Pengaruh Komunitas Sastra bagi Kehidupan Sastra di Indonesia | esai Wayan Jengki Sunarta
Kehadiran komunitas tidak lepas dari keberadaan manusia sebagai mahkluk sosial. Manusia perlu bergaul, berinteraksi, berdiskusi, berbagi pendapat dan pemikiran. Dalam konteks inilah komunitas dibangun dan diperlukan sebagai wadah bersama.
Dalam perspektif sosiologi, komunitas bisa dimaknai sebagai kesatuan sosial yang memiliki minat dan kepentingan bersama, baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai wilayah. Komunitas bisa dibedakan dari masyarakat yang lebih luas, melalui kedalaman perhatian bersama atau oleh tingkat interaksi yang tinggi, dan kebutuhan bersama. Dibandingkan dengan masyarakat heterogen, komunitas lebih bersifat kecil dan homogen serta relatif otonom.
Komunitas memiliki karakteristik dan ciri tersendiri. Antara lain, anggotanya berpartisipasi dan terlibat langsung dalam suatu kegiatan. Komunitas juga memiliki wilayah atau tempat tinggal tertentu. Dalam konteks komunitas sastra, tempat tinggal atau wadah bisa berupa sekretariat, markas, dan sejenisnya; wilayah bisa juga dimaknai secara geografis. Untuk komunitas berbasis internet dan digital, tempat tinggal (wadah) bisa berupa grup atau halaman facebook, web, grup WA, dan sebagainya.
Komunitas yang memiliki tempat tinggal tetap dan permanen, umumnya memiliki ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Selain itu, komunitas bisa menjadi kuat karena dibentuk oleh perasaan komunitas yang kuat, yakni perasaan saling membutuhkan.
Komunitas Sastra
Karena sastrawan adalah mahkluk sosial, keberadaan komunitas sastra dengan berbagai variasi penyebutannya telah dikenal sejak masa kolonial, bahkan mungkin jauh sebelum itu. Sejarah mencatat, pada tahun 1895 di Pulau Penyengat (Kepulauan Riau), sebuah kelompok bernama Rusydiah Club yang beranggotakan intelektual dan sastrawan Melayu dibentuk sebagai forum bersama untuk mengembangkan sastra dan budaya Melayu. Salah satu tokohnya adalah Raja Haji Ahmad Engku Tua, ayah dari Raja Ali Haji, pengarang Gurindam XII.
Banyak kalangan menganggap, Rusydiah Club adalah komunitas penulis dan intelektual pertama yang memiliki kesadaran organisasi. Bahkan menjadi organisasi modern pertama di Indonesia, mendahului Djamiat Chair (1901), Sarekat Dagang Islam (1905), dan Budi Utomo (1908).
Kelahiran Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan seterusnya, tidak bisa dilepaskan dari peranan komunitas-komunitas sastra yang tumbuh pada masa itu, baik yang dibentuk dan difasilitasi pemerintah kolonial Belanda maupun gerakan yang independen. Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas kelahiran dan peranan angkatan-angkatan sastra tersebut.
Sebenarnya, membahas sejarah dan kehadiran komunitas-komunitas sastra dari era kolonial hingga pascakolonial akan menjadi suatu keasyikan tersendiri. Dan, sejauh ini, saya belum menemukan referensi yang membahas persoalan itu secara komprehensif. Dan hal ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri untuk para peneliti dan pengkaji gerakan komunitas sastra dari masa ke masa.
Dalam konteks sastra, istilah “komunitas” mulai marak digunakan pada masa 1980-an. Komunitas sastra ada yang berbentuk formal dan atau berbadan hukum, ada juga yang informal. Berbadan hukum atau tidak, bukanlah tolak ukur kualitas sebuah komunitas sastra.
Sebuah komunitas sastra memilih berbadan hukum lebih cenderung ditujukan untuk kepentingan praktis. Misalnya untuk memudahkan mencari dana (sponsor, donatur, hibah, bantuan) atau sekarang untuk mencari ISBN untuk kepentingan penerbitan buku dari komunitas. Komunitas sastra berbadan hukum mensyaratkan adanya AD/ART, struktur pengurus yang jelas, program kerja jelas, dan sebagainya.
Melihat dari basis pergerakannya, komunitas sastra bisa dibagi menjadi komunitas sastra sekolah, pesantren, kampus, umum (publik). Di era internet dan medsos kemudian muncul komunitas sastra dunia maya, seperti mailinglist sastra, halaman atau grup-grup sastra berbasis facebook dan WA Grup yang anggotanya cenderung sangat cair.
Kehadiran komunitas sastra selalu mengikuti perkembangan zaman. Jika dulu komunitas sastra memiliki corong berbasis cetak (buletin, stensilan, jurnal, majalah, dll), kini komunitas sastra sangat dimanjakan dengan kecanggihan teknologi internet dan digital. Hal ini pula yang membuat kegiatan sastra menjadi begitu cair, jauh dari kesan angker seperti dulu. Komunitas dan kegiatan sastra yang sangat cair di era digital ini diakui atau tidak, turut melahirnya banyak penulis sastra.
Di era digital ini, terlepas dari kualitas karya, setiap orang yang memiliki minat pada penulisan sastra berpeluang menjadi sastrawan. Entah itu jadi penyair, cerpenis, novelis. Misalnya, bermodalkan followers ribuan dan menulis puisi di Instagram, seseorang sudah bisa dianggap atau menganggap dirinya penyair, apalagi kemudian buku puisinya diterbitkan oleh penerbit mayor/mainstream. Soal kualitas karya yang dihasilkan penulis era digital bisa menjadi perdebatan dan pembahasan tersendiri.
Di era digital ini, dunia sastra tidak lagi seangker pada masa kejayaan TIM atau Horison di tahun 1960 hingga 1990-an. Pada masa kini, kita telah memasuki dunia sastra digital dengan karakteristiknya sendiri, yang tentu saja didukung oleh kecanggihan teknologi. Di Indonesia, gerakan komunitas sastra di dunia maya sendiri telah dimulai sejak 1990-an dengan berkibarnya komunitas cyber-sastra atau sastra cyber yang saat itu banyak dihujat sebagai sastra kasta rendah. Gerakan ini menggunakan internet untuk menyiarkan karya-karyanya. Salah satu media online yang paling aktif dan ramai saat itu adalah laman Cybersastra.
Terbitnya buku antologi puisi cyber Graffiti Gratitude (Yayasan Multimedia Sastra, 2021) menjadi tonggak perdana maraknya sastra cyber. Yayasan Multimedia Sastra yang dimotori Medy Loekito, Nanang Suryadi, Sutan Iwan Soekri Munaf, Nunuk Suraja, Cunong, Tulus Widjarnako, dan didukung Saut Situmorang, sangat konsisten dan intens mengobarkan gerakan sastra cyber saat itu.
Kini terbukti bahwa gerakan komunitas sastra semakin masif di dunia maya seiring bergugurannya ruang-ruang sastra di media cetak atau kemudian beralih wahana ke dunia maya dengan basis situs/web/portal dan medsos. Kecanggihan dan perkembangan dunia maya memberikan ruang dan peluang tanpa batas kepada para sastrawan dan penikmat sastra untuk mempublikasikan karya, saling berinteraksi, dan memunculkan diri sebagai tokoh sastra.
Komunitas sastra yang masih bergerak dengan menggunakan pola-pola lama (tradisional), tentu akan dilibas oleh kecanggihan zaman digital ini. Misalnya, jika dulu cukup membaca puisi di panggung, kini orang-orang membaca puisi dengan dukungan multimedia dan diungguh di chanel youtube yang bisa diakses dari berbagai pelosok dunia. Bahkan belakangan ini diskusi-diskusi sastra dan pembacaan/pementasan sastra marak digelar melalui zoom meeting.
Dalam konteks sastra daerah, jika dulu orang Bali membaca kakawin cukup di balai banjar atau di pura, kemudian berkembang di radio dan intercom, kini orang bisa membaca kakawin di youtube dengan berbagai piranti pendukungnya. Hal ini juga menjadi peluang besar dan tantangan tersendiri bagi pelaku sastra daerah untuk eksis di dunia internasional lewat berbagai aplikasi yang disediakan era digital ini.
Pemanfaatan era digital untuk mengembangkan sastra daerah, misalnya, dilakukan oleh Putu Supartika yang dengan gigih dan intens menggarap majalah sastra Bali berbasis online (e-magazine) bertajuk Suara Saking Bali yang disiarkan secara berkala. Selain itu juga muncul BasaBaliWiki (BBW) yang digerakkan anak-anak muda Bali. Selain membuat kamus bahasa Bali digital, BBW menggarap konten sastra Bali lintas genre, baik berupa prosa maupun puisi. BBW juga menggelar workshop penulisan sastra Bali, komik berbahasa Bali, lomba penulisan, dan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan bahasa dan sastra Bali.
Dalam tulisan ini saya tidak akan fokus membahas perihal komunitas sastra daerah yang ada di Indonesia. Karena saya tidak begitu memantau pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra daerah. Namun, hal paling penting yang patut dicatat adalah eksistensi Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikan Ajip Rosidi dengan memberikan Anugerah Sastra Rancage bagi orang-orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra daerah.
Pendirian Komunitas Sastra
Dalam konteks sastra Indonesia, komunitas sastra didirikan dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Entah itu hanya untuk kumpul-kumpul menyalurkan hobi dan minat yang sama, memberi pengaruh pada sistem sosial yang lebih luas, gerakan politik atau aliran/isme, pencitraan diri, ketokohan, pengabdian pada sastra, sikap idealis pada sastra, atau hanya untuk regenerasi melahirkan penerus baru di bidang sastra.
Seseorang bergabung dalam suatu komunitas sastra tentu memiliki kepentingan berbeda-beda. Ada yang karena meminati sastra, ingin belajar sastra, ingin menjadi sastrawan, ingin tahu, coba-coba, diajak kawan, menambah wawasan, mencari pergaulan baru, atau mencari pacar. Sangat jarang orang masuk komunitas sastra karena untuk kepentingan mencari uang atau penghasilan. Sebab pada umumnya komunitas sastra adalah lembaga nirlaba yang jauh dari gelimang uang dan kemewahan.
Umumnya kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan komunitas sastra antara lain diskusi sastra, pementasan sastra, penerbitan dan peluncuran buku, lomba penulisan sastra, lomba baca puisi. Namun yang sangat jarang dilakukan adalah workshop penulisan sastra, publikasi dan pendokumentasian sastra (di luar penerbitan buku) melalui riset atau memanfaatkan media digital. Seharusnya, berbekalkan kecanggihan teknologi digital, di era sekarang ini pendokumentasian dan publikasi karya sastra dan berbagai kegiatan komunitas sastra dengan sangat mudah dilakukan.
Jumlah anggota sebuah komunitas sastra cenderung bervariasi. Komunitas sastra bisa hanya beranggotakan segelintir orang (di bawah 10 orang), bisa juga puluhan, ratusan, hingga ribuan orang. Namun, umumnya komunitas sastra yang ada selama ini jumlah anggotanya rata-rata tidak lebih dari 50 orang. Jika berbicara komunitas sastra di dunia maya yang cenderung cair, maka anggotanya bisa mencapai ribuan orang.
Keberlangsungan kehidupan sebuah komunitas sastra dipengaruhi oleh banyak hal. Yang pertama adalah loyalitas para anggota terhadap komunitas. Pada komunitas sastra informal, keanggotaan cenderung cair yang mengakibatkan loyalitas mudah lumer. Karena tidak ada ikatan keanggotaan, para anggota dengan mudah keluar masuk komunitas. Persoalan dana juga menjadi masalah klise tersendiri bagi komunitas sastra.
Seringkali terjadi seseorang bisa mengikuti lebih dari satu komunitas sastra atau mendirikan dan memimpin dua atau lebih komunitas. Hal ini menyebabkan keanggotaan suatu komunitas cenderung labil atau tidak solid. Persoalan ini tentu saja bisa berdampak terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) dan berbagai kegiatan yang dilakukan komunitas. Loyalitas, komitmen, dedikasi merupakan unsur-unsur yang membuat sebuah komunitas bisa tumbuh kokoh.
Figur atau sosok pendiri dan pimpinan komunitas bisa menjadi magnet tersendiri bagi gerakan dan kekuatan sebuah komunitas. Umumnya, sosok atau figur yang menjadi patron dalam komunitas memiliki jaringan yang kuat (termasuk sumber dana), pengaruh yang kuat, wibawa, karya yang diakui, dan sebagainya. Namun, komunitas yang berpatron pada sosok tertentu cenderung memunculkan berbagai ketimpangan. Hal ini membuat sebuah komunitas cenderung tumbuh tidak sehat dan kurang memunculkan kemandirian para anggotanya. Bahkan hubungan antara anggota yang timpang juga memunculkan potensi konflik dalam sebuah komunitas.
Ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah komunitas sastra bubar. Hal-hal tersebut antara lain konflik kepentingan antara anggota, ego kesenimanan/ketokohan, adanya relasi kekuasaan yang timpang yang memunculkan ketidakadilan, ketidakpuasan anggota, kurangnya loyalitas, kurangnya kaderisasi, manajemen komunitas yang lemah, dan pimpinan komunitas yang mengundurkan diri atau meninggal dunia. Sangat jarang terjadi komunitas sastra dibubarkan oleh pendirinya. Umumnya ketika sebuah komunitas sastra bubar, pendiri dan anggotanya yang idealis akan meneruskan dengan membentuk komunitas-komunitas baru yang bisa jadi visi dan misinya sama dengan komunitas sebelumnya.
Kebijaksanaan pimpinan dan loyalitas anggota menjadi pertaruhan bagi komunitas sastra untuk menjaga kekuatan, keutuhan, dan semangat komunitas. Selain itu, tentu saja manajemen organisasi wajib dikuasai oleh para pengurus komunitas sastra.
Meski sastrawan cenderung bekerja secara individu saat menulis, kehadiran komunitas sastra menjadi wadah yang penting untuk saling berinteraksi, bertukar pikiran, membuat gerakan bersama, melahirkan pemikiran kreatif yang bisa jadi juga berpengaruh pada proses penciptaan karya. Sastrawan sendiri adalah individu yang bebas melahirkan karya, tidak mesti tergantung pada wadah bernama komunitas sastra. Ada banyak sastrawan yang tidak ikut komunitas sastra namun bisa menghasilkan karya-karya bernas.
Komunitas yang ideal seharusnya menerapkan sistem kaderisasi untuk melahirkan calon-calon penulis baru. Jika komunitas hanya terpaku pada pimpinan atau figur dominan, maka komunitas cenderung mengalami stagnasi. Komunitas sastra seharusnya juga bersifat egaliter, ada kebebasan berpendapat dan berekspresi, tanpa ikatan senior-junior. Umumnya komunitas yang egaliter akan melahirkan tokoh-tokoh yang kreatif dan mandiri.
Para pendiri komunitas sastra cenderung merupakan sosok-sosok yang diperhitungkan dalam dunia sastra. Dan keberadaan sebuah komunitas sastra seringkali dikaitkan dengan sosok-sosok pendirinya atau pimpinannnya. Misalnya, jika berbicara tentang Persada Studi Klub (PSK) selalu dikaitkan dengan Umbu Landu Paranggi, HP3N identik dengan Putu Arya Tirtawirya, Rendra dengan Bengkel Teater, Jose Rizal Manua dengan Bengkel Deklamasi, Komunitas Utan Kayu (KUK) identik dengan Goenawan Mohamad, Wowok Hesti Prabowo dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Helvy Tiana Rosa dengan Forum Lingkar Pena, Gola Gong dengan Rumah Dunia.
Komunitas sastra adalah salah satu ujung tombak pertumbuhan sastra di Indonesia. Selain itu, melimpahnya karya sastra yang diterbitkan komunitas sastra menjadi sumbangan tersendiri bagi sastra Indonesia. Belum lagi jenis penerbitan berkala yang digerakkan komunitas sastra seperti buletin, jurnal, majalah, baik berbasis cetak maupun online.
Kehadiran komunitas sastra di berbagai daerah di Indonesia turut serta mendongkrak perkembangan dan kemajuan sastra Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bermunculan sastrawan dari kegiatan-kegiatan yang diadakan komunitas. Sastrawan-sastrawan yang dilahirkan dari komunitas sastra turut serta memajukan sastra Indonesia.
Umbu dan PSK
Berbicara soal komunitas sastra di Indonesia, kita tidak bisa melupakan gerakan Persada Studi Klub (PSK) yang didirikan tahun 1969 di Yogyakarta. Para pendirinya adalah Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno Pragolopati, Suparno S Adhy, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gitowarsono. Anggota PSK sering berkumpul dan mengadakan apresiasi sastra di sepanjang Jalan Malionoro. Anggota PSK konon berjumlah ribuan. Tokoh-tokoh sastra yang lahir dari PSK, antara lain Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, dan masih banyak lagi.
Komunitas PSK cenderung berpatron pada Umbu Landu Paranggi yang kebetulan mengasuh rubrik sastra di mingguan Pelopor Yogya di mana karya-karya para anggota PSK banyak dimuat dengan jejang-jenjang kelas yang diciptakan Umbu. Namun, ketika Umbu meninggalkan Yogya pada 1975, PSK mengalami masa seperti kerakap tumbuh di atas batu, hidup segan mati tidak mau.
Umbu kemudian menetap dan mengasuh rubrik sastra di harian Bali Post sejak 1979 dengan pola-pola seperti yang dilakukannya di Pelopor Yogya. Umbu juga melakukan gerakan-gerakan kaderisasi sastra dengan menyambangi orang-orang tertentu yang diharapkan menjadi “agen” dan komunitas-komunitas kesenian yang berada di berbagai pelosok Bali. Di Bali Post sendiri, Umbu bersama Tjok Raka Pamayun ikut mengasuh Sanggar Pos Remaja yang didirikan Widminarko. Selain itu, gerakan yang dilakukan Umbu adalah gerakan turba (turun ke bawah) dan bergerilya secara diam-diam untuk mencari bakat-bakat baru di bidang sastra.
Hasilnya, pada era 1980 hingga 2000-an, kehidupan sastra di Bali (terutama puisi) sangat subur. Selain itu, Umbu juga tiada kenal lelah mengompori para “agen”nya untuk membuat gerakan-gerakan sastra dan membangun komunitas-komunitas sastra di masing-masing wilayah di Bali.
Umbu rela melepaskan angan-angannya menjadi penyair dengan cara menjauhi publikasi karya dan dirinya, demi melahirkan kader-kader militan di bidang sastra. Bahkan hingga saat ini, Umbu tidak memiliki buku puisi tunggal yang merangkum keseluruhan karyanya. Umbu memang mendedikasikan hidupnya sebagai pendidik, guru yang tidak menggurui, yang membiarkan murid-muridnya tumbuh berkembang sesuai jati dirinya. Salah satu prinsip Umbu adalah menciptakan taman sastra dengan cara mencari, menyemai, dan merawat benih-benih atau bakat-bakat sastra di kalangan remaja dan generasi muda. Andaikata di Indonesia ada sepuluh orang sekaliber Umbu dalam hal dedikasi pada sastra, tentu Indonesia akan sangat subur pertumbuhan sastranya.
Mirip dengan apa yang dilakukan Umbu Landu Paranggi, kita juga tidak bisa melupakan gerakan yang dilakukan Diah Hadaning, pengasuh rubrik sastra Swadesi dengan membuat rubrik konsultasi sastra yang dinamai Warung Sastra Diha. Rubrik ini pada era 1980-an sangat besar peranan dalam pertumbuhan sastra di Indonesia. Diah Hadaning sangat rajin memotivasi penyair-penyair muda yang mengirimkan karya ke Swadesi lewat surat menyurat yang sangat intens. Bahkan, rubrik Warung Sastra Diha kemudian dikembangkannya menjadi suatu komunitas sastra. Sejak 2009, Warung Sastra Diha beralih format menjadi online. Hal senada juga dilakukan Saini K.M. melalui rubrik Pertemuan Kecil di harian Pikiran Rakyat di Jawa Barat yang banyak melahirkan penyair muda saat itu.
Bali dan SMK
Di Bali sendiri bermunculan banyak komunitas sastra yang turut melahirkan sastrawan berkaliber nasional dan bahkan internasional. Salah satu contohnya adalah Sanggar Minum Kopi (SMK) yang berjaya pada tahun 1985 hingga 1995. Sanggar ini didirikan oleh Sthiraprana Duarsa, Dige Amertha, dan Boping Suryadi.
SMK secara berkala menggelar kegiatan sastra, seperti lomba cipta puisi nasional dan lomba baca puisi se-Bali (bahkan pernah se-Bali dan NTB). Namun selain acara tahunan, SMK juga pernah menggelar pementasan teater, diskusi sastra-budaya, dan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan sastra.
Pada tahun 1989, SMK menggelar lomba penulisan puisi se-Indonesia untuk pertama kalinya. Ada 305 puisi yang diterima panitia yang dikirim dari berbagai pelosok Indonesia. Dewan Jurinya adalah Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira, dan Sthiraprana Duarsa. Pemenangnya adalah I Made Suantha, Sindu Putra (Artupudnis Sugabadi), Gimin Artekjursi, Hang Sagira, Agus Surya Wibawa (2 puisi), Lilik Mulyadi, Nyoman Sudana, Camar Samar, Herry Lamongan.
Lomba penulisan puisi se-Indonesia kembali digelar pada tahun 1990. Jurinya adalah Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira, dan Ketut Syahruwardi Abbas. Ada 1039 puisi yang dinilai dewan juri. Pemenangnya adalah Dedet Setiadi, Noor Aini Cahya Khairani, Kurnia Effendi, YS Agus Suseno, Mathori A. Elwa, Nuryana A. Saddya Asmara, Gunari, Gus Tf, Tan Lioe Ie, Haryo Prasetyo.
Puisi-puisi pemenang lomba penulisan puisi tahun 1989 dan 1990 kemudian dibukukan dengan judul Perjalanan (1991). Dalam lomba penulisan puisi, tradisi yang dilakukan SMK adalah tidak memilih juara berdasarkan peringkat, namun memilih sepuluh puisi terbaik dari puisi-puisi yang dikirimkan peserta lomba.
Bahkan pernah pada tahun 1991, juri tidak bisa menentukan sepuluh puisi terbaik, karena rata-rata puisi yang masuk ke panitia lomba berada di bawah standar kualitas. Akhirnya disepakati hanya dua puisi yang menjadi terbaik. Untuk melengkapi sepuluh puisi sebagai bahan lomba baca puisi, maka delapan puisi lainnya dipilih dari puisi-puisi anggota SMK. Puisi-puisi tersebut kemudian dibukukan dengan judul Taksu (1991). Selain dua buku tersebut, kumpulan puisi para pemenang lomba penulisan puisi SMK adalah Kulkul (1992), Gender (1993), dan Sayong (1994).
Buku Kulkul (1992) berisikan puisi-puisi Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta), Gus Tf (2 puisi, Padang), Kelik Adhy Suryapati (Surakarta), Micky Hidayat (Banjarmasin), Pesu Aftarudin (Tasikmalaya), Saut Situmorang (New Zealand), Sukaryanto (Jakarta), IA Oka Suwati Sidemen (Bali), Tengsoe Tjahjono (Surabaya). Para jurinya adalah Frans Nadjira, Umbu Landu Paranggi, Putu Fajar Arcana, Tan Lioe Ie, dan K. Landras Syaelendra. Puisi yang masuk ke panitia sebanyak 322 puisi dari seluruh Indonesia.
Buku Gender (1993) memuat puisi-puisi Washa S. Nasution (Medan), Adri Sandra (Payakumbuh), Gus Tf (Padang), Oyos Saroso HN (Jakarta), Nanoq da Kansas (Bali), Isbedy Stiawan ZS (Lampung, 2 puisi), Kurnia Effendi (Jakarta, 2 puisi), Iyut Fitra (Payakumbuh). Dewan juri lomba kali ini adalah Frans Nadjira, Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana, K. Landras Syaelendra. Puisi yang dinilai sebanyak 620 puisi.
Buku Sayong (1994) memuat puisi-puisi Made Adnyana Ole (Bali), Wayan Sunarta (Bali), Santosa Warna Atmaja (Yogyakarta), R. Toto Sugiharto (Yogyakarta), Sutardi Harjosudarmo (Yogyakarta), Nur Zain Hae (Jakarta), Irman Syah (Payakumbuh), Priyono Tjiptoherijanto, Arif Bagus Prasetyo (Surabaya), Adri Sandra (Payakumbuh). Dewan jurinya adalah Frans Nadjira, Umbu Landu Paranggi, Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, K. Landras Syaelendra. Jumlah puisi yang dinilai sebanyak 1100 puisi.
Gerakan yang dilakukan SMK lewat lomba penulisan puisi se-Indonesia ikut menentukan kehidupan sastra Indonesia pada masa itu. Bahkan pada era 1990-an, gerakan ini juga menginspirasi sebuah komunitas sastra di Padang (Sumatera) menggelar lomba cipta puisi se-Indonesia dengan anugerah Taraju Award.
Sejumlah mantan anggota SMK kini dikenal sebagai sastrawan yang ikut mewarnai sastra Indonesia. Sebutlah misalnya nama Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Oka Rusmini, Cok Sawitri, Tan Lioe Ie, Made Adnyana Ole, Sindu Putra, Gm Sukawidana, Dewa Putu Sahadewa.
Komunitas Sastra di Bali
Pada tahun 2014, beberapa mantan anggota Sanggar Minum Kopi (SMK) menggagas berdirinya komunitas Kampung Puisi Bali (KPB) yang kemudian berganti nama menjadi Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP). Nama “Jatijagat” diberikan oleh Umbu Landu Paranggi yang sering hadir di JKP menemani anak-anak muda bersastra. Para pendiri JKP adalah Dewa Putu Sahadewa, Ngurah Dimas Hendratno, Wayan Jengki Sunarta, Eka Kusmawan, Mas Ruscitadewi, Tan Lioe Ie, K. Landras Syalendra, Gde Phalayasa Sukmakarsa, dan Made Artha.
Visi dan Misi JKP adalah membuka wadah berkesenian dan berkesusastraan untuk generasi muda di Denpasar. Tidak hanya seni puisi, namun juga memberi wadah berbagai seni lainnya, seperti teater, musik, film, seni lukis. JKP juga memberikan kesempatan kepada komunitas seni lain untuk latihan, peluncuran buku, atau menggelar acara dan pementasan di JKP.
Pada akhirnya JKP berkembang menjadi oase (mata air) kesenian dan kesusastraan di Denpasar. Keanggotaan JKP sangat cair dan tidak mengikat. JKP kadangkala bersinergi dan berjejaring dengan komunitas seni lain. Hingga saat ini jejaring JKP cukup kuat di kalangan komunitas seni, pelajar, mahasiswa, seniman, sastrawan, penikmat seni, dan media massa. JKP juga menggunakan kecanggihan era digital sebagai media dan corong berbagai kegiatannya.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan JKP antara lain lomba baca puisi se-Bali 2014, fasilitator diskusi sastra dan peluncuran buku, workshop penulisan puisi dengan tutor Frans Nadjira, pementasan sastra dan teater, apresiasi sastra bulanan (ngampung seni), tutur tokoh, penerbitan buku puisi, dan sebagainya. JKP telah menerbitkan beberapa kumpulan puisi bersama, seperti Mengunyah Geram (kerjasama dengan KPK, 2017), Saron (2018), dan Blengbong (2021). Selain itu, karya-karya anggota JKP juga pernah dimuat di media massa, seperti Pos Bali, Bali Post, Nusa, dll.
Selain JKP, mantan anggota Sanggar Minum Kopi yang lain juga membuat komunitas masing-masing. Seperti Komunitas Sahaja yang digagas Warih Wisatsana beranggotakan generasi muda. Komunitas ini banyak menggelar kegiatan sastra dan cenderung memosisikan diri sebagai event organizer. Namun para anggotanya juga adalah orang-orang yang melahirkan karya sastra dan menerbitkan buku sastra.
Di Bali Utara (Singaraja) berdiri Komunitas Mahima yang digerakkan Made Adnyana Ole dan istrinya Kadek Sonia Piscayanti. Komunitas ini beranggotakan penulis-penulis muda. Mahima telah melahirkan banyak buku sastra, berupa kumpulan puisi, cerpen, esai. Mahima juga menggunakan kecanggihan era digital sebagai media dan corong kegiatannya.
Selain Mahima, di Singaraja juga bercokol komunitas Dermaga Seni Buleleng (DSB) yang dikomandoi Gde Artawan. DSB yang berdiri tahun 1996 ini pada awal gerakannya pernah menggelar lomba penulisan puisi se-Bali dan berbagai kegiatan apresiasi sastra. Kemudian tahun 2019, DSB kembali bangkit dan menggelar lomba penulisan puisi bagi guru se-Bali. Tahun 2020 menggelar undangan kurasi puisi bagi guru se-Indonesia. Dan, tahun 2021, DSB menggelar lomba penulisan puisi pelajar SMA dan Mahasiswa se-Indonesia. Hasil kegiatan penulisan puisi itu kemudian dibukukan menjadi antologi puisi.
Di Bali Barat, Jembrana, muncul Komunitas Kertas Budaya yang digerakkan Nanoq dan Kansas. Komunitas ini juga beranggotakan anak-anak muda dengan kegiatan musikalisasi puisi, penerbitan buku, apresiasi dan diskusi sastra, lomba baca puisi, lomba penulisan puisi, workshop. Bahkan, tahun 2021 ini, Komunitas Kertas Budaya menggelar lomba penulisan puisi tingkat pelajar SMTA se-Indonesia.
Para sastrawan yang memiliki minat organisasi selalu gelisah untuk berkumpul dan membuat komunitas. Menjamurmu berbagai komunitas sastra di Indonesia tentu tidak lepas dari orang-orang yang memiliki komitmen dan dedikasi terhadap kegiatan sastra. Komunitas sastra tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Ada yang berukuran kecil, ada yang besar. Ada yang masih aktif, ada yang tinggal kenangan.
Komunitas Sastra di Indonesia
Indonesia termasuk daerah yang sangat subur bagi pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra dari masa ke masa. Dalam buku Komunitas Sastra di Indonesia: Antara Asap dan Cendawan (2012), Iwan Gunadi mengutip data hasil Susenas Model 2003 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) yang sekarang bernama Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa selama 1993 – 2003, BPS mencatat keberadaan 89.658 organisasi kesenian dari 26 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi organisasi kesenian di bidang musik, seni tari, seni rupa, karawitan, pedalangan, teater, dan sastra. Organisasi kesenian di bidang sastra mencapai 4.699 atau 5, 24% dari jumlah total organisasi kesenian itu. Bayangkan betapa banyaknya organisasi atau komunitas sastra pada masa itu.
Di Indonesia, komunitas sastra memang tumbuh menjamur. Pada masa 1990-an misalnya, muncul Kelompok Sastra Kita (Jakarta), Rumah Sastra Pulo Asem (Jakarta), Sarang Matahari Penggiat Sastra (Jakarta), Masyarakat Sastra Jakarta (Jakarta), Dapur Sastra Bekasi (Bekasi), Roda-Roda Budaya (Tangerang), HP3N Malang, Revitalisasi Sastra Pedalaman oleh Beno Siang Pamungkas dkk, Komunitas Rumah Dunia (Banten) oleh Gola Gong, Komunitas Sastra Reboan, Dapur Sastra Jakarta yang digerakkan Remmy Novaris, Bengkel Deklamasi oleh Jose Rizal Manua, Komunitas Sastra Kalimalang oleh Irmansyah dan Ane Matahari, Sanggar Matahari.
Di luar Jawa ada komunitas Berkat Yakin (Lampung), Lamban Sastra (Lampung) oleh Isbedy Stiawan ZS, Komunitas Seni Intro (Payakumbuh) yang digerakkan Iyut Fitra, Pustaka Kabanti (Sulawesi) digerakkan Syaifuddin Gani, Tikar Pandan (Aceh) yang digerakkan Azhari, Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) oleh Puthut EA, Rumah Lebah (Yogya) digerakkan Raudal Tanjung Banua, komunitas Akar Pohon (Lombok, NTB) yang dikomandoi Kiki Sulistyo, komunitas Seni Sastra Budaya Sumba (SSBS) digerakkan Kristopel Bili, Komunitas Seni Rumah Sunting (Pekanbaru) digerakkan Kunni Masrohanti, Komunitas Rumah Hitam (Batam) digerakkan Tarmizi, Bengkel Sastra Maluku, Kindai Seni Kreatif (Kalsel) digerakkan Ali Syamsuddin Arsi, Akademi Bangku Panjang Mingguraya (Kalsel) dikomandoi Benyamin, Jejaring Madah Enam (Kaltim), Komunitas Rumah Mimpi (Kalbar) digerakkan Bernard Batubara, Komunitas Sastra Papua (Kosapa), dan masih banyak lagi. Selain itu, komunitas sastra di internet juga sangat menjamur, misalnya komunitas Apresiasi Sastra yang digerakkan Sigit Susanto, dan sebagainya.
Namun, tentu saja komunitas-komunitas sastra yang disebutkan di atas ada yang tinggal kenangan, dan ada juga yang masih berkegiatan hingga sekarang. Di luar nama-nama yang disebutkan itu, masih sangat banyak komunitas sastra yang bertebaran di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Forum Lingkar Pena (FLP) yang digerakkan Helvy Tiana Rosa termasuk komunitas sastra yang sangat eksis dan dikelola dengan profesional. Anggotanya mencapai ribuan orang yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Ada ratusan penulis sastra dan buku sastra yang lahir dari komunitas ini.
Di Tegal muncul Komunitas Negeri Poci dan Komunitas Radja Ketjil yang sejak 1993 rajin menerbitkan kumpulan puisi bersama penyair se-Indonesia lewat undangan kurasi puisi dengan tematik yang ditentukan. Komunitas ini digerakkan Piek Ardijanto Soeprijadi, Kurniawan Junaedhie, Adri Darmadji Woko, dan Hendrawan Nadesul. Buku-buku yang telah diterbitkan antara lain Dari Negeri Poci (1 – 3), Negeri Abal-Abal, Negeri Langit, Negeri Laut, Negeri Awan, Negeri Bahari, Negeri Pesisir, dll. Komunitas ini sangat diperhitungkan dan memberi andil yang besar bagi pertumbuhan dunia kepenyairan di Indonesia.
Salah satu komunitas sastra yang fenomenal dan kontroversial adalah Komunitas Sastra Indonesia (KSI) pada 1996. Komunitas ini didirikan oleh AhmadunYosi Herfanda, Ayid Suyitno PS, Azwina Aziz Miraza, Diah Hadaning, Hasan Bisri BFC, Iwan Gunadi, Medy Loekito, Shobir Poer, Slamet Rahardjo Rais, Wig SM, dan Wowok Hesti Prabowo.
KSI menggelar berbagai kegiatan sastra, antara lain diskusi dan seminar sastra, workshop penulisan sastra, lomba/sayembara penulisan sastra, penelitian dan penerbitan buku sastra, pementasan sastra, pemberian penghargaan sastra, hingga kegiatan sosial. KSI adalah komunitas sastra formal dengan anggota ratusan orang yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia.
Pada 1997, KSI menerbitkan buku fenomenal yakni Antologi Puisi Indonesia (dua jilid) yang berisikan puisi-puisi penyair Indonesia dari angkatan lawas hingga mutakhir.Buku yang dieditori Ahmadun Yosi Herfanda, Eka Budianta, Korrie Layun Rampan, Muhammd Ridlo, dan Slamet Sukirnanto itu memuat ratusan puisi dari sekitar 140 penulis puisi Indonesia. Puisi-puisi tersebut merupakan pilihan dari 3.340 puisi dari 342 penulis puisi di seluruh Indonesia dan di sejumlah negara lain.
Selain itu, pada awal gerakannya, KSI melakukan pelatihan penulisan karya sastra secara gratis dengan diasuh sejumlah sastrawan ternama, seperti Eka Budianta dan Slamet Sukirnanto. Pelatihan tersebut terbuka untuk umum. KSI juga menyelenggarakan dan atau memfasilitasi pembacaan puisi, cerita pendek (cerpen), dan pementasan drama di sejumlah tempat. KSI ikut serta mendukung lahirnya Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia, suatu angkatan yang menjadi polemik di media massa.
Pada pertengahan 1990-an, muncul Komunitas Utan Kayu di Jakarta Timur yang dikomandoi Goenawan Mohamad. Tidak hanya sastra, komunitas ini bergerak di banyak bidang seni, seperti teater, musik, film, budaya, dll. Komunitas ini kemudian berganti nama menjadi Komunitas Salihara pada tahun 2008.
Jika Yayasan Hari Puisi (YHI) dikategorikan sebagai komunitas sastra formal, maka gerakan-gerakan yang dilakukannya memiliki andil besar dalam pertumbuhan dan perkembangan sastra di Indonesia, terutama puisi. Sejak 2013, setiap tahun YHI menggelar berbagai kegiatan sastra (puisi). Salah satu kegiatannya yang paling populer dan sangat diminati adalah Sayembara Buku Puisi Terbaik Hari Puisi Indonesia. Selain itu, YHI juga menyasar komunitas sastra di Indonesia melalui lomba perayaan Hari Puisi Indonesia yang digelar komunitas. YHI digerakkan oleh Rida K. Liamsi, Maman S. Mahayana, Asrizal Nur, M. Anton Sulistyo, Nana Sastrawan, dll. YHI juga memanfaatkan kecanggihan teknologi digital untuk menjalankan berbagai kegiatannya.
Gambaran di atas hanya sebagai contoh bahwa gerakan-gerakan komunitas sastra memiliki dinamikanya masing-masing. Memetakan komunitas sastra di Indonesia secara komprehensif tentu memerlukan riset yang panjang dan mendalam.
Membangun Jejaring
Kehadiran komunitas sastra di berbagai daerah adalah aset penting bagi pertumbuhan kehidupan sastra di Indonesia. Memanfaatkan kecanggihan teknologi digital dan membangun jejaring juga menjadi suatu keharusan bagi komunitas sastra. Jejaring tersebut meliputi jaringan antar komunitas sastra, antar komunitas lintas seni, penyandang dana, jaringan dengan lembaga swasta dan pemerintah, media publikasi dan penerbitan, media massa, dan sebagainya.
Komunitas sastra di Indonesia cenderung terpaku pada patron dan ketokohan para pendirinya. Kehadiran para pendiri komunitas sastra seharusnya tidak menjadi patron atau penghegemoni suatu komunitas, melainkan menjadi tauladan, pembimbing dan pendamping bagi bakat-bakat baru yang sedang mencari jati diri untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakternya masing-masing.
Hal itu sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Bila berada di depan seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan, bila di tengah harus mampu membangkitkan atau menggugah semangat, dan bila di belakang harus bisa memberikan dorongan moral dan semangat kerja untuk anggotanya. Dengan kata lain, komunitas sastra yang ideal seharusnya memunculkan suasana saling asah-asih-asuh.***
*Tulisan ini disampaikan dalam Seminar Hasil Kajian dan Pemodernan Sastra yang digelar oleh Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Hotel Merusaka, Nusa Dua, Bali, pada tanggal 7 – 10 Desember 2021.
Wayan Jengki Sunarta, lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Ia lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Menulis puisi sejak awal 1990-an, kemudian cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan sebagainya. Pada tahun 2020 ia menerima anugerah Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali atas pengabdian di bidang sastra. Buku puisinya Jumantara (Pustaka Ekspresi, 2021) memenangkan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2021 sebagai Buku Terbaik. Kini, ia mengelola komunitas Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) di Denpasar.