, kan?” ujar Hililyah.

Aku diam saja. Kami terus berjalan. Bau sampah, bau lumpur, bau kencing, dan mungkin juga bau keringat yang melekat di udara memenuhi rongga penciuman kami. Hililyah beberapa kali menghirup udara dalam-dalam seakan ia menikmati bau-bauan tersebut.  

Di depan sebuah rumah yang lampunya paling terang, kami melihat seorang bocah tak berbaju menurunkan perahu ke bibir sungai. Perahu itu jauh lebih besar dari tubuh si bocah sehingga ia nyaris terseret ketika perahu meluncur dari tebing kecil yang licin lalu tercebur ke air menimbulkan bunyi yang menyeramkan. Untung bocah itu dapat mengendalikan tubuhnya. Ia menyumpah-nyumpah ketika dari dalam rumah terdengar suara perempuan tertawa-tawa. Kami menengok ke arah suara dan di beranda rumah itu seorang perempuan yang luar biasa kurusnya tengah memamah-mamah sirih sambil terbahak-bahak. Si bocah berseru, “Semoga kau segera mampus!”

Saat itu kami tahu kalau si bocah itu bukanlah bocah sungguhan. Tubuh dan wajahnya memang bocah, tapi suaranya seperti seorang dewasa. Hililyah terkekeh-kekeh mendengar suaranya.

“Aku kira dia seumuran kita,” katanya padaku.

“Kalian mau cari siapa di sini?” tanya si bocah setelah menyadari keberadaan kami.

“Tidak ada. Kami cuma mau lewat.”

“Mau ke mana?”

“Tidak tahu.”

“Kok tidak tahu. Kalian mau mencuri ya?”

“Tidak. Barangkali kami tersesat.”

“Barangkali? Kalian jangan main-main.”

“Sebenarnya kami mau mencari teman.”

“Siapa namanya?”

“Namanya Pirilos.”

“Pirilos. Hmm, yang punya anjing besar?”

“Ya betul.”

“Kalau begitu kalian tidak tersesat. Jalan saja terus, nanti kalian lihat ada rumah kecil di sebelah kanan. Di depan rumah itu ada mobil rongsokan. Di situ rumah Pirilos. Ngomong-ngomong, kalian ini siapa?”

“Kami teman Pirilos.”

“Jangan mengada-ada. Tak mungkin Pirilos berteman dengan bocah.”

“Betul. Kami teman Pirilos. Kalau tak percaya, ikutlah dengan kami.”

Orang itu melengos, lalu masuk ke rumahnya yang terang benderang. Perempuan kurus menggerak-gerakkan tangannya seperti memanggil kami. Hililyah mengajakku mendekat.

“Kalian belum tahu, ya?”

“Belum tahu apa?”

“Soal Pirilos?”

“Ada apa dengannya?”

“Aku tak tega mengatakannya.”

“Katakan saja. Kami tak apa-apa.”

“Ah, sebaiknya kalian lihat sendiri.”

“Dia terserang penyakit?”

“Bukan.”

“Dia mati?”

“Bukan. Itu lebih baik.”

“Lalu?”

“Dia berubah jadi kecoak raksasa.”

Hililyah masih memegang tanganku. Telapaknya sekarang terasa berkeringat. Hililyah tahu aku takut kecoak, tapi aku diam saja mendengar cerita itu. Untuk menenangkanku, Hililyah mengelus-elus rambutku.

“Kalau begitu, kami harus menemuinya segera,” kata Hililyah bagaikan seorang wanita dewasa.

“Apa kalian tidak takut? Aku dengar bahkan dia sudah mengubah namanya.”

“Dia suka memakan anak-anak?”

“Siapa yang tahu? Kecoak itu binatang menjijikkan, bahkan bagi warga pinggir sungai ini.”

“Tapi kami kan temannya. Dia tidak akan memangsa kami.”

“Pergilah kalau kalian mau jadi santapannya. Mungkin kalian anak sebatang kara, takkan ada yang mencari bila kalian menghilang nanti.”

“Betul. Kami memang sebatang kara. Tapi kami tak akan dimangsa. Percayalah.”

“Sana pergilah.”

Kami kembali berjalan. Setelah agak jauh, Hililyah menengok ke belakang dan melihat bocah yang suaranya seperti orang tua itu telah melompat ke perahu. Hililyah cekikikan. Tadi ketika dia mengaku kalau kami sebatang kara, diam-diam aku menangis. Dia tidak berdusta. Di dunia ini memang cuma ada Hililyah buatku, dan cuma ada aku buat Hililyah. Ketika ditemukan Hililyah di antara tumpukan sampah rumah tangga, aku juga tak tahu siapa namaku. Hililyah memberiku nama Kafka. Aku tak tahu dari mana dia mendapat nama itu, yang jelas Hililyah selalu mengajakku ke mana pun dia pergi. Sesungguhnya aku tidak mengenal Pirilos dan tidak pernah pula melihat Hililyah berbicara dengan seseorang bernama Pirilos.

“Tadi nenek itu bilang kalau Pirilos sudah ganti nama. Ah, aku lupa bertanya soal itu. Bagaimana kalau kita kembali?” tanya Hililyah.

Dia tahu aku takkan menjawab, tapi raut mukanya ditekuk seakan sedang dilanda kecewa.

“Ah, rupanya kau sudah tak sabar bertemu Pirilos. Baiklah, siapa pun namanya, sekarang dia tetap Pirilos.”

Semakin jauh kami berjalan, semakin terdengar gemuruh aliran sungai. Aku tak tahu bagaimana bisa begitu. Aku hanya merasakan angin berembus agak kencang dan udara terasa lebih basah. Aku tahu sebentar lagi akan turun hujan, Hililyah juga tahu. “Hujan akan turun, Kafka,” ujarnya seraya membuka tangannya untuk merasakan tetes air pertama.

Tiba-tiba seekor anjing besar melompat dari kegelapan di sebelah kanan kami. Binatang itu menggeram sekuat-kuatnya, namun tubuhnya tak bisa menjangkau kami, tubuh itu terikat di sebuah tiang oleh rantai yang panjangnya hanya satu meter. Binatang itu nampak kesal bukan main. Dia melonjak-lonjak seolah berharap rantai yang mengikatnya putus dan ia bisa segera mengoyak daging kami. Hililyah tidak takut, dia malah terkekeh-kekeh, lucu melihat si anjing tak bisa melaksanakan niatnya.

Sementara anjing itu tak henti-hentinya menggeram, dari dalam rumah seseorang muncul. Bayangannya bergerak antara rimbun daun-daun mangga dan mobil rongsokan yang digantung di dahannya. Orang itu bertubuh tinggi, mengenakan baju monyet seperti para montir. Demi melihat Hililyah, orang itu segera merentangkan tangannya.

“Hililyah, gerangan apa semesta fana membawamu ke tempatku yang hina ini?”

“Pirilos, ha ha, sudah berapa lama kita tidak bertemu? Kurasa sejak orang-orang dimusnahkan di kamar gas, betul?”

“Ah, aku sudah tidak mengingatnya lagi Hililyah.”

“Kau memang gampang melupakan. Aku dengar kau bahkan sudah mengganti namamu, betulkah itu?”

“Sebenarnya aku tak bermaksud begitu. Bila saja kau datang pagi hari, kau akan lihat betapa aku bukanlah aku. Jadi kupikir tak ada salahnya mengganti nama pada pagi hari dan kembali lagi seperti biasa pada malam hari.”

“Dan kau berubah jadi kecoak raksasa?”

“Begitulah. Kukira kau sudah mendengarnya.”

“Aku mendengarnya dari perempuan tua yang rumahnya paling terang itu,” kata Hililyah sambil menunjuk ke belakang tanpa melihat.

“Oh, perempuan itu. Istri Tuan Murakami.”

“Yang badannya kecil seperti bocah?”

“Bukan. Itu anak mereka. Suaminya pergi, ah, lebih tepatnya lari. Tak tahu kena kutuk apa, kabarnya dia masih berlari sampai sekarang.”

“Omong kosong.”

“Ah, Hililyah. Apa sih di semesta ini yang bukan omong kosong? Bukankah kau mencariku juga demi omong kosong?”

“Aku mencarimu untuk mengakhiri semua omong kosong ini.”

“Bagaimana caranya?”

“Sebelum kujawab, aku harus bertanya dulu padamu, apakah kau bahagia hidup di dunia semacam ini?”

“Tentu. Aku bahagia. Kadang-kadang aku memang terkena penyakit gusi, tapi itu bukan masalah besar.”

“Kalau begitu tidak ada alasan untuk mengakhiri semuanya.”

“Bagaimana denganmu Hililyah? Apakah kau juga bahagia?”

“Sesungguhnya aku tidak bahagia. Karena itulah aku ingin menghapus semuanya. Tapi aku juga tidak tahu caranya. Aku mencarimu sebab kukira kau tahu bagaimana caranya.”

“Sayang sekali, Hililyah. Aku tidak tahu. Kalaupun tahu, aku tidak akan memberitahumu sebab aku tak ingin mengakhiri semua ini.”

Hililyah dan Pirilos sekarang berhadap-hadapan. Anjing besar yang tadi sudah ditenangkan menggeram lagi. Matanya berkilat-kilat menatapku.

“Bagaimana kalau kau tinggal saja Kafka di sini bersamaku. Kukira kami adalah pasangan tak terpisahkan,” ujar Pirilos.

Hililyah menatapku dengan mata yang di dalamnya berlintasan berbagai kesan; kemarahan, kesakitan, kekosongan.

“Apa kau mau tinggal bersama Pirilos?” tanyanya kemudian.

Aku diam saja. Aku mau bilang tidak, tapi aku diam saja. Aku tak bisa bicara, aku boneka dari kain perca peninggalan bocah perempuan yang mati di kamar gas.

“Baiklah Pirilos. Bawalah Kafka bersamamu.”

Hililyah melempar tubuhku. Pirilos menangkap tubuhku. Matanya berbinar-binar, diputar-putarnya tubuhku seakan kami sepasang balerina. Saat itu hujan mulai turun, titik-titiknya bagai jarum yang lenyap begitu menyentuh kulit.

“Aku pergi Pirilos!” seru Hililyah seraya berjalan kembali ke arah tadi, ke arah rumah yang terang benderang itu.

“Sampai jumpa, Hililyah! Temuilah kami kapan kau suka. Ingat ya, aku sudah berganti nama. Namaku sekarang Samsa. Gregor Samsa. Kau bisa mengingatnya?”

Hililyah tidak menengok. Di tengah deras hujan, aku bisa melihat dia mengangkat tangan dan mengacungkan jari tengahnya.

Aku kira semua ini memang cuma omong kosong belaka.***

Mataram, 8 Januari 2021

Kiki-Sulistyo

Kiki Sulistyo meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Ia mengelola Komunitas Akarpohon, di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Gambar Utama: Foto oleh Ross Sokolovski di Unsplash.

2 komentar pada “PIRILOS | cerita Kiki Sulistyo

  • Wah, cerita yng menarik. O ya kalau ngirim karya baik puisi maupun prosa ke MACA ada persyaratan khusus nggak ya, redaksi Yth.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *