Perempuan Penunggang Kuda di Bukit Fukuoka | cerita Yogi Dwi Pradana
Sebuah pohon yang berusia kurang lebih 400 tahun sedang merasakan musim gugur di Kuil Raizan Sennyo-ji. Daunnya berwarna merah kekuning-kuningan. Masyarakat setempat memberi nama pohon tersebut dengan nama Pohon Maple Raksasa. Pohon yang dianggap keramat dan di sekitarnya dikelilingi bangunan kuil yang masih aktif digunakan untuk bersembahyang.
Namun, ada yang berbeda dari cakupan tanah tersebut. Pada musim gugur seperti ini lebih banyak orang yang memandang koyo di tempat itu. Orang-orang yang beribadah hanya bisa dihitung dengan jari saja. Mereka memilih menikmati koyo bersama kekasih, keluarga, anak, dan entah bersama siapa saja.
Pada sebuah peribadahan sering kali orang-orang memanjatkan doa kepada Rabb-Nya. Sebenarnya menuliskan harapan di kertas dan menempelkan di Pohon Mapple Raksasa ini bagian dari persembahan doa warga Fukuoka. Mereka menulis pada sebuah kertas dengan tinta hitam yang sudah disediakan di tempat itu. Lalu, mereka menempelkan di batang pohon keramat tersebut. Setelah itu, mereka hanya memasukkan uang donasi dalam sebuah kotak kardus yang disediakan. Mungkin, uang tersebut akan didonasikan kepada para juru kunci kuil dan pohon tersebut sebagai dana kebersihan dan upah kerja.
Yang menjadi sorotan banyak orang adalah seorang pria yang berada di luar wilayah pagar kuil dan memandangi Pohon Maple Raksasa terus menerus. Orang-orang yang berada di sekitar awalnya cuma mendiamkan pria tersebut. Tetapi lama kelamaan tingkahnya semakin mencurigakan. Ya, dia membawa samurai yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Ia mengeluarkan samurai tersebut dan berjalan perlahan menuju wilayah kuil dan mendekati pohon keramat tersebut. Orang-orang yang berada di sekitar pohon keramat pun mulai menjauh dan berlari meninggalkan wilayah kuil.
“Hei, apa yang akan kaulakukan pada Pohon Maple Raksasa itu?”
Dia tak menjawab dan terus berjalan mendekati pohon keramat. Dia berhenti tepat selangkah dari pohon. Matanya awas membaca kertas-kertas yang tertempel di batang pohon. Perlahan dia membaca dengan cara scanning dan matanya bagai mata kelelawar yang sedang mencari mangsa pada malam hari. Bola matanya pun bergulir secepat kilat.
“Tuan, jangan ganggu perayaan musim gugur kami dengan kau mengacaukan segalanya. Ini musim yang datang satu tahun sekali. Kami ingin menikmati koyo yang indah ini.”
Dia mengacungkan pedangnya pada sebuah kertas yang tertempel di batang pohon. Di sanalah pria tersebut menemukan tulisan yang dapat membelokkan hatinya. Pria tersebut mengacungkan samurainya pada kertas yang dapat mengalihkan perhatiannya itu. Kertas itu lalu ia lepas dari batang pohon. Ia mengambil kertas itu dan membawanya ke dalam kantong jaketnya.
Dia pergi berjalan tanpa mengeluarkan kata-kata. Orang-orang yang takjub melihat kedatangan dan kepergian pria pembawa samurai tersebut tak bergerak dari tempatnya. Mereka berpikir bahwa pria tersebut hanya ingin mengambil kertas dari pohon keramat tanpa melukai orang-orang yang ada di sana.
Orang itu pergi menghilang setelah melewati beberapa pohon sakura yang berada di luar wilayah kuil. Berbarengan dengan kepergian pria tersebut, daun-daun sakura yang berguguran pun seperti beterbangan tertiup angin bawaan pria tadi. Meskipun daun yang gugur tidak terlalu banyak, karena petugas kebersihan sangat rajin dan selalu menjaga kondusifitas di wilayah kuil. Daun sakura yang semula gugur kini masih beterbangan dan bertubrukan satu sama lain. Seperti hendak menandakan ada kesatria yang baru saja melewati wilayahnya, daun-daun sakura yang gugur memberikan penghormatan dengan cara seperti itu.
Awan yang menggumpal mendadak membuat aliran sungai tertegun saat seorang pria yang mengenakan jaket tebal dan menenteng sepotong kertas datang berteduh di bawah pohon sakura. Pria tersebut menyenderkan punggungnya di batang pohon dan mengeluarkan samurai yang ada di jaketnya. Samurai diletakkan di sebelahnya, tersender di bawah pohon.
Sungai ini menjadi saksi sejarah warga Fukuoka. Sungai ini diberi nama oleh masyarakat dengan nama Sungai Naka. Sungai yang memisahkan antara Fukuoka dan Hakata. Jika Fukuoka terletak di sebelah timur Sungai Naka, maka Hakata terletak di sebelah barat Sungai Naka. Tempat ini menjadi saksi bisu pertemuan pertama pria tersebut dengan seseorang.
Pria tersebut membaca dan terus mengamati tulisan yang ada di kertas. Ia memahami apa maksud tulisan tersebut dan apa hubungannya dengan dirinya. Pria itu hafal betul dengan gores tinta di kertas tersebut. Bahasanya sudah menjelaskan bahwa yang menulis adalah seseorang itu.
Pria itu semakin terlihat gundah dan resah. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan membasuh mukanya dengan air sungai. Ia juga minum air sungai. Alhasil kini dia sudah mulai terlihat tenang, mukanya lebih segar, dan terlihat tidak terlalu garang seperti tadi. Dia memang pria yang misterius.
“Aku ingin pergi ke Bukit Fukuoka, di sana aku ingin menjadi penunggang kuda terhebat yang pernah ada.”
Pria tersebut tertegun seketika saat melihat tulisan dia akan pergi ke Bukit Fukuoka. Bukit Fukuoka terkenal dengan hutan alam yang masih asri. Di sana masih banyak binatang buas, serta tempat para penjahat kota bersembunyi. Biasanya para penjahat yang berhasil lolos dari kejaran warga selalu bersembunyi di Bukit Fukuoka. Jika mereka sudah masuk ke Bukit Fukuoka, tak akan ada yang pernah berani mengejarnya. Ibaratnya jika orang yang dikejar sudah masuk Bukit Fukuoka, menurut para warga, adalah sama dengan menyetorkan nyawanya sendiri. Lebih tepatnya, mereka yang masuk ke Bukit Fukuoka akan mati konyol dimakan binatang buas yang ada di sana.
Lalu, bagaimana dengan para maling yang selalu pergi ke Bukit Fukuoka? Apakah mereka juga sudah mati di sana? Tentu saja tidak ada yang tahu. Karena menurut Shogun, siapa saja yang berani masuk ke Bukit Fukuoka sama saja bunuh diri. Shogun adalah seorang tetua yang dipercaya di Fukuoka. Dia adalah seorang pengelola kuil yang sering menjadi pemimpin peribadatan. Karena digdaya seorang Shogun, maka mereka menuruti apa saja larangan dan himbauan yang keluar dari mulut Shogun.
Sebagai pelancong dari kampung sebelah, tentunya pria yang sedang menyenderkan bahunya di bawah pohon sakura tersebut tak akan memerdulikan larangan dari Shogun, seorang tetua yang berasal dari Fukuoka. Pria tersebut sebenarnya sudah mengetahui siapa Shogun, karena dia juga sudah sering melihat Shogun memimpin peribadatan di tempatnya, di Hakata. Pria tersebut akhirnya pulang terlebih dahulu untuk menyiapkan beberapa bekal dan barang yang harus dibawa sebelum menuju Bukit Fukuoka. Dia berenang melewati sungai, karena belum ada jembatan penghubung di antara Fukuoka dan Hakata.
Pria tersebut akhirnya sampai di tepian sungai. Dia segera berlari, takut matahari segera sembunyi meninggalkan sinarnya. Pria tersebut bergegas ke rumahnya. Dia tinggal bersama ibunya. Ibunya sudah lama memintanya untuk segera memberi cucu.
Pria tersebut menyiapkan segala keperluan yang perlu dibawa. Dengan membawa tas ransel mirip milik para militer, pria tersebut mendatangi ibunya yang sedang duduk di ruang tamu. Dia berpamitan dan meminta doa restu untuk meninggalkan rumah, barangkali beberapa hari. Pria tersebut menjelaskan bahwa kepergiannya untuk mencari orang itu. Ibunya pun langsung menyetujui dan mendoakan keberangkatan anaknya. Pria tersebut berangkat dan segera melangkahkan kakinya keluar dari rumah.
Perjalanan akan segera dimulai. Kalo untung, ya dia akan selamat; kalo buntung, ya dia akan terlumat kekejaman cerita Bukit Fukuoka. Dia kembali sampai di tepian Sungai Naka. Dia harus berenang lagi. Dia berhasil menyeberangi Sungai Naka tanpa bekalnya basah sedikit pun. Dia berlari tunggang-langgang menuju Bukit Fukuoka. Bahkan tak menggubris siapa pun yang dilewatinya. Pria tersebut kembali melewati wilayah Kuil Raizan Sennyo-ji. Orang-orang memandangi pria misterius tersebut.
“Hei, coba lihat, dia orang yang tadi menenteng samurai di sini. Mau ke mana dia?”
“Entahlah, sepertinya dia orang gila yang sedang kebingungan.”
Bukit Fukuoka terletak tepat di belakang Kuil Raizan Sennyo-ji. Pria itu mempercepat langkahnya. Di depan, ada pelangi yang membuat dirinya terhenti sebentar. Ia mengucek matanya. Ternyata pelangi tersebut hanya sekejap dan sudah berubah dengan bias imajinasi seorang perempuan yang sedang menunggang kuda di Bukit Fukuoka. Pandangan matanya semakin ia sorotkan di bias cahaya tersebut. Ia mengucek mata untuk kedua kalinya. Ah, ternyata itu hanya ilusi yang mengganggu pikirannya saja. Pria tersebut melanjutkan perjalanan dan segera mempercepat langkah.
Di depan sana sudah terlihat Bukit Fukuoka dengan sangat jelas. Pria itu juga melihat ada beberapa prajurit yang menjaga pintu gerbang masuk Bukit Fukuoka. Pria itu nekat menerjang para penjaga, tetapi penjaga di sana memang tidak melakukan suatu apa pun kepada pria tersebut. Ada seorang lelaki menggandeng kuda, dan pria tersebut terhenti langkahnya.
“Tuan, silakan gunakan kuda ini untuk melakukan perjalan menuju Bukit Fukuoka.”
Pria itu tak banyak bertanya dan langsung menuruti permintaan tersebut. Dia naik ke kuda. Ternyata bukan kuda biasa. Kuda tersebut adalah kuda terbang. Kuda itu membawanya terbang menuju puncak Bukit Fukuoka. Laju kuda tersebut juga sangat cepat, bahkan bisa lebih cepat dari laju kereta api. Saat berada di awang-awang, pria tersebut melihat bawah dan memandangi Bukit Fukuoka yang masih hutan asri dengan takjub. Pasalnya, di sana memang benar masih banyak binatang buas yang berkeliaran secara bebas.
Tak beberapa lama, pria tersebut sudah sampai di puncak Bukit Fukuoka. Dia turun dari kuda. Di sana, ia disuguhi pemandangan yang berbeda. Di puncak, ada sebuah istana yang mirip bangunan kuil. Yang sama hanyalah di sana juga sedang mengalami musim gugur.
Di istana itu, ada seorang lelaki yang tak asing baginya. Pria tersebut langsung tertegun melihat pria yang menjemputnya itu. Ya, dia Shogun. Seorang pemimpin peribadatan yang ada di Fukuoka dan sering diundang ke tempatnya, di Hakata.
Shogun langsung mengajak masuk pria tersebut. Di pintu masuk, sudah banyak pengawal yang berdiri menenteng samurai. Ada beberapa binatang peliharaan istana yang berkeliaran secara bebas juga. Namun, nampaknya binatang tersebut sudah jinak karena sering berinteraksi dengan manusia. Shogun dan pria tersebut terus berjalan menuju ruang pertemuan istana. Akhirnya mereka sampai di depan pintu ruang pertemuan.
“Silakan, Tuan, Anda sudah ditunggu di dalam.”
Pria tersebut sebenarnya kebingungan kenapa dia bisa ditunggu seseorang, padahal dia datang ke sini untuk mencari seseorang. Semenjak awal kedatangannya di Bukit Fukuoka, pria tersebut sebenarnya sudah bingung dengan keadaan yang ada. Akan tetapi, tekadnya sudah bulat untuk mencari orang itu di sini.
Pintu terbuka. Ada dua orang penjaga yang membukakan pintu. Di ruang itu hanya ada pria tersebut, dua orang penjaga, dan seorang perempuan yang mengenakan kimono dan rambutnya tersanggul rapi sedang duduk. Tak lama kemudian, setelah membukakan pintu, kedua penjaga langsung pergi meninggalkan tempat. Pintu tertutup. Kini di ruangan hanya ada pria tersebut dengan perempuan itu.
Pria tersebut tak menyangka, ternyata perempuan yang ada di depannya adalah orang yang ia cari. Perempuan itu melemparkan senyum kepada pria tersebut. Dia juga mempersilakan pria tersebut duduk. Kini mereka duduk berhadapan. Pria tersebut kebingungan. Dan perempuan itu juga belum menjelaskan.
Melihat pria tersebut sepertinya sangat lelah setelah melewati perjalanan, akhirnya perempuan tersebut memanggil para pelayan istana dengan menepukkan tangannya. Tiba-tiba seorang pelayan membawakan setampah buah-buahan dan segelas susu. Perempuan itu lalu mempersilakan pria tersebut menikmati hidangan yang ada.
“Silakan, jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri.”
Pria itu memang lapar. Dia langsung mengambil segelas susu untuk diminum. Lalu, dia juga mengambil sebuah apel. Dia tak sungkan sedikit pun untuk makan dan minum. Daripada dia kelaparan, lebih baik dia memakan dan meminum hidangan yang sudah disediakan.
“Ini rumahku yang sebenarnya. Aku turun ke Fukuoka karena sedang mencarimu, pria yang memang sudah ditakdirkan untuk menjadi raja di Bukit Fukuoka.”
Pria tersebut tambah bingung mendengar perkataan perempuan yang ada di depannya. Dia masih diam dan terbelalak memandangi sekitar ruangan. Mengapa pada dinding berjejer foto-fotonya dengan perempuan tersebut? Kapan dan di mana dia pernah berfoto dengan perempuan itu? Dia bingung.
“Ya, kau adalah pangeran penunggang kuda yang akan menjadi raja di Bukit Fukuoka dan akulah perempuan yang menjadi penunggang kuda, perempuan terhebat di Bukit Fukuoka sekaligus permaisurimu.”
Pria tersebut nampak masih kebingungan dengan pernyataan perempuan itu. Pasalnya, di istana juga ada orang lain yang dikenalinya, yaitu Shogun. Perempuan itu langsung mengajak pria tersebut keluar ruangan. Mereka berdua berjalan keluar ruangan tanpa pengawalan prajurit.
Setibanya di pelataran istana, sudah ada banyak prajurit dan seekor kuda yang tertali di sebuah cagak. Kini perempuan itu mengajak pria tersebut mendekat ke pelataran. Dia meminta pria itu memperhatikan dirinya. Pria itu pun seperti terhipnotis dan menunduk begitu saja.
Perempuan tersebut menaiki kuda dengan mengenakan gaun kimono yang indah. Dia mengendalikan kuda dengan sangat handal. Kudanya pun juga sangat menurut. Pria tersebut mengucek matanya, apakah ini hanya mimpi atau memang kenyataan. Ternyata memang benar ini bukan mimpi. Pria tersebut takjub melihat kehidupan di Bukit Fukuoka.
Tiba-tiba perempuan itu turun dari kudanya dan mendatangi kembali pria tersebut. Dan kini dia menarik tangan pria tersebut untuk menaiki kuda bersama. Kini perempuan itu berada di kendali kuda dan pria tersebut hanya di belakang. Dia meminta pria tersebut berpegangan pada pinggangnya. Pria tersebut hanya menurut.
Lalu mereka berdua berkeliling Bukit Fukuoka menggunakan kuda. Binatang yang terlihat buas ternyata sangat patuh kepada perempuan tersebut. Tak ada yang berani menggaung dan mencabik mereka berdua. Padahal mereka berdua keliling Bukit Fukuoka tanpa ditemani para pengawal.
Kini perempuan penunggang kuda di Bukit Fukuoka yang muncul dalam mimpi pria tersebut menjadi kenyataan. Dan pria tersebut menjadi raja dengan permaisuri yang hadir dalam mimpinya, yaitu perempuan penunggang kuda di Bukit Fukuoka.
Yogyakarta, 2021.

Yogi Dwi Pradana, seorang mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta. Berdomisili di Bantul, Yogyakarta. Aktif di organisasi Susastra KMSI UNY, bergiat di beranda komunitas pencinta puisi Lampu Tidur dan bergabung bersama UNY Community menjadi penulis artikel. Beberapa karyanya pernah dimuat di media daring. Dapat disapa melalui akun Instagram @yogidwipradana.
Gambar utama: Foto oleh Yaroslav Shuraev dari Pexels