PADA SETIAP PERTEMUAN | puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS
PADA SETIAP PERTEMUAN pada setiap pertemuan tak lupa kita dendangkan gelasgelas kopi, sendok kecil beradu di dinding terbuat dari keramik itu. gemanya sampai esok fajar ketika bangun. meluruskan pandang ke rumah-Nya. hanya kita yang telah berjalan di malam hari, akan tiba selamat di waktu pagi yang bening tubuh segar berdiri tegak pandang ke arah barat ke baitullah semata pada setiap pertemuan segelas kopi kutawarkan memilih kafe yang lengang percakapan pun berlarian memburu riuh lalu sunyi 2021 KALI PERTAMA KUSENTUH GELAS ingatlah sesuatu yang kelak bisa kita kenang, lainnya hapus dari daftar sekiranya ingin kau catat. karena yang tak terhapus ketika kopi di meja ini pertamatama kita seruput; barisan bibirmu kian menunggu pada kali pertama aku menyentuh gelas kopi itu, aneh, kau menulis sesuatu kelak menjadi kenangan. lalu aku menunggu dengan debar, kau mau mengulangnya. sebelum akhirnya kota ini menenggelamkan sebab malam, sebab ada yang harus ditinggalkan : peristiwaperistiwa yang minta diingat lalu dikenang dan diulangulang... ingatlah sesuatu yang kelak bisa kita kenang, lainnya hapus dari daftar sekiranya ingin kau catat. karena yang tak terhapus ketika kopi di meja ini pertamatama kita seruput; barisan bibirmu kian menunggu pada kali pertama kusentuh gelas kopi itu, aneh, kau menulis sesuatu kelak menjadi kenangan. lalu aku menunggu dengan debar, kau mau mengulangnya. sebelum akhirnya kota ini menenggelamkan sebab malam, sebab ada yang harus ditinggalkan : peristiwaperistiwa yang minta diingat lalu dikenang dan diulangulang… KEDAI CENTHINI: SENJA DAN HUJAN 1. sore galau di luar di sini aku sendiri kau kutunggu menemaniku 2. karena hujan aku jadi patung dikutuk di kedai tiada tamu tak ada kau berkunjung alangkah bisu! 3. hujan dan tembang lamatlamat datang suluk cinta serat Cinta ada secangkir kopi kau saji di meja ini mana serat centhini untukku berlari. berlari melebur di dalam diri (kau menyebut berahi?) menggerakkan hidup kataku; ini hidupku tertera di lembarlembar serat Wayhalim, 14 Februari 2021 BERI JALAN demikian. sesungguhnya aku masih menunggu matahari sekiranya kutemui juga ini pagi begitu. aku tahu matahari sudah masuk ke mataku. menutup siang pada kolamnya. hingga pudar seperti lelampu lemah syahwat jadi. kasih waktu aku istirah. sekejap dari mataku yang selalu cahaya rambutku kilau dan melayang lalu. beri jalan aku pulang ke peraduan atau taman untukku yang sudah kau siapkan SEPARUH WAKTU separuh dari seluruh waktu yang kupunya dilindas di jalanjalan, ditembangkan puting, diayunayun angin, diombangambing gelombang, ditumpas oleh waktu pula tanpa sisa, selain barisbaris kenangan di halaman ini JALAN LEBIH PANJANG ada kalanya jalan lebih panjang dari langkahku dan perjalanan yang disiapkan. ada kalanya butiran air di daun itu lebih panjang dari waktu

Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di berbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain. Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020). Buku-buku puisi Isbedy lainnya, ialah Menampar Angin, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama (memenangi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia, tahun 2014): Di Alunalun Itu Ada Kalian, Kupukupu, dan Pelangi, dan Kau Kekasih Aku Kelasi (Siger Publisher, 2021), Masih Ada Jalan Lain Menuju Rumahmu (Siger Publisher, 2021), dan Secangkir di Meja Kedai (Siger Publisher, 2021). Kemudian sejumlah buku cerpennya, yakni Perempuan Sunyi, Dawai Kembali Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, Kau Mau Mengajakku ke Mana Malam ini? (Basabasi, 2018), dan Aku Betina Kau Perempuan (basabasi, 2020), Malaikat Turun di Malam Ramadan (Siger Publisher, 2021). Isbedy pernah sebulan di Belanda pada 2015 yang melahirkan kumpulan puisi November Musim Dingin, dan sejumlah negara di ASEAN baik membaca puisi maupun sebagai pembicara. Beberapa kali juara lomba cipta puisi dan cerpen.