PERCAKAPAN PEREMPUAN
Suatu senja yang pucat dan panas. Seorang teman merayu saya untuk membuat sebuah pengantar kumpulan cerpen bertema lesbian.
Lesbian? Saya pun jadi kembali “panas”. Sebuah dunia “kecil” yang selalu menjadi rahasia dan sumber pertanyaan saya yang tidak pernah selesai. Sebuah dunia yang benar-benar ada, tetapi selalu terlihat sunyi dan tersembunyi. Saking terobsesinya, dua novel saya, Tarian Bumi (2000) dan Tempurung (2010), mencoba “mengupas” dunia satu ini dalam remahan-remahan yang belum genap dan lengkap.
Kenapa perempuan bisa jatuh cinta pada perempuan? Kenapa Tuhan menciptakan perempuan yang jatuh cinta juga pada perempuan? Kenapa ada orang-orang yang begitu membenci perempuan yang mencintai perempuan? Benarkah Tuhan marah pada perempuan yang bergairah pada perempuan? Bisakah Tuhan berbuat salah? Kenapa manusia yang mencintai sesama jenis kelamin tidak mendapat tempat? Cukupkah beragam upacara yang dililitkan pada tubuh perempuan-perempuan itu bisa mengantar mereka pulang dan “kembali ke jalan benar” menjadi manusia hetero? Manusia yang “benar” dan “tidak salah jalan” dan “tersesat”?
Saya “mengenal” dunia lesbian sejak berumur 7 tahun, ketika berkunjung ke rumah seorang teman yang bibinya tertangkap basah sedang bercinta dengan sesama perempuan. Kebetulan bibinya seorang perempuan bangsawan, yang menaruh hati pada abdi perempuannya. Saya lihat perempuan itu diseret, dimaki, lalu keluarga itu memanggil seorang balian yang konon sakti. Beragam upacara dilakukan, dan entah apa lagi yang dilakukan orang-orang dewasa itu.
Yang pasti, ketika saya kembali ke rumah teman saya itu, sepuluh tahun kemudian, perempuan cantik itu sudah menjelma jadi nenek sihir. Matanya kosong. Tubuhnya keriput dan bau. “Bibiku gila!” kata teman saya.
Pertanyaan-pertanyaan besar terus menggantung. Salahkah perempuan mencintai perempuan? Siapakah yang berhak menghukum mereka? Tuhan, Alam, atau Manusia?
Tahun 1992, setelah menang dalam lomba menulis cerita bersambung di sebuah majalah perempuan ternama, saya memutuskan untuk mudik ke kampung kelahiran: Jakarta. Saya pun tinggal di kawasan pusat kota.
Saya mengunjungi seorang sahabat masa kecil saya. Kata teman-teman, jangan mengunjungi “Ny” – inisial teman saya itu. Perempuan itu sudah berubah setelah dicerai suaminya. Saya pun kaget. Cerai? Bukankah dia kawin dengan lelaki yang dia pacari sejak SD? Lelaki santun, selalu jadi juara kelas. Mahasiswa teladan, mapan, dan seorang intelektual yang khatam membaca teori-teori filsafat, agama, juga feminisme. Saya sendiri sering berkhayal mendapatkan “cinta” dari lelaki sejenis lelaki Ny. Yang menatap selalu penuh cinta. Menghormati Ny bila berada di antara teman-teman. Seolah cinta yang mereka miliki tak ada orang lain yang memiliki. Nyatanya?
Saya pun penasaran, mencoba mengontak Ny. Dia menjawab telepon saya dengan ketus. Ada apa dengan Ny? Perempuan itu biasanya ramah. Bahkan saya pernah menjamu kedatangannya ketika ia berbulan madu dengan suaminya. Mereka sempat menginap di bungalo milik nenek saya. Ada apa dengan Ny?
Yang mengejutkan, seorang teman mengatakan Ny sudah sedikit “tidak beres”. Saya pun makin penasaran dan nekat mengunjunginya. Di sebuah gang sempit, dia mengontrak rumah dan hidup bertahun-tahun dengan seorang perempuan.
Ny memang berubah. Dia terlihat kikuk. Dari Ny yang mulai membuka dirilah saya mulai mengenal dunia lesbian lebih “dalam”, walaupun tetap dengan beragam pertanyaan yang berkelindan dan hanyut di kepala. Sejak kapan Ny menjadi lesbian? Apakah perkawinannya yang tidak bahagia membuatnya berubah? Saya dengar dia memiliki seorang anak down syndrome yang meninggal pada usia 5 tahun. Apakah rentetan masa lalunya yang membuat dia berubah? Karena ibunya mantan pelacur, dan ayahnya tidak pernah dia ketahui? Dulu, ketika SD, dia primadona. Hobi “menyantap” lelaki.
Dunia lesbian terus meninggalkan “jejak”, tapi belum juga membuat berpuluh pertanyaan yang muncul di kepala terjawab.
Pengetahuan saya tentang dunia lesbian berkembang ketika tahun 2003 saya berkunjung ke Belanda. Seorang teman mengajak saya menghadiri resepsi pernikahan. Awalnya saya menolak. Jauh-jauh dari Bali ke Belanda, masa nonton resepsi perkawinan?
“Ini bukan perkawinan biasa, tapi perkawinan lesbian,” bisik teman saya sambil menatap mata saya tajam. Hampir saja segelas wine yang saya teguk muncrat dari mulut. Saya pun absen dari jadwal yang disodorkan panitia untuk pergi menghadiri acara ini-itu.
Pagi-pagi, saya sudah bersiap. Saya tidak ingin meninggalkan sepotong detik pun. Hati saya berdebar, karena teman saya telah menyiapkan tempat duduk paling depan. Dekat altar, tak sepotong kepala pun akan menutupi prosesi itu. Dua orang perempuan akan menikah? Ini bukan fiksi. Ini fakta!
Pasangan itu muncul. Dua-duanya begitu cantik, memikat, dan anggun. Yang satu mengenakan jas, yang satu lagi mengenakan baju pengantin. Kata teman saya, mereka telah menjalin hubungan selama lima tahun. Untuk “mengikat” satu sama lain diperlukan sebuah lembaga resmi yang memberi mereka hak sipil dan politik yang sah di ranah hukum. Sama dengan pasangan hetero, karena lesbian juga memiliki persoalan-persoalan yang sama dengan kaum hetero.
Saya hanya terdiam, dan tetap memandang dua perempuan itu dengan takjub. “Yang berbaju pengantin sedang mengandung 7 minggu,” bisik teman saya lagi. Sel telur dari perempuan berjas, sperma mereka beli, dan tubuh yang mengandung adalah tubuh perempuan berbaju pengantin. “Adil, kan?” kata teman saya.
Bagaimana kalau ini terjadi di Indonesia dan diliput pers? Apa yang akan terjadi pada mereka? Saya bayangkan rumah prosesi itu pasti akan dibakar habis. Tak ada harum bunga, tapi asap dan kekerasan. Saya pun menggigil. Rasanya peristiwa itu baru saja terjadi.
Saya sadar, sekarang ini adalah era transparansi informasi. Saya juga sadar, tayangan-tayangan TV telah menjebak seluruh orang untuk terbiasa memasuki hal-hal privat. Rahasia, tabu, dan aib menyebar ke seluruh mata angin kemanusiaan.
Bisakah dibedakan mana yang aib, mana yang bukan? Mana yang sakral dari hubungan antarmanusia? Di mana tanah untuk para lesbian?
Selama ini, orang-orang selalu menilai bahwa relasi seks yang sah hanya ada dalam institusi perkawinan hetero. Relasi sosial di luar itu dianggap tabu, dosa, menjijikkan, tak bermoral, penyimpangan, penyakit.
Seorang teman yang sejak kecil bersahabat dengan saya memilih kawin dengan lelaki yang dijodohkan orang tuanya. Dia sengaja mengunci rahimnya agar tidak memiliki anak, dan membiarkan suaminya menikah lagi. “Yang penting hubungan saya dengan kekasih saya tetap jalan,” katanya berat. “Memang terdengar munafik, tetapi itu satu-satunya cara karena budaya dan agama belum melapangkan semua. Hidup sebagai lesbian sudah berat, saya ingin hidup ini damai dan tenang. Ini pilihan terbaik,” katanya tersekat.
Saya bisa bayangkan “luka” yang terus menjejali perjalanan hidupnya. Saya pikir sama dengan perasaan saya bila agama, budaya, dan konstruksi sosial yang lain menolak saya untuk menikahi lelaki yang saya cintai. Alangkah berat menjalani hidup seperti itu. Berpuluh-puluh tahun bersembunyi, menjadi orang lain demi orang lain. Hidup yang sudah berat jadi semakin berat.
Ini menunjukkan betapa perjalanan dunia lesbian masih berliku dan panjang. Bagaimana dengan hak reproduksi mereka? Karena ada juga citra yang muncul bahwa relasi semacam ini adalah hubungan intercourse. Padahal relasi di antara mereka tidak sepicik itu. Banyak hak sipil mereka belum terpenuhi, sehingga relasi sosial mereka pun jadi tertutup.
Adanya stigmatisasi yang tak ada habisnya membuat para lesbian semakin tertutup. Saya juga punya beberapa teman yang menutup rapat-rapat identitas lesbiannya, padahal saya tahu dia seorang lesbian. Ini juga jadi pertanyaan besar saya: kapan mereka bisa tampil ke publik dan berkata “saya lesbian!”?
Makanya, tawaran untuk menulis pengantar kumpulan cerpen Un Soir du Paris membuat saya bergairah. Mungkin ini satu-satunya solusi untuk melepas misteri dunia lesbian, satu lembar demi satu lembar. Sebab, buku ini ditulis oleh para pengarang yang beragam, bukan hanya dari komunitas lesbian.
Sayangnya, hampir semua cerita dalam buku ini kurang “dalam”. Temanya hanya persoalan cinta. Pertemuan rahasia mereka. Ketertarikan seorang perempuan pada sesama perempuan kurang digarap dengan lebih keras dan kuat, sehingga tidak menyentuh secara psikologis.
Dua belas cerpen dalam kumpulan ini tak ada yang menggigit dan membuat saya menggigil membacanya. Hampir semuanya terjebak dengan sulitnya menjalin cinta sesama perempuan tanpa memaparkan isu-isu lain yang lebih psikis.
Dalam cerpen “Dua Perempuan dengan HP-nya”, Seno Gumira Ajidarma mengisahkan dua perempuan yang telah menikah bertemu diam-diam di sebuah tempat, dan memadu kasih. Hp terus berdering dengan beragam urusan domestik. Sementara bagi kalangan lesbian, menikah (secara heteroseksual, bukan homoseksual) adalah momok dan menyebalkan. Cerita ini mungkin akan semakin menarik andai dua tokoh ceritanya memiliki jalan keluar yang memungkinkan mereka bersatu.
Hal serupa juga terjadi dalam cerita “Hari ini, Esok dan Kemarin” Maggie Tiojakin. Ceritanya tentang seorang perempuan yang merasa tersesat karena memilih menikah dengan lelaki, tetapi tetap membayangkan “hubungan” dengan kekasih perempuannya.
Saya baca:
Seperti kebanyakan istri yang berselingkuh, aku merencanakan kepergianku dengan hati-hati. Kusikat setiap inci lantai rumah kita sampai mengkilap tak bernoda, mengelap debu di setiap kamar, dan—kecuali pakaianku sendiri—kutinggalkan semua yang pernah kita beli bersama atau masing-masing untukmu. Aku harus adil. Lalu, aku masak sup kaki kambing kesukaanmu. Menatap hidangan yang tersaji, aku terduduk di ujung meja makan dengan kedua tangan terpatri di pangkuan. Kubayangkan tahun-tahun sebelumnya, di sini, mengarungi bahtera kehidupan yang kita percaya adalah milik kita berdua. Kini aku tersesat….
Yang justru sedikit menarik adalah tema yang disodorkan oleh cerita “Lelaki yang Menetas di Tubuhku” karya Ucu Agustin. Sayangnya, teknik cerita tersendat-sendat. Andaikata bisa secair cerita Seno atau Agus Noor, pasti cerita ini jadi cerita cantik yang menonjolkan suspens dan alur yang memikat. Kalau dibangun dengan beragam pertanyaan dan dikemas dengan tidak tergesa-gesa, pasti memukau.
Mengapa kalian memberi kata depan ‘jenis’, untuk kelamin?
Mengapa bukan ‘macam’ atau ‘tipe’ saja?
Siapa yang mula-mula menyebut pembedaan itu dengan jenis kelamin?
Kenapa kalian hanya membaginya cuma menjadi dua?
Kenapa kata itu hanya untuk lelaki dan perempuan saja?
Jawablah!
Sebab aku adalah perempuan, namun ada lelaki yang menetas di tubuhku.
Dalam “Mata Indah” Clara Ng, kemahiran bercerita memang teruji pada Clara dengan ide sederhana tentang seorang ibu yang memiliki dua anak perempuan yang saling cemburu. Cerita dikemas seperti dongeng H. C. Andersen tentang si cantik dan si buruk rupa. Si buruk rupa iri pada mata si cantik, begitu sebaliknya. Si buruk rupa merasa si cantik selalu memikat lelaki, padahal si cantik sesungguhnya tidak “doyan” lelaki. Cerita dikemas menjadi sedikit horor.
“Menulis Langit” Abmi Handayani secara tema menarik, tentang seorang anak perempuan yang mencintai guru perempuannya. Sayang, cerita tidak dibangun dengan kokoh, sehingga terasa terputus. Andaikata tokoh anak diperkuat dengan pikiran-pikiran liar tentang tubuh perempuan dan erotika dalam pikirannya, cerita ini tentu bisa lebih menarik.
Ada juga “Potongan-Potongan Cerita di Kartu Pos” Agus Noor, “Saga” Shantined, “Sebilah Pisau Roti” Cok Sawitri, “Tahi Lalat di Punggung Istriku” Ratih Kumala, “Un Soir du Paris” Stefanny Irawan, “Cahaya Sunyi Ibu” Triyanto Triwikromo, dan “Danau” Linda Christanty.
Memang masih diperlukan polesan-polesan yang lebih berani agar cerita menjadi sebuah dunia yang terbuka tentang “rumah lesbian”, tidak hanya sekedar menjadi “kisah percintaan” yang terkesan cengeng dan mengharu biru. Psikologi tokoh-tokoh dalam 12 cerita ini belum digarap serius. Beberapa cerita juga kedodoran dari segi bahasa. Cerita-cerita itu perlu dikemas lebih “gagah” lagi. Seperti perjuangan kaum lesbian di Indonesia yang saya yakin masih berdarah-darah untuk menunjukkan eksistensinya, bahwa mereka “ada” dan harus mendapat tempat.
Bagi sebagian orang, “rumah lesbian” memang terkesan eksklusif. Bahkan orientasi seksualitas mereka dibilang “membahayakan”. Ibarat penyakit, bisa menular. Padahal, mereka juga manusia yang memiliki hati, perasaan, cinta, mimpi, juga luka. Padahal “rumah lesbian” tidak ingin menghancurkan kaum hetero. Bahkan, dalam websitenya, sepocikopi, ditulis jelas: “Jagalah hidup itu baik-baik dan gunakan kehadiran lesbian di dunia ini untuk kebaikan umat manusia. Jadilah terang bagi kaum heteroseksual dan homoseksual.”
Kehadiran para lesbian masih memerlukan perjuangan. Untuk membuktikan itu, saya pernah menulis status Facebook: “Apa yang Anda pikirkan tentang lesbian?” Beragam komentar muncul. Dalam waktu tiga menit, saya sudah mendapatkan respons 10 komentar. Bahkan ada juga yang tidak menulis di wall, tetapi mengirim surat panjang kepada saya. Intinya, orang itu memberi nasehat, tepatnya sedikit “memaki”. Katanya: “Apakah Anda lesbian? Kalau Anda lesbian, kembalilah ke jalan yang benar. Karena buku-buku Anda memberi pencerahan yang luar biasa pada hidup perempuan. Saya kecewa kalau Anda seorang lesbian.” Beragam nukilan kitab suci pun dipaparkan untuk saya. Sepertinya saya seorang perempuan yang sedang tersesat.
Saya beri judul catatan kecil ini “Percakapan Perempuan”, karena sampai hari ini perempuan sesungguhnya masih berjuang keras untuk menaklukkan sistem patriarki yang tumbuh dalam budaya di Indonesia. Sistem yang, ibarat benang kusut, masih perlu diurai satu demi satu, memerlukan kesabaran dan tentu saja perjuangan panjang. Apalagi bagi kaum lesbian.
Dua belas cerpen dalam buku Un Soir du Paris memang menyajikan cita rasa yang pahit, getir, dan penuh luka. Alur hidup tokoh-tokohnya terkoyak oleh trauma, juga ketimpangan-ketimpangan yang menusuk, baik secara fisik maupun psikologis, yang disebabkan oleh “limbah” konstruksi sosio-kultur (termasuk agama) dan masalah sosial lainnya yang membuat mereka “terlempar” ke dunia lain yang sulit terjamah.
Saya berharap kumpulan cerpen ini bisa membuka jalan bagi kaum lesbian untuk mulai membuka diri lebih luas, juga mulai berani menulis tentang dunia mereka dengan perasaan nyaman. Tanpa nama samaran. Sebab, bagaimana masyarakat akan tahu dunia lesbian lebih dalam kalau tidak diungkapkan oleh para lesbian sendiri?