Perempuan yang Berjalan Tanpa Alas Kaki di Bawah Hujan
oleh AIMAN YUSUF
Kamis ke tiga bulan Desember tahun kemarin, ketika hujan mengguyur kota kami, saya bertemu dengan perempuan yang berjalan tanpa alas kaki di lorong dekat rumah. Hujan yang deras, membuat genangan air menutupi sebagian langkah kami. Bunyi air yang mengalir di selokan, sayup-sayup terdengar bersama bunyi hujan yang menghantam atap rumah, beton tempat kami berpijak, dan pada tubuh kami sendiri.
Hari itu, saya mengenakan jas hujan berwarna hijau – tidak ada payung di rumah, jadi saya mengenakan jas hujan yang biasa saya simpan di bagasi motor – dan dia mengenakan jas hujan berwarna biru langit.
Perhatian saya terpusat padanya, tapi waktu itu, saya merasa bisa memotret keadaan di sekitar saya. Di tengah hujan, penglihatan saya seolah bisa menembus sampai ke ujung lorong yang panjangnya bisa ditempuh sekitar dua menit perjalanan. Saya bahkan merasa bisa merasakan potongan lorong dari belakang mata saya sampai ke gerbang.
Lorong di depan rumah saya sempit. Saat dua orang dewasa merentangkan tangan, salah satunya harus menjejakkan kaki di selokan. Tetangga di depan rumah selalu kesulitan memarkir mobilnya jika motor saya terparkir di depan rumah. Mungkin salah satunya karena itu – saya tidak yakin – saya merasa segala sesuatu yang ada pada pukul 14.00 wita menyusut dan hanya menyisakan kami berdua.
Dia berjarak sekitar tiga puluh empat langkah ketika pertama kali saya melihatnya. Saya berjalan di sebelah kiri dan dia di sebelah kanan. Dia menuju selatan dan saya ke utara. Dan adegan ini, tiba-tiba mengingatkan saya dengan cerpen Haruki Murakami, tentang dua orang yang berpapasan pada hari yang cerah pada bulan April di Tokyo.
Kau pernah merasa ada cerita pendek yang menceritakan sesuatu seperti yang telah kau alami? Atau membuka matamu untuk memandang lebih jernih terhadap pengalaman-pengalaman tertentu? Saya membaca cerpen Murakami sekitar dua tahun lalu dan sekarang saya merasa seperti berada dalam cerpennya.
Seketika, saya pun berusaha mengingat adegan-adegan dalam cerpen Murakami dan membayangkan bagaimana rasanya berada dalam cerpennya.
Mungkinkah perempuan di depan saya 100% sempurna untuk saya? Tokoh dalam cerpen Murakami merasa demikian dan setiap orang memiliki pandangan tertentu mengenai pasangan yang sempurna untuknya. Dan menurut saya, itu adalah hasil kerja keras dari setiap orang yang berusaha mengenali dirinya sendiri.
Perempuan itu sekitar 1, 2 atau 3 tahun lebih tua dari saya. Berwajah cerah-tenang dan bermata teduh. Seperti telah melewati berbagai hal dan telah mengerti bagaimana menjalani hidup.
Murakami menyinggung bentuk hidung, tapi sepertinya saya lebih suka memperhatikan matanya. Lingkarannya tampak sempurna untuk ukuran wajahnya. Mengingatkan saya dengan pemeran Grace Cahill dalam film Brothers.
Saya selalu percaya mata bisa memancarkan kualitas pengetahuan dan ketabahan seseorang. Matanya yang bersinar teduh itu seperti memiliki sesuatu yang luar biasa. Saya membayangkan, seandainya dia menjadi pasangan hidup saya, saya ingin dia menyambut saya pulang dengan tatapan mata yang menenangkan. Tatapan itu tidak lantas menguapkan seluruh masalah, tapi memberikan sandaran. Mata itu bisa membuat kita menerima kenyataan, tidak lari darinya, dan memberi keteguhan untuk menghadapinya.
Dari matanya, saya merasa dia tidak memandang rendah atau merasa rendah terhadap dunia. Itu mata yang penuh kewaspadaan, telah berdamai dengan kenyataan, lalu memeluknya penuh seluruh.
Sekilas, saya melihat butiran hujan yang jatuh pada jas hujannya berubah menjadi percikan dan sebagian mengenai wajahnya. Dengan tangan kanan yang basah, dia mengusap sisa percikan yang melekat pada alisnya.
Lalu saya melihat juga sebentuk ikatan berwarna biru yang mengumpulkan rambutnya di belakang leher. Saya melihatnya dari celah jas hujannya pada bagian penutup kepala.
Dan wajahnya, bagaimana menggambarkannya, yah? Senada dengan matanya, juga tampak menenangkan. Jika tidak sedang hujan, saya menduga bisa melihat cahaya pada dahi dan hidungnya. Yang tergurat di wajahnya adalah sesuatu yang alami.
Saya sering bertemu dengan orang-orang, tapi jarang menemukan wajah mereka. Kebanyakan adalah topeng. Entah menutupi sebagian, separuh, atau seluruhnya. Tapi pada wajahnya, saya merasa topengnya telah tanggal.
Saya merasa ekspresi pada wajahnya adalah sesuatu yang seharusnya. Seperti air yang bergemericik di sela-sela batuan, embun yang jatuh dari pucuk, atau seperti air tenang dan jernih tempat kita bercermin saat menjulurkan wajah. Dia memantulkan apa yang dilihatnya. Bukan seperti dedaunan yang dipaksa tanggal, atau seperti air yang disemburkan lewat mesin.
Saya sering membayangkan wajah seperti itu dan mencarinya pada setiap perempuan yang saya temui. Wajah seperti miliknya selalu menala kita untuk bersikap apa adanya, menerima kenyataan, dan melucuti setiap keangkuhan.
Bagaimana saya bisa mengetahui hal-hal seperti itu? Saya tidak menemukan cara yang tepat menjelaskannya, tapi merasa yakin. Lagi pula, tidak semua kepastian di dunia ini bisa terjelaskan dengan mudah, bukan?
Jarak saya dengannya kini sekitar sembilan belas langkah. Jika tidak ingin bernasib sama seperti tokoh dalam cerpen Murakami, saya harus mempersiapkan diri menyapanya. Cerpen Murakami sebenarnya mengajarkan saya bahwa hanya dibutuhkan sedikit keberanian untuk mengubah banyak hal dalam hidup.
Saat menjejakkan kaki selangkah lagi, bebeberapa percikan air terpisah dari genangannya. Ujung sandal saya melontarkan air ke belakang. Butiran-butiran pasir yang sebelumnya berada di bawah genangan, kini berpindah ke atas mata kaki saya.
Dalam cerita Murakami, kedua orang digambarkannya telah bertemu. Hanya saja, tokoh laki-laki merasa samar-samar telah bertemu perempuan tersebut atau tidak. Saya berbeda. Saya tahu pasti belum pernah bertemu dengannya. Saya pindah di perumahan ini tiga bulan lalu dan saya belum pernah melihatnya.
Apa dia juga tinggal di blok ini, tapi baru kali ini saya bertemu dengannya? Ataukah dia baru pindah? Ataukah hanya sekedar berkunjung?
Saya tidak tahu. Hanya bisa menduga. Tapi yang saya tahu, saya menyukai perempuan itu meski belum mengenalnya. Klise, saya mendengar kata-kata itu dari film yang saya nonton sembilan hari sebelum kejadian.
Jarak di antara kami semakin dekat. Kini dia berjalan tepat di bawah penampungan air berwarna jingga setinggi lima meter di atas rumah warga. Di dekatnya, sebentuk air mengalir dari atap rumah. Sekitar empat belas langkah lagi dan saya akan bernasib sama seperti orang yang ada dalam cerpen Murakami – jika tidak segera mempersiapkan diri menyapanya.
Sebenarnya saya menunggu semacam pemicu. Semacam sebab-sebab tertentu. Semacam pemantik yang bisa menempatkan saya dalam kondisi yang tepat.
Saya menunggunya menatap mata saya. Jika itu terjadi saya akan menyapanya. Saya pasti akan menyapanya. Rasa takut sebenarnya tidak beralasan – palsu, meski begitu keberanian butuh syarat-syarat tertentu. Ada yang membuat syarat-syarat menemukan keberanian jika sudah memiliki pekerjaan secara mapan. Ada yang membuat syarat harus sekolah tinggi dulu. Ada yang membuat syarat keberanian dengan harus membuat dirinya bertubuh atletis dulu. Menurut saya, itu hanya syarat yang dibuat-buat untuk menjadi berani. Semakin percaya diri seseorang, semakin sedikit syarat-syarat yang dia butuhkan untuk menumbuhkan keberanian – misalnya hanya dengan syarat cinta itu sudah cukup.
Saya tidak butuh syarat yang muluk-muluk. Cukup buat dia melihat mata saya dan saya akan menyapanya. Mengajaknya berkenalan.
Hujan terus mengguyur dan dia tinggal sepuluh langkah di depan saya. Jika saya dan dia terus melangkahkan kaki, lima langkah lagi, maka saya sudah akan berpapasan dengannya. Saya menghentikan kaki begitu tersisa lima langkah di antara kami. Saya memikirkan bagaimana harus menyapanya.
Murakami sebenarnya mencontohkan beberapa cara, tapi saya rasa bisa memulainya dengan: “Anda mau kemana? Kenapa berjalan tanpa alas kaki saat hujan begini?”
“Oh, saya kehilangan sandal. Di mana Anda tinggal? Dekat sini? Jika berkenan, saya ingin meminjam sandal.”
Tapi tentu saja itu tidak akan terjadi. Sepuluh meter di belakangnya ada toko kecil yang menjual sandal. Lagi pula bagaimana caranya dia bisa kehilangan sandal?
Ah, tidak masalah. Yang penting sapa dulu. Setelahnya, biarkan segala sesuatunya mengalir apa adanya.
Jarak kami semakin dekat dan jantung saya berdegup cepat. Tolong angkat wajahnya, dan buat dia menatap saya! Hanya itu yang saya minta dan saya akan mengajaknya berkenalan.
Setengah badan saya condong ke arahnya dan mata saya mencari ke dalam matanya. Buat dia merespons isyarat ini! Biasanya, mata bisa membuat isyarat sangat kuat. Kita bisa dengan mudah mengetahui jika ada seseorang yang menyengajakan diri menatap mata kita meski dari kejauhan. Maka kali ini mohon bekerjalah!
Tapi jika dia tidak membalas isyarat itu, bisa berarti dia memang tidak ingin berkenalan dengan saya. Ini cara yang tepat untuk mengujinya. Tapi menguji apa? Menguji dia juga merasakan hal yang sama dengan saya?
Selangkah lagi dan kami akan berpapasan. Lalu begitu kaki kanan saya segaris dengan kaki kanannya, tiba-tiba saya merasa waktu berhenti. Seperti gambar yang kau pause saat film tengah berjalan.
Sejenak, saya tidak lagi merasakan genangan air yang dingin di kaki dan tangan saya. Bunyi hujan yang menghantam atap rumah, tembok, dan tubuh saya menghilang. Lorong di belakang perempuan itu tiba-tiba tiada. Rumah-rumah di sekitar kami mendadak hilang entah ke mana. Butiran hujan yang sebelumnya mengelilingi kami mendadak raib.
Hal tersebut berlangsung kurang lebih sedetik, dan waktu itu, saya benar-benar merasa dunia menyusut dan hanya menyisakan kami berdua. Seandainya saya tidak meragu, mungkin saya pun meragukan keberadaan diri sendiri.
Dan begitu momen sedetik itu pergi, segala sesuatu yang menghilang kini kembali pada tempatnya. Saya bisa mendengar bunyi hujan lagi. Merasakan dinginnya air di kaki saya lagi. Melihat butiran hujan kembali mengepung kami. Dan ketika itu terjadi, perempuan tanpa alas kaki itu tiba- tiba sudah berada tiga langkah di belakang saya. Dia telah melewati saya.
Saya mematung sejenak, lalu menoleh padanya. Saya telah membiarkannya lewat dari sudut mata saya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tapi dia masih di depan saya. Kini, saya melihat air bercipratan di sekitar langkahnya, membasahinya. Butiran-butiran pasir melekat di atas mata kakinya.
Saya mematung, bukan karena dia tidak membalas isyarat saya. Tapi karena dia tersenyum pada saya. Anehnya, setelah itu jantung saya berhenti berdegup kencang. Saya berhasil menenangkan diri.
Itu senyum yang tidak dibuat-buat. Saya tahu membedakan mana senyum yang tulus dan mana yang tidak. Dia tidak sekedar menarik bibirnya. Saya mendapati sesuatu dalam dirinya. Membacanya sekilas lewat senyum itu. Ada interaksi di dalamnya. Ada perjumpaan. Saya sering bertemu dengan orang-orang, tapi hanya sedikit yang padanya saya mengalami perjumpaan. Padanya, saya yakin telah mengalami perjumpaan.
Apa dia juga membaca sesuatu dalam diri saya? Saya merasa dia juga mampu membaca saya. Saya rasa dia menangkap semacam sinyal dalam diri saya, lalu meresponsnya. Kurang lebih seperti itu. Saya tidak terlalu tahu bagaimana, tapi saya yakin dia juga merasakan sesuatu yang mirip dengan yang saya alami.
Dia pun terus melangkah ke selatan dan saya terus menatap punggungnya. Dia terus berjalan di tengah-tengah rumah yang berdempetan rapat di kiri-kanannya. Dia 20 langkah dari saya, 30 langkah, 40 langkah, sampai dia berbelok di jalan utama di bawah gerbang. Air yang jatuh terus menghantam pagar rumah-rumah warga yang berwarna jingga hampir di sepanjang lorong.
Ketika dia berbelok, kini tersisa saya dalam lorong yang kiri kanannya berwarna jingga itu. Samar-samar saya melihat punggungnya di balik butiran hujan yang milyaran jumlahnya.
Setelahnya, saya pun kembali melangkahkan kaki ke utara. Merasa banyak pasir melekat di kaki, saya sengaja melangkah ke genangan air untuk melepasnya.
Saya mengusap beberapa butir hujan yang mengenai wajah saya. Jika ada dan waktu berpihak pada saya, kelak jika kami bertemu sekali lagi, saya pasti akan menyapanya.
Sangat mudah mengajaknya berbicara di pertemuan kedua, bukan? Saya tahu itu.
“Hei, kau yang dulu berjalan tanpa alas kaki di minggu ke tiga bulan Desember, kan? Saya orang yang berpapasan denganmu waktu itu. Kau mengingat saya?”
Dan dia menjawab.
“Ya. Di lorong sehat blok H lama, kan? Saat itu sedang turun hujan. Kau berjalan ke utara dan aku ke selatan.”
“Tapi tahu-tahunya, sekarang kita bertemu di sini pada sore hari yang cerah.”
Saya pun berkenalan dengan perempuan yang berjalan tanpa alas kaki di bawah hujan saat itu. Namanya Tiara. Dia tinggal di dekat gerbang tempatnya berbelok waktu itu. Dia telah menikah sebulan sebelum pertemuan kedua saya dengannya.
Bersama hujan yang kembali belum mereda, cerpen Haruki Murakami masih terus bergema di kepala saya.
Makassar, Desember 2015

Aiman Yusuf lahir pada tanggal 9 Desember 1992 dan menghabiskan masa kecilnya di Desa Massenreng Pulu, Kabupaten Bone. Saat ini, dia aktif di komunitas Rumah Baca Philosophia dan baru saja menerbitkan e-book antologi puisi bersama teman-teman pegiat Rumah Baca Philosophia lainnya. Di media sosial, Aiman bisa ditemui pada akun instagram @aimanyusuf7.
*Gambar Utama: Foto karya Rhendi Rukmana di Unsplash