CandikataCeritaSastraSeni

NYENTANA | cerita Kadek Dwi Sume Artana

Seusai bersua dengan kekasihku, kata “nyentana1 tiba-tiba menjadi topik utama dalam pikiranku. Menciptakan kekhawatiran yang luar biasa akan hubunganku dengan Laras, yang saat ini sedang berjalan enam tahun. Kata itu sungguh menusuk masuk sampai ke dalam relung sukmaku, membekukan bayangku sejenak. Terjadi pergolakan batin di benakku. Apakah aku bisa nyentana? Atau sebaliknya? Aku lelaki yang terlahir di desa dan keluarga yang masih tabu perihal nyentana. Bagaimana bisa, ya Tuhan — kepalaku pening seketika, terkapar sudah aku semalaman.

          Umumnya, perkawinan di Bali, pihak perempuan ikut atau dipinang ke dalam keluarga laki-laki. Namun, dalam perkawinan nyentana atau sentana, seorang laki-lakilah yang ikut atau dipinang ke dalam keluarga perempuan. Dia akan tinggal di rumah perempuan dan semua keturunannya mengambil garis keturunan pihak perempuan. Biasanya, mereka yang mencari sentana merupakan keluarga yang di keturunannya tidak ada anak laki-laki. Maka, untuk melanjutkan garis keturunannya, dia harus mencari sentana.

***

          Hari sudah berganti malam. Denpasar, seperti kota lainnya di Bali, amat cantik dihiasi oleh gemerlapnya lampu kota. Aku bersama Laras mengarungi lalu lintas kota yang cukup padat, di atas motor tuaku, yang bahkan lebih tua dariku.  Kami berencana membicarakan hubungan kami kembali ke jenjang yang lebih serius. Ini adalah kedua kalinya. Usai yang pertama, bibirku bergeming satu patah kata pun setelah mendengar jika Laras mencari sentana. Cahaya bulan purnama yang redup, tepat jatuh di wajah kami. Seakan dewi malam sedang memberkati, agar semua berjalan lancar dan sesuai kehendak Tuhan.

         Motor tuaku berhenti tepat di depan warung makan favorit kami. “Warung Mbok Putu” namanya. Tempat ini menjadi saksi cinta kami, enam tahun silam mulai berseri. Desain dan suasana warung makan ini tak banyak berubah, bahkan hampir sama saat aku memberanikan diri untuk mengungkapkan rasa cintaku kepada Laras. Di meja nomor enam belas. Aku ingat sekali, kala itu hanya bermodalkan nasi goreng dan es teh, aku berhasil mendapatkan hati seorang gadis tercantik di sekolahku. Meja nomor enam belas, sungguh menjadi saksi bisu cinta kami.

          Baru saja melangkah masuk melewati bingkai pintu, tanpa komando seorang pelayan langsung membersihkan meja nomor enam belas. Meja itu sudah pakem milik kami, tidak ada yang boleh menduduki meja tersebut kecuali aku dan Laras. Tertanda tangan Mbok Putu.

          Aku hanya bisa tersenyum hangat, memandang meja nomor enam belas. Tiap kali memandang meja itu, aku pasti teringat akan selaksa peristiwa enam tahun silam. Aku yakin, Laras juga sama sepertiku, buktinya mata cokelat Laras selalu berbinar-binar saat memandang meja tersebut. Kami pun bergegas duduk di meja nomor enam belas.

          Menu di restoran ini sudah banyak berubah, lebih kekinian. Namun, selera kami sama sekali tidak berubah, tetap nasi goreng dan es teh. Karena hanya menu inilah yang sesuai dengan kondisi kantongku yang tipis.

          Lima belas menit menunggu, pesanan kami pun datang. Harum aroma masakan khas Mbok Putu memenuhi setiap ruang di restoran, membuatku menarik napas berkali-kali, tak sabar ingin menikmatinya. Aku menarik napas dalam, sekali lagi.

          “Bli2—kamu mau kan nyentana sama aku?” tanyamu, ketika suapan terakhir mendarat di mulutku.

          Suaramu yang lembut itu menerobos masuk menghentikan sejenak kinerja saraf tubuhku, menggoncangkan batinku.  Tak ada goncangan paling dahsyat yang pernah aku rasakan seperti mendengar kata “sentana” yang terucap dari bibirmu yang syahdu itu. Lagi-lagi aku diam seribu bahasa.

          “Bli, kasi aku kepastian, dong,” lirihmu, seraya menurunkan bahu perlahan. Wajahmu juga seketika muram.

          “Bli! Jangan diam aja!” serumu setelah lima belas detik hening sejenak. Kepalaku yang semula tertunduk tak berdaya, seketika naik dan mataku memelotot. Suaramu berubah menjadi kasar membelah keriuhan para pelanggan restoran.

          Aku menggeleng perlahan, lalu berkata, “Maaf, Gek,3 perihal itu aku belum bisa memastikannya sekarang.”

          “Kenapa? Mau sampai kapan kamu tunda-tunda terus? ” tanyamu lagi. “Tempo hari, kamu bilang mau berunding dulu sama keluarga, apa sudah?!” Laras mencercaku berbagai pertanyaan.

          “Tadi, kamu bilang mau berbincang soal pernikahan kita. Aku kira kamu akan memberikanku kepastian. Ternyata tidak. Terus untuk apa kita di sini? Cuma makan nasi goreng saja?” Laras berdiri, mendengus napas kesal, lalu meninggalkanku begitu saja.

          “Mau ke mana?” tanyaku.

          “Mau pulang! Aku kecewa sama kamu, Bli!” Langkah kakinya terhenti tepat di bawah bingkai pintu warung makan.

          “Biar aku antar pulang, Gek,” kataku.

          “Tidak usah, aku udah pesan taksi online.” Laras melanjutkan langkahnya yang tertunda.

          Aku pasrah, hanya bisa menatap lamat-lamat punggungnya dari kejauhan, menghilang perlahan bersamaan dengan datangnya mobil yang menghampirinya di pinggir jalan.

          Berangkat berdua, pulang sendirian. Di atas motor, pandanganku menerawang ke atas langit yang terlihat muram. Perlahan aku memalingkan pandanganku pada gemerlap lampu kota yang tadinya amat cantik, kini berubah muram dan lara seketika. Seakan sedang memvisualisasikan isi hatiku. Kepalaku lagi-lagi pening, ditambah lagi pandangan muram dan berkunang-kunang.

***

          Cahaya matahari sudah menembus jendela kamarku, jarum jam menunjukan pukul sembilan pagi, dan aku masih saja terpekur di atas ranjang. Kejadian kemarin sungguh masih melekat kuat di kepalaku. Bahkan, kepalaku yang pening, pandangan muram dan berkunang-kunang masih terasa hingga kini.

          Mau tidak mau, aku harus berbincang sama Biang,4 batinku.

          Tanpa basa-basi, aku beranjak dari ranjang, lantas kaki ini melangkah seketika menemui Biang yang sedang mengulat tipat di teras. Langkahku terhenti, tepat membelakangi tubuh Biang yang gempal. Aku menarik napas dalam berkali-kali, berusaha menenangkan diri. Tiga puluh detik kemudian, aku akhirnya siap.

          “Biang… Laras nyari sentana.” Kata ini akhirnya dapat terucap dari bibirku kepada Biang, setelah sekian lama aku ingin menyampaikannya.

          Tubuh Biang yang gempal perlahan memutar ke arahku, menghentikan sejenak pekerjaannya mengulat tipat. Sontak mata Biang memelotot ke arahku. Aku sudah menduga. Biang boleh saja kaget akan ucapanku ini. Suara burung peliharaan Aji5 yang biasanya berkicau lincah, tiba tiba saja senyap. Suasana benar-benar hening, hanya diiringi oleh suara gemericik air sungai di belakang rumah.

          “Terus?” tanya Biang memecah keheningan, seraya mengernyitkan dahi.

          “A — a… aku boleh nyentana, Biang?”

          Dubrakk, tangan Biang melempar nampan yang tadi terpangku manis di pahanya. Bola mata Biang menyemburkan kobaran api seketika. Dengus nafasnya bergemuruh menghantam batinku, saat itu juga aku hanya bisa tertunduk sembari menelan ludah. Yang aku takutkan benar-benar terjadi.

          “Nyentana? Biang tidak setuju jika kamu nyentana!”

          “T — t … tapi, apa salahnya nyentana, Biang?” lirihku, masih dengan kepala yang tertunduk. Biang diam seribu bahasa, tapi masih menatapku tajam.

          “Nyentana itu tidak semenakutkan yang Biang kira. Aku akan tetap menjadi laki-laki walaupun nyentana, aku akan tetap menjadi kepala keluarga, Biang … alasan Biang, melarang aku nyentana apa? Atau hanya gengsi semata?” tambahku.

          “Biang tetap tidak setuju kalau kamu nyentana! Mau ditaruh di mana wajah Biang, jika kamu nyentana?” Kata-kata Biang sungguh membuat darahku beranjak naik ke ubun-ubun.

          “Memangnya kalau gengsi bakal dapat apa, Biang?! Dari dulu sikap Biang tidak pernah berubah, selalu saja memikirkan diri sendiri, ketimbang perasaan anaknya. Dulu, waktu aku berpacaran dengan Dian, Biang juga yang menghancurkannya. Biang bilang, kalau nama baik keluarga ini akan tercoreng, bila aku menikah dengan orang yang kastanya di bawah kita. Dan sekarang, Biang mau menghancurkan hubunganku lagi dengan Laras? Biang, jangan kolot! Zaman sudah maju, pemikiran harus maju juga!”

          Telapak tangan kanan Biang dengan urat yang menonjol seketika mendarat tepat menghantam pipi kiriku. Gigiku bergetar, rahang ini terasa bergeser seketika. Warna kemerahan perlahan timbul mewarnai pipi kiriku, membuat mata ini merem melek menahan nyeri. Biang masih menatapku, kobaran api di matanya perlahan padam, mata Biang kini berkaca-kaca.

          “Gus6 … Biang hanya mau kamu mendapatkan istri yang terbaik dan terbaik juga bagi keluarga ini. Sekarang, kamu mau nyentana, apa kamu rela meninggalkan Biang sama Aji demi perempuan itu? Kamu rela menghentikan keturunan keluarga ini? Kamu tau kan, bagaimana kondisi kakakmu. Pikirkan baik-baik,” ucap Biang, kemudian berlalu, meninggalkan diriku seorang.

          Kata-kata Biang yang sangat dingin nan sejuk, membuat emosiku turun seketika. Aku tertunduk kembali, lantas hati kecil ini memberikan komando, jika yang dikatakan Biang itu ada benarnya juga. Apalagi, kakakku sudah didiagnosis tidak akan bisa memperoleh keturunan. Jika aku nyentana, siapa yang akan menjadi penerus keturunan di keluargaku ini?

          Dengan langkah kaki gontai, aku masuk ke kamar, lalu melemparkan tubuh lesuku ini ke ranjang. Aku memejamkan mata, kemudian membukanya lagi. Pandanganku lurus menatap langit-langit kamarku yang begitu pilu. Aku merenung sejenak, memikirkan langkah selanjutnya, antara memilih keluarga atau merelakan begitu saja cintaku? Aku sungguh tak sanggup.

          Sepuluh menit berlalu, ponselku berdering nyaring, menghentikan renunganku sejenak. Jantungku terasa dipecut, melihat panggilan masuk ternyata dari kekasihku, Laras. Aku yakin, ketika aku mengangkat panggilan ini, Laras akan langsung menanyakan kepastian hubungan kami.

***

          Sesuai janjiku dengan Laras kemarin, di pagi itu, aku menyempatkan diri pergi ke hamparan sawah yang di belakangnya terdapat dua bukit menjulang tinggi, setinggi angan-anganku dengan Laras. Aku terduduk di salah satu tanah setapak, sembari menenangkan diri sejenak, sebelum menelepon Laras untuk memberikannya kepastian terkait hubungan ini. Kicauan burung yang amat merdu, ikut serta membantu diriku menenangkan diri. Lima belas menit kemudian, aku pun mengambil ponsel dari saku kananku. Aku siap.

          Nafasku tiba-tiba memburu, jari-jemariku yang bergemetar langsung menekan tombol yang menghubungi nomor telepon Laras. Ponsel ini langsung aku tempelkan di telinga sebelah kanan, menanti Laras mengangkat panggilan masuk dariku.

          Apa mungkin, Laras bisa tegar mendengar keputusanku ini? Aku membantin sejenak, masih menanti Laras mengangkat telepon.

          “Halo, Gek,” kataku dengan bibir bergetar dan keringat dingin bercucuran.

        “Halo, Bli,” sahut suara lembut dari sebrang sana. “Gimana, Bli? Aku senang deh, kamu akhirnya memberikanku kepastian.”

          Hening sejenak, aku terpaku di dalam diam, mendengar ucapan Laras yang begitu antusias menanti kepastian dariku. Tiba-tiba saja tekadku goyah, dan merasa tak sanggup mengatakan keputusan ini kepadanya.

          Keputusanmu sudah bulat, setelah semalaman kamu menimbang-nimbang antara keluarga atau kekasihmu yang kamu pilih. Jangan sampai tekadmu goyah, hatiku menyergap, segera menyadarkanku.

          “Gek … aku sudah berunding sama keluarga, juga sudah memikirkan ini matang-matang. Kita sudah enam tahun menjalani hubungan ini, tapi maaf, aku tidak bisa nyentana, Gek….” Suaraku tiba-tiba serak, dan air mata tiba-tiba terjun membasahi pipi yang masih berbekas tamparan Biang kemarin sore. Senyap.

          Sejurus senyap. Begitu senyapnya sampai deru nafasku terdengar jelas.

          “T — t … terus hubungan kita terhenti sampai di sini? Bagaimana bisa ….” sahut Laras, suaranya terdengar seperti orang mau menangis.

          “Iya, Laras … maafkan aku.” Laras seketika mengakhiri panggilan. Aku tahu, Laras pasti sangat kecewa denganku. Aku menggeleng, tidak terasa bulir demi bulir air mataku jatuh di layar ponselku. Tidak sanggup lagi, aku lantas berteriak membelah langit Bali, meluapkan segala emosi dan kesedihan yang ada di dalam batinku.

          Berat, sungguh berat melepaskan wanita sebaik dan secantik Laras. Ini bukan soal gengsi yang dimiliki Biangku, tetapi keadaan yang memaksaku harus memilih salah satu dan mengorbankan satunya lagi. Jika saja kakakku bisa memperoleh keturunan, aku sudah dipastikan memilih nyentana.*

Catatan: 1 Salah satu perkawinan adat yang ada di Bali, di mana pihak laki-laki yang dipinang ke dalam keluarga perempuan. 2 Panggilan untuk laki-laki di Bali yang secara umur lebih tua. 3 Panggilan untuk perempuan di Bali yang sebaya atau secara umur lebih muda. 4 Panggilan ‘Ibu’ bagi orang yang berkasta di Bali. 5 Panggilan ‘Ayah’ bagi orang yang berkasta di Bali. 6 Panggilan ‘Nak’ pada anak laki-laki di Bali.

Kadek Dwi Sume Artana

Lahir di Jagaraga, 2004. Siswa SMK Wira Harapan. Tinggal di Tabanan, Bali.

Gambar Utama: Foto oleh Klaus Nielsen dari Pexels.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *