MISTISISME SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWAR (Dari Bunyi ke Sunyi, dari Modernisme ke Realisme Sufisme) | esai S. JAI
Kelahiran tidak dan tak pernah merupakan hal yang telah lewat
dalam arti tidak ada lagi, begitu juga kematian, bukanlah hal yang belum ada…
Dasein faktis bereksistensi dengan selalu hadir, dan mati dengan selalu lahir
dalam arti berada-menuju-kematian.
Martin Heidegger
BELAKANGAN ini saya gemar mendengar musik Ludwig van Beethoven (1770-1827 M); Simponi 9 dan 5, lalu karya Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791 M) diantaranya opera Don Giovanni dan Die Zauberflöte. Suatu kegemaran yang seperti dijatuhkan pada saya entah dari mana, meski sejak silam terkadang saya mencicipinya, dari yang tanpa sengaja, hingga mencari-cari lewat aplikasi sejak tak kesusahan untuk mendapati di sana.
Mulanya, saya memaksa diri menikmati, menghikmati, dan kerapkali timbul tanya yang tak terjawab; mengapa disebut musik klasik? Musik yang tak lain modern pada masanya, yang seturut angka tahun ledakannya; konon di pengujung dari zaman Romantik itu. Saya seperti dituntun oleh situasi pengalaman membaca saya, pada sosok yang dipuji penyair besar bangsa Arab—Jibran Kahlil Jibran—sebagai “manusia yang paling agung dan tidak jelas” itu. Jenius, misteri ketertutupannya, “Aku tak tahu bagaimana ia melakukan apa yang telah ia lakukan, dan aku tidak tahu bagaimana ia menemukan kedalaman-kedalaman itu dan puncak-puncak aneh yang saya sendiri tidak tahu bagaimana dapat dibayangkan.”1)
Beethoven pula—selain Friedrich Nietzsche—seniman besar yang menggetarkan daya pukau penyair yang mati muda; Chairil Anwar. Bagaimana Chairil meneguhkan daya pikat yang besar pada komponis agung itu? Ikhwal ini sebagaimana diungkap melalui dua prosanya; “Biarpun boleh djadi saudara berpikir dan berasa seberani dan “segila” Nietzsche; bahwa saudara djuga merasakan sedalam itu tragik penghidupan kita—bukan, bukan saja mau mendengarkan kejadian-kejadian serta peristiwa peristiwa jang menarik serta mengiris hati dari penghidupan saudara, ini boleh saudara simpan—bahwa derita dan duka sudah saudara angkat pula mendjadi kenikmatan seperti Beethoven?2)
Sepeninggalan Beethoven didapat buku-buku penuh tjatatan. Persediaan dan persiapan untuk lagu-lagunya jang merdu murni serta sempurna. Simponinya ke-5 dan ke-9 bukan begitu sadja terlahir, Idaku. Bertahun-tahun ahli musik besar ini bersiap-sedia, baru satu buah yang masak luar-dalam dapat dipetik. Missa Solemnis-nja hasil kerdja lima tahun lebih…
Ida tentu pernah mendengarkan Mozart. Musik berdjalin kesahadjaan-kesederhanaan jang indah-permai. Tapi meminta waktu djuga sebelum ia bisa menyatakan tjiptaannja siap. Ini seniman-seniman dalam arti sebenarnja lagi, jang menerima segala terus dari Tuhan……!II 3)
Meski tak setransparan dalam musik-Beethoven terkait puisi, misteri kerancuan pribadi Nietzsche-Chairil (meminjam istilah Subagio Sastrowardoyo atas WS. Rendra dan Garcia Lorca), cukup unik ketika Arief Budiman mengupas sajak-sajak Chairil Anwar yang terhubung dengan pikiran besar filsuf Jerman itu. Kejutan lain dari Arief Budiman adalah; rupanya ia mengungkai terang bagaimana eksistensialisme bergumpal dengan religiusitas puisi Chairil. Kita tahu sepanjang ini, religiusitas identik dengan keagamaan—tepatnya hubungan vertikal Tuhan dan Manusia, entah langsung ataukah lewat hubungan antar manusia. Saya sendiri tertarik membuka kembali temuan-temuan Arief Budiman yang menggunakan metode sequence analysis4) tersebut oleh karena beberapa hal keunikan tadi; memunculkan nama Nietzsche,—utamanya ditandai “jadilah kuat bersama penderitaan” dan “aku ingin hidup seribu tahun lagi,”—juga Albert Camus, termasuk Jean-Paul Sartre, dengan pelbagai pembahasan ikhwal kematian, bunuh diri, absurditas, dan kemudian yang memukau perihal religiusitas.
Arief Budiman melakukan tafsir semacam resepsi pembaca (horizon hermeneutic) sebagaimana ditedaskan berwujud “persoalan filosofis, menceritakan pengalaman penulis bergaul dengan beberapa macam pemikiran.” Dengan kata lain, eksistensialisme, kesadaran, kebebasan, menerbitkan asumsi tafsir secara psikis atas biografi Chairil Anwar (1922-1949 M) yang identik dengan Biografi Nietzsche (1844-1900 M). Tentu saja biografi yang dimaksud adalah sejarah mental antara keduanya, meski tak menutup kemungkinan tafsir terkait perjalanan hidup, sikap, pengalaman utamanya titik berat masa kanak-kanak dan hubungannya dengan perempuan. Sejarah hidup sebagai sebuah tafsir.
Tafsir eksistensialis sebagai ideology individualime pada satu sisi selama ini, dan sisi lain nasionalisme/patriotisme sajak-sajak Chairil Anwar, bisa dikatakan sudah galib dalam kritik-kritik susastra kita atasnya, dan sialnya hal itu membaiat, menerangbenderangkan mitos (dalam arti sebagai ideologi) sajak-sajak tersebut, termasuk di dalamnya mitos (kultus individu) figur penyairnya.
Pembaca, penafsir, kritikus sebagaimana kata Goenawan Mohamad yang kemudian mengutip Jacques Derrida; adalah seorang yang sadar bahwa kata ada dalam sajak itu awal penanda tentang sesuatu: dan ia bersama dengan tabir, dan kemudian tafsir. Tapi bersama dengan itu pula seorang kritikus bukan hanya seorang perumus interpretasi tapi juga seorang yang menemani puisi, terus menerus dalam tugur dalam menunggu sementara puisi itu “menyanyikan dirinya tak putus-putusnya dan tak henti-hentinya menghilang melalui lubang-lubang pintu yang bersinar terang seperti cermin dan terbuka ke dalam sebuah labirin.”5)
Maka adalah kewajiban pembaca, penafsir, kritikus untuk menikmati, menghikmati, memaknai puisi, nyanyian, kesunyian, bebunyian atas misteri puisi yang tanpa penafsir pun puisi menikmati kesunyiannya sendiri. Pada titik ini kebebasan penyair dalam memuisikan pengalaman puitiknya, sebagaimana kebebasan puisi itu sendiri, identik dan inhern dengan kebebasan kritikus, pembaca, penafsir, penikmat. Pada saat yang sama kemerdekaan penyair, puisi dan kritikus adalah sama dan sejajar dalam arti mencari, menemukan, memberi kemungkinan-kemungkinan; membaca, menulis, menafsirkan, memaknai, memahami teks (dalam arti dekonstruksi Derrida, bahwa tidak ada sesuatu pun di luar teks—semua adalah teks).
Esai ini, tak lain dimaksudkan demikian—sesuatu yang tak tepermanai, tak kunjung usai, senantiasa tertunda dalam setiap perburuan makna. Saya ingin membuka pembicaraan dengan sebuah sajak—atau tepatnya nyanyian—Chairil Anwar yang sesungguhnya ditulis penyair itu tanpa judul. Untuk alasan ini, kutipan-kutipan selanjutnya, sengaja saya tak menyertakan judul sajaknya, semata demi mendekatkan diri pada nyanyian dan menghindari konstruksi tafsir maksud dan tujuan tertentu dari sebuah sajak.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah.
-1949
Jikapun puisi Chairil Anwar cenderung muram—yang kemudian banyak ditafsirkan secara eksistensial sejak dari Nietzsche, Heidegger, Camus, Sartre yang jauh dari kesan hiruk pikuk gelora semangat kolektif sebuah bangsa di tengah suasana revolusi—tak musti benar-benar secara utuh maknanya demikian. Terbukti, betapa kemuraman Chairil tak cuma tertangkap dari sajak-sajaknya, bahkan pula atas sikapnya sendiri terhadap sajak-sajak keperwiraaannya—istilah Chairil—yang dengan kata lain, membantahnya; “Begini keadaan jiwaku sekarang untuk menulis sajak keperwiraan seperti “Diponegoro tidak lagi.”6)
Dalam suatu perbincangan pasal kemungkinan-kemungkinan pembacaan sajak Chairil, kritikus Arif Bagus Prasetyo memberikan perspektif lain, terbitnya apa yang disebutnya spiritual “intelektualisme defensive.”7) Di mata Arif, sajak-sajak Chairil bisa pula dilihat sebagai betapa susahnya mempertahankan subjektivitas individualnya di tengah suasana revolusi yang menihilkan eksistensi pribadi . Lebih dari itu, pada saat yang berbarengan, itulah momen dimana sang penyair membina suatu kehidupan instropeksi batin di seberang aktivitas revolusioner yang melimpah ruah. Pendeknya, mekanisme pertahanan diri, yang secara spiritual melindunginya dari ancaman terseret arus masa revolusioner.
Kebebasan yang diteroka sejumlah filsuf penting di atas, yang mengandung arti terbukanya kemungkinan-kemungkinan inilah, yang menjadi pemantik saya untuk memaknai kembali kebebasan; bahkan termasuk atas pikiran-pikiran besar dari Beethoven-Mozart, Nietzsche, Heidegger, dan sudah barangtentu Romantisme dan Modernisme sebagai latar yang tak bisa ditolak kehadirannya pada sajak-sajak Chairil Anwar. Dalam pengamatan saya, para pemikir ini adalah peletak dasar (di Barat) atau setidaknya turut membuka jalan ramai estetika yang disebut Realisme Magis dalam bentuknya masing-masing, yang di Dunia Arab memiliki kemiripan (meski tentu berbeda paradigma serta sejarahnya) dengan kemunculan estetika Realisme Sufisme. Penyair dan pemikir Arab modernis Adonis memberi gambaran Realisme Sufisme sebagai kesadaran sang pioneer (penyair) terhadap batas-batas yang memisahkan dari realitas langsung, keyakinannya akan realitas yang lebih indah dan kaya, dan terakhir keinginannya untuk sampai pada realitas tersebut dan untuk mewujudkannya.8) Pendeknya, menulis/membaca/menafsirkan puisi sebagai peristiwa, bunyi dan imaji dengan kesadaran penuh memiliki perhatian pada “ada” (wujud) lahir dan batin dan bahwa pencapaian “wujud” yang sebenarnya (yang abadi) adalah pada batin. Di Barat, pun situasi yang digambarkan Dunia Arab ini menyerupai gambaran zaman romantisme sebagaimana Victor Hugo katakan: Apa yang kami sebut sebagai kehidupan tidak lain adalah kerinduan terhadap kekekalan…Kita merasa bahwa dalam alam kita ada sesuatu yang tidak akan mati. Segala sesuatu bagi kita adalah Tuhan, bahkan sekalipun itu manusia.9)
***
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah ..
–18 Januari 1944
BUNYI tak mengenal agama, meski suara-suara yang tergetar keluar dari seperangkat alat kerap kali memberi atau diberi identitas tertentu—suku, agama, ras,pilihan politik, mitos, wacana, episteme. Kebebasan, sebagai kemungkinan-kemungkian masa depan dalam arti Heideggerian ditemukan dalam takdir kecemasan yang muncul dalam kesendirian. Inilah otentisitas, dan ketika menjadi otentik memang menjadi sangat individual dalam arti personal.
Agama bagi Heidegger tak lain dari pelarian kecemasan. Kita bisa menambahkannya suku, agama, ras,pilihan politik, mitos, wacana, episteme. Orang otentik sudah terbiasa dengan cemasnya, dengan kesendiriannya. Artinya dalam kesendiriannya pun ia tetap bening dengan dirinya. Inilah sebetulnya mistiknya; bening menatap Ada-nya, eksistensinya. Situasi seperti itu memang sangat rohaniah. Orang harus mengalami keheningan untuk menyadari seberapa jauh kebisingan telah merampok kemerdekaannya. Jika meminjam ungkapan Hartojo Andangdjaja bahwa puisi adalah Dari Sunyi ke Bunyi, maka otentisitas adalah sebaliknya Dari Bunyi ke Sunyi. Jika puisi adalah nyanyian kesunyian, Chairil Anwar membuka puisinya dengan dendang kematian (1942) juga dengan lagu kematian pula menutupnya (1949) seolah-olah menegaskan bahwa bicara tentang kematian tak lain sama dengan bicara tentang kehidupan itu sendiri.
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.
–Oktober 1942
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati.
–1949
Pada kontek ini musik, bunyi, sunyi dalam sejarah estetika musik Beethoven menarik disimak, oleh karena Beethoven disebut-sebut pintu belakang estetika Klasik abad 18 dan pintu depan estetika Romantik abad 19.10) Beethoven gagal berguru pada seniornya, Mozart. Tersebab takdir itulah yang membuatnya otodidak, di sebalik bayang-bayang Mozart. Awalnya karakter komposisi Beethoven yang klasik sukses menempatkan diri identik dengan tokoh-tokoh pujangga (aristokrat) besar seperti Goethe, Shakespeare, maupun Schiller. Karya klasiknya Symphoni no. 1 dan no. 2, sonata awal untuk piano seperti Sonata Pathetique dan Mondscheinsonate, Konser no. 1 untuk piano dan orkes serta beberapa karya kwartet gesek. Seiring berjalannya waktu, gaya Romantiknya disokong secara kuat subjektivitas dan individual sang komponis, kelak menjadi tren pada eranya, seperti Symphoni no. 3,5,6 dan 8, Ouverture for Egmont dan Coriolan opera Fidelio dan beberapa sonatanya. Puncak karya menumentalnya sekaligus puncak kesunyiannya, yakni Simphoni no. 9 yang disebut-sebut Chairil Anwar dalam tulisannya itu, adalah karya terakhirnya yang dibuat tatkala pendengaran Beethoven memburuk dan mendekati budheg sempurna.
Pada diri Beethoven seakan individualistik-subjektif (yang sebenarnya terpantik sejak pertarungan otoritas gereja vs sains), menemukan ruangnya pada komposisi musik karyanya. Seperti ditegaskan Bertrand Russel mengenai hal ini bahwa pembebasan dari otoritas gereja mendorong tumbuhnya individualisme dan bahkan anarkhi.11) Buhulnya, bahkan apa yang disebut filsafat modern tak lain adalah ketika Rene Descartes memastikan kebenaran dari eksistensi subjektifnya sendiri.
Maka ketika subjektif individualisme menjadi panglima, pada ranah seni modern menemukan sejarahnya yang cukup panjang di berbagai belahan. Modernis, modernitas, modernisme. Kemoderanan berciri reflektif, kajian tentang pengetahuan tentang keindahan. Dalam bahasa Martin Suryajaya, modern dalam seni identik dengan otonomi wacana kesenian: kriteria evaluasi seni tidak lagi dikebawahkan pada pertimbangan yang eksternal terhadap seni (seperti moralitas, agama dll) tetapi ditemukan dalam disiplin seni itu sendiri.12)
Dalam Sejarah Estetika—yang dalam koreksi Martin lebih tepat sebagai Sejarah Filsafat Kesenian, ketimbang Sejarah Filsafat Keindahan—dimanapun berada baik di Barat maupun di Timur (Arab, India, Cina) apa yang disebut modernitas senantiasa sudah terkandung didalamnya pembaruan, kritik, penemuan baru, dekonstruksi. Dengan kata lain, modernitas dalam seni dan sekian makna turunannya, bersumber dari kreativitas. Sementara review Adonis atas penyair sufi Kahlil Jibran; Kreativitas tentunya merupakan dekonstruksi: dalam arti bahwa ia melampaui tradisi tradisi yang sudah mapan. Bahkan kebesaran penyair, dalam pandangan Jibran diukur dengan sejauhmana ia mendekonstruksi. Atas dasar ini ia menyatakan tentang Nietzsche; bahwa ia merupakan generasi terbesar abad 20 sebab ia tak hanya mencipta …tetapi ia juga menghancurkannya.13) Nietzsche adalah peletak dasar pemberontakan yang pada kemudian hari dikonseptualkan dalam filsafat Albert Camus. Dalam pandangan Camus, Nietzsche bukanlah filsuf yang merumuskan filsafat pemberontakan, tetapi mengonstruksi sebuah filsafat tentang pemberontakan.
Estetika Romantik Beethoven tak lain adalah pembaruan, kritik, dekonstruksi dari estetika klasik Mozart, terlepas apakah hal itu menjadi paham dan gerakan ataukah tidak. Demikian pula Pasca Romantik-Ekspresivisme adalah modernitas dari seni Romantik. Pun Nietzsche membongkar secara radikal individualistik subjektif era Romantik yang kemudian mendorong terbitnya paham estetik modernisme dalam seni. Modernitas Nietzsche menjadi pondasi paling kokoh penciptaan-penciptaan karya seni, tak terkecuali (saat itu) di cikal bakal negeri Indonesia yang semula memilih mengambil semangat Romantisisme, sebagaimana secara tersirat diakui Chairil Anwar. Pendeknya ikhwal gagasan manusia luhur dan pandangannya perihal “Seni yang bagus yang meningkatkan daya hidup memupuk kehendak.” 14) Sebagai sastrawan dan filsuf pengaruh Nietzsche tak cuma di lapangan seni tetapi juga filsafat-pemikiran—tak terkecuali kelak menjadi referensi penting Heidegger, Derrida, termasuk juga filsuf sufi Mohamad Iqbal. Yang mengejutkan meski pencapaian karya-karya modernis-modernisme dipantik oleh sejumlah musisi, perupa dan kemudian sedikit sastrawan sebut beberapa diantaranya Pablo Picasso, Oscar Wilde, James McNeil Whistler, Walter Pater, James Joyce, Franz Kafka, TS Eliot, namun kredo gerakan mereka adalah musik-bunyi. “Setiap seni mesti bebas dari omong kosong” penjelasan pelukis James McNeil Whistler. “Setiap cabang seni selalu mencita-citakan kondisi musik,” ujar Walter Pater. Pendeknya, kredo modernisme: Setiap cabang seni modern selalu mencita citakan kondisi musik.15)
Hal ini menimbulkan pertanyaan, seakan-akan lepas dari sejarah mereka di sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20 bahwa Modernisme disokong oleh dekadensi, kemandegan, kebosanan, kejenuhan, kegelisahan demi pembaruan, juga sinisme terhadap ide-ide besar modern atas seni realis, didaktis, untuk memilih bentuk-bentuk lebih ke arah kemudian dalam simbolisme, non mimetik. Bentuk yang dimaksud adalah dari yang semula ‘terhingga realis-indrawi-mimetis’ ke yang ‘tak terhingga, imajinatif, arbitrer.’ Tergantung sepenuhnya pada perspektif imajis seniman. Pendeknya, semangat pesimisme akibat digerus modernisasi Eropa.16) Dapat dikatakan eksistensial yang mendapat spiritnya dari kegelisahan kreatif demi pembaruan bentuk seni.
Barangkali kebaruan bentuk yang menjadi benih Modernisme Seni, secara gamblang di lapangan sastra bisa dilihat pada kredo penyair simbolis Stephane Mallarme (1842-1898 M); “Karya yang murni mengandung sirnanya sang penyair sebagai pembicara.” Atau kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri “Kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”—kredo yang boleh jadi sebelumnya dihindari, ditolak oleh Chairil Anwar. Penolakan Chairil Anwar pada puisi yang sepenuhnya bunyi-musik-sunyi pada satu sisi, dan pembaruannya pada visi sajak-sajak Amir Hamzah dalam bahasa di sisi lain, mirip sekali dengan situasi Nietzsche yang tak konsisten memilih antara paradigma Dionysian (romantik) dan Paradigma Apollonian (klasik). Antara segala ilusi, tatanan, rasional dengan estetika ketakjuban yang sublim, mengerikan, chaos dalam paduan suara sudut pandang keabadian. Dari sintesa keduanya, justru Nietzche merawat wajah keabadian—kehendak untuk berkuasa, yang dalam metamorfosisnya kehendak disimbolkan berturut turut dengan unta, singa, anak-anak. Anak-anak yang dimaksud tak lain adalah metafora visi dari manusia unggul.17) Mengingatkan nukilan sajak Chairil yang tak jelas angka tahunnya:
Aku berpikir : Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan ?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan
Tafsir Arief Budiman atas bait-bait; “Biar peluru menembus kulitku/aku tetap meradang-menerjang/luka dan bisa kubawa berlari/Berlari hingga hilang pedih dan peri” dan tantangan pada kematian sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalannya ke dalam aku ingin hidup seribu tahun lagi 18) tak lain sebagai “kekuatan bersama penderitaan” Chairil dan Nietzsche seakan secara psikis ada kerancuan pribadi antar keduanya. Lebih dari itu, mengandung pengertian bukan saja saat menjelang ajal Chairil, melainkan hidup keseharian sepanjang masa hidup produktif-kreatif, sepanjang nihilisme Nietzsche yang menyeranta kematian Tuhan larat dalam jiwa Chairil Anwar. Pendeknya pemberontak. Yang dalam bahasa Adonis, ketika menafsirkan hal serupa pada Jibran, moral yang diserukan Jibran adalah moral yang mengalami kematian Tuhan dan dengan demikian mendekonstruksi moral yang melemahkan dan memperbudak manusia, dan mengabarkan adanya moral yang dapat mengembangkan dan membebaskan manusia.19) Biografi sumir Nietzsche yang dibuat Bertrand Russel20) melazimkannya dengan Machiavelli. Bedanya Nietzsche kutu buku, filsuf yang oposisi, punya tujuan kekuasaan dan anti kristus. Katanya, “saya menguji kekuasaan kehendak.” Nietzsche bukan nasionalis, kebengisan, perang, keangkuhan aristokratik, di sisi lain mencintai filsafat, sastra seni terutama seni music. Nietzsche meremehkan perempuan. Perintahnya,“Laki-laki harus dilatih untuk perang, dan wanita untuk rekreasi prajurit.” Nietzsche menolak moralias budak dalam Kristen karena agama Kristen bertujuan menjinakkan hati manusia. Konstruksinya ikhwal pemberontakan: Kehendak orang-orang filosofis dan seniman tiran akan dikenang ribuan tahun. Etikanya: tiada simpati sama sekali. Pada diri Chairil, khusus tentang pergaulan dengan wanita, tulis Arief Budiman: “…pada Chairil, penyaluran ini agak kasar kelihatannya, sesuai dengan sifatnya yang radikal dan terbuka. Sudah semenjak di masa HIS-nya dia telah menyalurkannya kepada wanita walaupun tidak secara yang biasa dilakukan oleh orang dewasa…Dan hidup seperti ini terus dilakukannya di Jakarta dengan wanita-wanita pelacur dari tingkat pinggir jalan sampai gadis-gadis indo.21)
Entah mengapa bagi saya, tafsir Arief Budiman atas Chairil ‘bersama’ Nietzsche bukan hanya tentang bagaimana Chairil memaknai hidup menjelang ajalnya. Lebih dari itu karena sebagian besar, bahkan hampir semuanya memiliki kesamaan, nama Nietzsche dalam tulisan Russel, rasanya bisa diganti begitu saja dengan nama Chairil Anwar—lelaki yang dikisahkan saat pindah di Jakarta dan jadi kurir Sjahrir, tampak sombong, bicaranya bernada otoriter, berlainan sekali saat dikenal sebagai ‘kucing elok’ ketika di Medan; yang dikenal pembaca, peminjam, dan juga pencuri buku itu.22)
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
–Februari 1943
Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termanggu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
–Februari 1943
Sepi di luar, sepi menekan-mendesak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak.
Sepi memagut.
Tak suatu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencekung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertempik.
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Bila Nietzsche adalah pemikir-seniman pemberontak yang mengonstruksi sebuah filsafat tentang pemberontakan.tetapi tidak merumuskannya, artinya, Camuslah—penerusnya—perumus filsafat yang dimaksud. Saya kira penting menukil sejumlah konstruksi-konstruksi Nietzsche yang telah disingkap Camus sebagai pijakan rumusan filsafat pemberontakannya. Tulisnya; bagi Nietzsche “Tak ada seniman yang dapat menerima kenyataan.”23) Bahwa satu-satunya kebenaran itu adalah dunia ini (“yang sedang menderita”) dan kepada dunia inilah ia harus bersetia diri dan hidup serta menemukan keselamatan. Dunia ini adalah satu-satunya yang memiliki sifat ketuhanan.24) Tentang apa itu cinta dan keabadian, sekaligus jawaban pertanyaan dimana keabadian bersemayam antara cinta dan penderitaan, katanya, manusia ingin cinta abadi padahal tahu cinta tak abadi. Akan menjadi lebih baik memahami penderitaan, jika manusia tahu penderitaanlah sesuatu yang abadi. Inilah titik balik dunia cinta dan keabadian dunia serta eksistensi Tuhan disubversi, dikacaukannya. Di mata Camus; pemberontak metafisik secara definitif bukanlah seorang atheis, seperti dipikirkan orang selama ini, tetapi tak dapat disangkal bahwa memang ia adalah seorang pengutuk Tuhan.
Kita coba cermati, ikhwal kebenaran, keabadian cinta dan penderitaan, serta pengutuk Tuhan dalam kontek pemberontakannya. Kebenaran Nietzsche pada sifat Ketuhanan atas dunia, tak lain adalah cara meniadakan Tuhan yang selama ini memperbudak manusia. Justru inilah mistik Nietzsche. Sementara, dunia keabadian cinta dan penderitaan telah menjadi mistik Heidegger—yang dengan demikian dapat diduga ia turut menggaungkan nihilisme Nietzsche. Yakni: kecemasan memang merupakan suasana hati dasariah yang menyingkap ketakberumahan dan ketakberkampunghalamanan. Pada Chairil Anwar, modernitas (dekonstruksi) dari tradisi kredo musik dalam Modernisme Seni menjelma “kata adalah kebenaran” yang kemudian menjadi kredonya. “Sesudah masa mendurhaka pada kata, kita lupa bahwa kata adalah jang mendjalar, mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi, Pengharapan, Tjinta dan Dendam manusia. Kata ialah kebenaran!!! Bahwa kata tidak membudak pada dua madjikan. Bahwa kata ialah These sendiri.25) Singkatnya, dengan tetap mempertahankan mistik pemberontakan Nietzsche dan kecemasan Heidegger. Contoh terang mistik pemberontakan serupa adalah uraian Adonis atas karya yang jauh lebih dahulu di Arab, yakni karya penyair Abu Nuwas (139-195/199 H). Adonis menyebutnya; ekspresi menjalankan dosa, melanggar larangan dan menolak konsep Allah, pelanggaran terhadap yang diharamkan, penyelewengan terhadap syariat dan terhadap Allah. “Penyelewengan ini menjadikan manusia sejajar dan serupa dengan Allah. Dia tidak lagi tunduk terhadap syariat karena dia sendiri menjadi sumber syariat sehingga segala larangan menjadi lenyap dan yang dominan adalah kebebasan dan kehendak” 26)—inilah ide tentang pembunuhan Allah.
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda.
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
–29 Juni 1943
Apakah dosa, apakah salah
kecemasan berlimpah sesal
yang jadikan aku korban
kau lantas lakukan dengan tidak sangsi
apa yang tidak bakal aku setuju?
dengan lembut kau ceritakan
kau sudah terima orang lain
dan penuh sedih merasa
aku orang ketiga dan lantas jalan
–1949
Di sinilah “mistik” Modernisme Seni Eropa yang menemukan bentuk sempurna pada kredo visi atau cita-cita seni pada “kondisi musik” menyebabkan Chairil mengalami kegelisahan kreatif terkait dengan isi dan bahasa. Persisnya yang menyebabkan dirinya memilih berbagai dekonstruksi-jalanpinggir-peristiwa pembacaan-sejarah-metafisika-kehadiran di tanah air sendiri, liyan. Dan sudah barang tentu terhadap bahasa puisi yang mengukuhkan diri pada pilihan sebagai bahasa penghuni suatu koloni atas nama kebenaran. Dengan kata lain pada sisi yang berbeda Chairil sama sekali tak peduli apakah musik-bunyi-bahasa-kebenaran-budak-majikan, semuanya sama sebagai suatu teks sekaligus konteks, atau sebaliknya justru konteks-konteks yang inhern dengan teks-teks.
Inilah sesungguhnya benih-benih mistik Chairil Anwar sejak kredo Modernisme Seni Eropa. Oleh karena itu meski ditengarai, H. Marsman penyair Belanda sumber pengaruh pokok Chairil tentang nafsu hidup, semangat ketidakpedulian dan penasaran (Subagio Sastrowardoyo)—sajak kabar dari laut, kepada kawan, Pujangga Baru—Romantik Barat, Worsworth angkatan 1880 di Belanda (Dami N Toda), pengaruh Marsman dan Slauerhoff hingga alat-alat perbandingan dan ungkapan yang diselundupkannya yang diduga dengan sadar untuk menyatakan apa yang hidup dalam dirinya( HB. Jassin), namun mistik Modernisme Seni Eropa membuat Chairil tak goyah. Sebaliknya, justru Chairil tampak lebih mahir meraut tajam pena mistiknya sebagaimana dirumuskan sifatnya oleh penyair-mistikus Muhammad Iqbal.27) Bahwa mistik sebagai pengalaman langsung Tuhan persis seperti kita mengenal objek lain; mistik tak dapat diuraikan—suasana mistik dan kesadaran rasional adalah kenyataan yang sama yang dihadapkan pada kita; suasana mistik sangat objektif. Penggabungan yang rapat sekali dengan ego lain. Suasana mistik lebih bersifat perasaan daripada pikiran-pikiran; Hubungan mistik yang rapat sekali dengan alam azali—tetap berhubungan dengan pengalaman biasa.
Sebagaimana Modernisme Seni Eropa pada cita-cita kondisi musik, mistik juga kondisi. Dzawq—kondisi yang menyelimuti para sufi sonder akal—hanyalah perilaku dan kondisi. Yakni dalam beberapa kalimat Adonis28); penyingkapan langsung yang terjadi melalui kondisi yang menyelimuti seorang sufi sehingga sifat-sifatnya mengalami perubahan dan menggerakkannya ke dalam gerak yang menjadikannya melampaui syariat menuju hakikat mengarah pada penyingkapan Allah, subtansi alam dan mengalami fana denganNya. Berikutnya; merupakan sinar-sinar yang menerangi hati, yang secara tiba-tiba berkilau, yang mana sang sufi sendiri tak mengetahui sumber ataupun sebabnya. Ia pun tak mampu mengekspresikannya dengan bahasa sebab sinar itu berasal dari tahapan yang mengatasi bahasa sekaligus akal. Perjalanan itu berakhir dengan peleburan bersama Allah.
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di hutan”
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barangkali ini diam kaku saja
Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada.
Dan sekali akan menghadap cahaya.
……………………………..
Ya Allah! Badanku terbakar — segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.
–Februari 1943
Tentang kondisi perasaan yang tidak bisa diekspresikan dengan bahasa, tentu saja bahasa yang dimaksud adalah bahasa biasa, bukan puisi. Perihal perasaan, Chairil Anwar wajar bila tak bisa membersihkan diri dari kondisi musik, sekalipun berbicara tentang; membuat (menafsirkan, membaca) teks puisi dan menikmati, melihat lukisan. Simak pernyataannya dalam salah satu tulisan Membuat Sadjak, Melihat Lukisan; Djadi jang penting ialah; si seniman dengan tjaranya menjatakan harus memastikan tentang tenaga perasaan-perasaannya. Perkakas perkakas jang bisa dipakai oleh si penjair untuk menjatakan, adalah bahan bahan bahasa jang dipakainja dengan tjara intuitif. 29) Chairil menyebut bahasa puisi sebagai bentuk kalimat yang menyimpang dari biasa, juga irama dan lagu dari kata-kata. Terkait hal itu, menyoal bahasa dalam penegasan Adonis, hakikat pengalaman sufi dapat dikenali, dirasakan, dan dikomunikasikan. Tulisnya, melepaskan efektivitas hati mengharuskan pengalaman sufi menggunakan cara baru dalam mengekspresikannya. Dari sinilah bahasa kedua, dalam bahasa pertama harus diciptakan, yaitu bahasa simbol dan isyarat.30
Bandingkan ide nihilisme Nietzsche tentang “manusia luhur”—tuhan telah mati, dan Al Halladj (244-309 H(?)) dalam konteksnya sebagai mistik kesadaran, dimana filsafat menjadi penjembatan. Mistik kesadaran dalam bahasa kaum sufi, mencoba memahami arti penyatuan pengalaman batin—yang disebutkan Qur’an sebagai salah satu dari tiga sumber pengetahuan—dengan sejarah dan alam sebagi kedua sumber lainnya. Kita tahu, pengembangan pengalaman ini puncaknya dalam kata-kata Al Halladj “Akulah kebenaran kreatif” (Ana al-Haqq). Kita tahu pula, inilah yang kemudian banyak ditafsirkan sebagai pantheistik,(ajaran yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta). Akan tetapi orientalis Perancis Louis Masignon (1883-1962) membantahnya, Tuhan adalah transenden. Inilah yang kemudian menjadi dasar yang mengukuhkan argumentasi Iqbal31); bahwa menafsirkan kehidupan ini sebagai suatu ego, bukanlah bermaksud menggambarkan Tuhan dalam bentuk manusia. Bahwa, hasil tinjauan tentang hidup yang dilakukan oleh intelek (rasional) karena itu dengan sendirinya bersifat pentheistik. Bahwa filsafat adalah suatu peninjauan tentang benda-benda dengan menggunakan intelek (pikiran). Lebih dari itu, kodrat realitas sesungguhnya adalah rohaniah, dan harus digambarkan sebagai suatu ego. Dan penyingkapan ini sebetulnya telah dimulai sejak Teori Relitivitas Einstein, mengatakan sebongkah materi (benda atau kilasan pikiran) tidak lagi merupakan sebuah benda yang tetap dengan keadaan-keadaan yang bermacam-macam, tetapi merupakan suatu sistem peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan.32)
Maka cukup terang sudah, bagaimana mistik kesadaran mendasari kerja-kerja intelektual, sebagaimana pikiran, intelek, filsafat, juga teologi meneguhkan kesadaran dalam hal ini kesadaran mistik dalam proses-proses menafsirkan kehidupan sebagaimana puncak-puncaknya secara radikal dicapai Nietzsche, Al Halladj atau Einstein. Bahwa realitas sesungguhnya adalah rohaniah, sama persis dengan pendapat bahwa pengalaman sufi beranjak dari pernyataan bahwa “ada” “wujud” yang sebenarnya adalah yang batin. Maka demikianlah sebagaimana dikonsepkan Adonis, karya Realisme Sufisme: Ia bermula dari realitas; dan menunjuk—ketika mengkritik hal-hal yang inderawi atau yang diketahui–pada hal hal yang noninderawi atau tidak dikenali.
Kita kembali tengok dasar-dasar intelek kerja kepenyairan Chairil Anwar, sebagaimana materi Pidato Radio 194633)—tahun termasuk paling subur produksi puisi Chairil Anwar. Katanya; Sebuah sadjak jang menjadi adalah suatu dunia. Dunia jang dijadikan, ditjiptakan kembali oleh si penjair. Ditjiptakan kembali, dibentukannja dari benda (materie) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnja, dia djuga mendapat bahan dan hasil-hasil kesenian lain jang berarti bagi dia, berhubungan djiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat pendapat orang lain, segala jang masuk dalam bajangan (veer beelding) anasir-anasir atau unsur-unsur jang sudah ada dijadikannja, dihubungkannja satu sama lain, dikawinkannja mendjadi suatu kesatuan jang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunjaan penjair itu sendiri.
Pendek kata; pikiran, intelek, filsafat, teologi, kredo, konsepsi penyair tak lain adalah pengalaman batin, mistik kesadaran, rohani-sufi, yang dalam kata-kata Chairil Anwar selanjutnya; …semua tjabang-tjabang dan ranting ranting dari bahan pokok yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami, didjalani, (dalam djiwa, tjita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh penjair, menjadi sebagian dari dia, suka dan dukanya sendiri, kepunjaannja, kepunjaan rohaninja sendiri.
***
DALAM konteks yang demikian, meski Chairil disebut-sebut memiliki tradisi H Marsman, Slauerhoff, hingga Romantik-Pujangga Baru, gaya ekspresi universal nasionalis, kebudayaan kota, boleh jadi pembicaraan hal demikian kurang menjadi sesuatu daya pikat istimewa. Saya justru tertarik pada awal pembicaraan Keith Foulcher yang mencermati sajak Chairil Anwar (dan Angkatan 45) sebagai puisi simbolik budaya Indonesia, dengan kecenderungan seni modernis dan kesusastraaan Eropa masa perang dalam budaya Indonesia. Lalu Foulcher menggarisbawahi “Internasionalisme” Chairil bangkit dari identifikasi estetik modernis Eropa. Perhatian saya tersedot bahwa tampaknya ini, pemantik yang menarik, meski kemudian Foulcher lebih fokus membincang dari sisi politik keseniannya.34) Catatan saya atas politik kesenian Chairil Anwar yang memilih berada di tepian lingkaran Sjahrir dan membentuk lingkarannya sendiri, memperlihatkan kepekaan intelek dan kelantipan estetik Chairil Anwar. Ia tak berpikir jangka pendek dalam pengertian politik. Sebaliknya, ia meneguhkan visi masa depan kesenian dan kebudayaan dalam pengertian otentik-mistik.
Otentisitas Chairil ketika tidak menunggu, melainkan mengantisipasi, maka momen eksistensial mendahului. Chairil secara radikal menyingkap keseharian, karena akar-akar mistis, dan “ke-krasan-an” dijumpai dalam penyingkapan Ada itu; taklid dalam kecemasan, dalam kebulatan tekad, momen visi dan dalam pemahaman keterlemparan serta arah rancangan Ada kita. Sitor Situmorang, meski tak menggunakan istilah otentisitas, tampaknya ia tepat menggambarkan secara mendalam ikhwal otentik-mistik, dengan deret kata; seluruh hidupnya adalah suatu konfrontasi seniman hidup, kesadaran seniman-masalah hidup. Seni Chairil adalah suatu hidup baru yang tidak meminjam nyawanya dari yang lama melainkan hidup dengan nyawa sendiri.35) Dengan kata lain, Chairil demikian peka dalam visi menyingkap, tajali—menilik dunia dengan pandangan pandangan imajinasi atau mata ketiga. Pengalaman demikian dalam bahasa sufi menjadi dasar yang pertama, yakni transendensi atas sejarah yang tertulis, dan berorientasi pada masa depan.36)
Sebagai penyair, selaku pemikir, menjadi orang yang kreatif: Chairil seorang pencipta “dalam dirinya citra imajinatif atau ideal dan menampilkannya ke dalam eksistensi-eksistensi. Chairil lebih memilih “cita-cita kondisi musik” puisi ketimbang “riil politik” revolusi. Pada titik inilah, visi Modernisme Seni, mistik-otentik, realisme sufisme sajak-sajak Chairil Anwar di kemudian hari ditafsirkan secara tertutup oleh dua kutub sebagaimana diamini banyak kalangan sastrawan maupun ahli sastra: eksistensialisme atau ideologi individualisme dan nasionalis/patriotisme di tengah kancah revolusi Indonesia. Konsepsi tentang seni Chairil dalam karangannya Hoppla;“Nyalakan api murni, api persaudaraan bangsa-bangsa yang tidak akan kunjung padam” serta “Kemerdekaan dan pertanggungan jawab adalah harga manusia, harga penghidupan ini,” yang dalam bahasa Sitor Situmorang human dignity–kesadaran persatuan, meletakkan titik berat pada tanggungjawab orang perorang di kemudian hari menjadi paham dasar manifesto (politik) kebudayaan sebagaimana kita kenal sekarang Humanisme Universal. Saya tak sedang membahas ikhwal ini, namun perlu tunjukkan bahwa dalam kaca mata mistik Heidegger, humanisme universal, (dan juga realisme sosialis) subjek, rasio, dan emansipasi adalah ide-ide yang tumbuh dalam konteks besorgen das man, yang tidak hanya merintangi kontak dengan Ada tetapi juga ditandai dengan kelupaan akan Ada.37) Metafisika subjek- objeklah fundamen humanisme yang memahami manusia sebagai makhluk yang menentukan Ada. Sementara Metafisika Kesadaran dalam/sebagai sesuatu: kita tidak sekadar menyadari sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Kesadaran adalah suatu peristiwa Ada, atau salah satu cara Ada membuka dirinya bagi kita, maka kesadaran diraih lebih dengan membuka diri dan berkontak dengan Ada daripada dengan menguasai sesuatu yang lain sebagai objek.38)
Barangkali redaksi konsepsi Chairil tersebut tidak benar-benar baru, karena sebelumnya sudah muncul dalam polemik sastrawan Edgar Du Peron(1899-1940 M)—individualisme dan tanggungjawab individual versus Sutan Sjahrir (1909-1966 M)—literatur sosialis-realis dan literatur Eropa modern. Akan tetapi hal ini memperlihatkan betapa saklek ikhtiar Chairil Anwar menempuh jalan pinggir. Meski redaksi “Api persaudaraan bangsa-bangsa di dunia” mencerminkan internasionalisme sosial demokrat Sjahrir. Internasionalisme Chairil bangkit dari identifikasi estetik modernis Eropa. Chairil menampik cultural nasionalis politik Sjahrir, dan Du Peron bagaikan ahli nujum ketika menegaskan dalam polemiknya; Yang dibutuhkan sastra Indonesia adalah bahasa Indonesia yang kaya akan daya ekspresi.39) Chairil membuktikan ramalan Du Peron, dan kemudian menjadi penyair besar.40) Sementara, kita tahu, bagaimana tradisi syair Amir Hamzah bersumber dari puisi-puisi sufi Hamzah Fansuri.41)
Ketakjuban Chairil Anwar yang kemudian menjadi tradisi kepenyairannya, yang menjadi daya pikat krusial dalam pembicaraan ini adalah apa yang disebut Nirwan Dewanto meradikalkan bentuk syair modern Amir Hamzah. Radikal dalam pengertian penerus tradisi, dan bukan merusaknya. Sajak Senja di Pelabuhan Kecil, misalnya, turunan terpiuh dari sajak Berdiri Aku, Amir Hamzah.42) Dapat dikatakan diantara pencapaian puncaknya ada pada sajak; Derai Derai Cemara (sajak ini aslinya tak berjudul). Sajak Yang Terampas dan Yang Putus, Chairil lebih bebas, liar, badung, dan leluasa memadatkan kata, bait, larik, dengan ikatan kemungkinan rima, pengulangan bunyi. Kesannya tak pedulikan kelengkapan sesuatu nahu kalimat atau frase. Dibiarkannya menggantung, tanggung, entah siapa yang sudi menyambung. Chairil lebih punya perhatian besar pada semacam partitur, celah bisu-sunyi antar-frase, antarkalimat, atau antar-larik. Partitur musik, juga termasuk di dalamnya bisu-sunyi inilah yang menempatkan sebagai sajak modern Chairil Anwar bisa saling memancing secara ekstrem dengan sajak-sajak musikal Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak. Sebagai sebentuk gaya, barangkali antar keduanya sekadar berbeda genre. Bisa saja sajak Sutardji adalah musik pengantar trance pada suatu upacara, pada sajak Chairil adalah glossolalia lirik rapp yang diiringi musik klasik dan tak musti dituntut mengerti artinya. Saya tak hendak memasuki pembicaraan ikhwal religiusitas, semata-mata demi menghindari bahasa yang sudah telanjur menjadi semacam konsensus melintasi simbol-simbol agama, seperti halnya tasawuf, sufisme itu sendiri. Saya kira, saya ingin sebagaimana Chairil membebaskan dari itu meskipun pembaruan-pembaruan yang dilakukan Hamzah Fansuri juga Amir Hamzah didorong secara kuat akar bahasa berdasarkan agama. Saya kira pula simtom pengunduran diri dari berbagai konsensus, tak hanya dalam sosial, mental (sebagaimana pada karya sastrawan modernis awal Eropa: Andre Gide, TS Eliot, Kafka, James Joyce), tetapi juga dalam bahasa.
Tampaknya, pembaruan Amir Hamzah atas syair yang juga sajak-sajak sufi Hamzah Fansuri itu, dalam hal bahasa, sebagaimana pembaruan Chairil atas sajak-sajak Amir Hamzah bisa disimak pada dua poin penting uraian Chairil sendiri; Bahwa Amir dalam “Njanji Sunji” dengan murninja menerakan sadjak-sadjak jang selain oleh “kemerdekaan penjair” memberi gaja baru pada bahan Indonesia, kalimat-kalimat jang padat dalam seruannja, tadjam dalam kependekannja. Sehingga susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destructive terhadap lama tetapi suatu sinar tjemerlang untuk gerakan bahasa baru! Puisi Amir dalam “Njanyi Sunji” ialah jang dinamakan “puisi gelap” (duistere poezie). Maksudnja; kita tidak akan bisa mengerti Amir Hamzah djika kita membatja “Njanyi Sunji” sonder pengetahuan tentang sedjarah dan agama karena kalimat kalimat Amir di sini mengenai misal-misal serta perbandingan perbandingan dari sedjarah dan agama (ke-Islaman).43)
Dua poin penting ikhwal ‘gaya baru bahasa Indonesia’ dan ‘puisi gelap’ sekiranya membuat saya cukup bisa menempatkan diri saat melakukan pembacaan, misalnya pada sajak Chairil “Lagu Siul II” menggunakan tamsil ‘Laron yang mati terbakar dalam nyala api lilin’.44) Sebagaimana diceritakan Abdul Hadi W.M., tamsil tersebut diungkapkan Annemarie Schimmel berasal dari ‘Laron yang membakar diri dalam nyala lilin.’ Sumber tamsil tersebut dari Kitab al-Thawasin karangan Mansur al-Hallaj. Kitab ini berisi ucapan-ucapan shatiyyat, yaitu paradoks-paradoks yang disajikan dengan ungkapan puitik untuk menjelaskan posisi seorang ahli makrifat yang telah fana dan ucapan yang keluar dari dirinya seoalah gema dari alam ketuhanan, baqa. Tamsil tersebut menggambarkan ahli makrifat yang fana memperoleh kehidupan yang baru, baqa, hidup kekal dalam cinta dan kepatuhan kepada Yang Abadi. Hadi menduga Chairil mencomot tamsil tersebut dari persebaran karya penyair Eropa awalnya digunakan Johann Wolfgang von Goethe.
I
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal dicerlang caya matamu
Heran ! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.
II (tak sepadan)?
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa,
Aku terpanggang tinggal rangka
Namun Hadi seorang penyair sufi yang bestari, tak mengapresiasi adagium sajak dalam sajak Chairil sebagai cinta mistikal, hanya karena sekadar cinta dua insan berlawanan jenis. Berbeda pembacaannya atas sajak Padamu Jua Amir Hamzah, meski dengan hujah yang sama, Hadi meneguhkan pada Amir Hamzah terasa sekali napas sufistiknya.
Pendek kata, pada sajak Chairil, dalam memahami, menafsirkan, memaknai pada sebagian besar sajak-sajak cinta (dan kematian) apakah itu mistikal, sufistik ataukah tidak hal itu terkait dengan kepekaan dalam menerapkan alat-alat metode hermeneutik dalam cara kerja pembacaannya—sejak rekonstruksi, horizon makna ataukah dekonstruksi atasnya. “Penafsiran dan pemahaman adalah satu dan sama,” kata Heidegger, dalam pengertian Memahami adalah cara berada Dasein di mana ia adalah kemungkinan-kemungkinan sebagai kemungkinan-kemungkinan.45)
***
SAYA teringat pada sebuah riwayat, perihal bagaimana penyair Arab Abu al-Atahiyah (748-828 M) merawat prinsip musik menjadi daya hidup pengungkapan puisi-puisinya. Angka tahun di awal abad-abad 3 Hijriyah, terang jauh jarak dan waktu dari hantu modernisme seni. Sang penyair menggalinya dari peristiwa sebuah upacara. Bermula dari mendengar suara alat penumbuk, prinsip musikalitas ini diambil, dari ketukan, nada, musik kehidupan berikut masalah kehidupan sehari-hari. Ketukan nada yang mengikuti pola-pola tertentu, juga kombinasi-kombinasi bunyi, ketukan-ketukan kreativitas baru yang menjadi semacam kaidah puisi. Saya menduga, barangkali ini mirip pencapaian baru musikalitas penyair Amir Hamzah atas syair-syair Hamzah Fansuri.
Dalam kesinambungan sejarahnya lantas pola-pola musikal Abu al-Atahiyah diradikalkan oleh dua penyair mutakhir pada zamannya: Abu Nuwas (139 H-195/199 H) dan Abu Tamam (meninggal awal abad 3 Hijriyah). Saya pikir, sekaligus merawat benih pertanyaan dalam diri; apakah hal serupa ini yang dilakukan Chairil Anwar, ketika merevolusi bentuk syair dari Amir Hamzah, ke dalam apa yang di kemudian tersebut puisi bertabiat ganda; puisi hati dan puisi pikiran? Mari kita periksa. Sejumlah pembaruan yang radikal itu sebagaimana disebut Adonis46); pertama, bahwa kreator tidak muncul dari rangkaian ide, simbol dan format yang sudah ada sebelumnya, tetapi muncul dari seorang kreator yang menemukan kreasinya tampak seolah olah ia membangunnya untuk pertama kali; kedua,konsep waktu: ia merupakan keyakinan bahwa manusia mampu mengubah dirinya dan juga alam, maupun membuatnya sejarah; ketiga, posisi puitik yang tepat adalah posisi yang menegaskan sebaliknya: puisi baru adalah puisi yang bertentangan dengan realitas, mematahkan semua aksi aksi realistis.
Kesinambungan sejarah puisi sebagai proses pencarian yang terus menerus melampaui bakat seorang penyair atau wahyu spontanitas atas nama sejenis mood, inspirasi, atau momen puitik, yang dalam takrif Chairil Anwar; Tidak tiap jang menggetarkan kalbu, wahju jang sebenarnya. Itulah sebenar-benarnya kreativitas yang inhern didalamnya pembaruan—modernitas. Adapun landasan sikap pembaruan dan kreativitas berpuisi, mengutip temuan ilmuwan modernis Adonis: puisi tidak lagi meniru model tradisional dan juga tidak lagi meniru ”realitas”. Ia berubah menjadi kreasi yang memungkinkan pertama-tama hanya dengan menjauhi peniruan dan “realitas” sekaligus. Ia merupakan penciptaan yang dipraktikka penyair terkait dengan penciptaan jarak antara dia dengan tradisi di satu sisi dan di antara dia dengan “realitas” di sisi yang lain.47)
Kreativitas Abu Nuwas ditempuh dengan menolak setiap tradisi lama, bahkan termasuk di dalamnya terhadap tradisi agama. Tapi ia memandang dan mendiami dunia sebagaimana adanya. Kehidupan dan puisi baginya, saya bayangkan serupa otentisisas Heidegger—diterimanya dalam suasana hati penyair yang mewaktu. Dalam ‘takdir’ faktisitas—keterlemparan, di dalam dunia ia mendunia tanpa tahu darimana dan mau kemana. Tersebab itu, Abu Nuwas melampauinya dengan begitu rupa banyak kemungkinan. Puisi-puisinya bisa menjadi representasi sufisme yang pemberontak, menjadi subjek manusia unggul yang membunuh Tuhan—sebagaimana tergambar dalam diri Nietzsche, ia juga bisa penggila kebebasan sekaligus pendosa tanpa hukuman oleh karena kegilaannya.
Pikiran tentang metafisika-subjek-kehadiran bisa dilihat bagaimana pada Abu Nuwas selain mengemuka visi kebaruannya bagi sejarah–mengubah kehidupan, sekaligus memiliki misi mengubah manusia. Ia masuk dan menyingkap potensi-potensi yang tertekan dalam diri manusia atas semua hal yang berakar pada metafisika kuno dualisme antara subjek dan alam, dalam berbagai situasi yang mengancam kebebasan kemanusiaan. Maka sikap kepenyairannya, dalam konteks ini sangat genah: tidak semata-mata menolak tradisi puisi lama, tetapi juga menolak tradisi agama. Saya membayangkan, penyair yang hidup di abad 3 Hijriyah ini menjalani ‘momen eksistensial’ (mendahului) sebagaimana dilakoni Nietzsche—seorang generasi mutakhir momen pembunuhan Tuhan.
Pertanyaannya, dimana kemudian di masa depan Chairil Anwar hadir, sebagaimana Abu Nuwas, juga Nietzsche menyaksikan kematian Tuhan? Ketika Abu Nuwas menolak dan melanggar konsep-konsep Ketuhanan dalam pelbagai kitab, termasuk yang paling khalis; Al-Quran, ia sedang melakukan pemberontakan—tepatnya dekonstruksi, nilai-nilai moral, konsep-konsep yang ada dan beku. Saya sebetulnya, pada ruang waktu yang berbeda, mufakat sebagaimana HB. Jassin menakik dalam catatan atas subversifnya kepengarangan Idrus melalui prosa Corat-Coret dan tentu saja Surabaya serta Chairil Anwar dalam merevolusi dan meradikalkan sastra baik isi maupun bentuk. Radikalnya Chairil selain pandangan hidupnya diamalkan dalam hidup, juga dalam sajak-sajaknya dan dalam beberapa prosanya. 48)
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh.
–1949
Esai ini sekaligus meneguhkan konsep waktu dalam estetika puisi-puisi pembaruan, selaku ‘takdir’—yang kerap disalahkaprahi sebagai yang alami-nasib yang kejam-kepasrahan. Melainkan waktu yang satu kesatuan organik—yang silam, kini dan kemungkinan masa depan—yang hadir bersama. Pendeknya takdir sebagai kehendak manusia: keyakinan bahwa manusia mampu mengubah dirinya dan juga alam, maupun membuatnya sejarah. Dalam kata-kata terkenal Abu Nuwas, “Agamaku untuk diriku sendiri dan agama masyarakat untuk masyarakat sendiri,” memperlihatkan kehendak penyair akan takdir dan waktu. Persisnya kehendak untuk melakukan penyelewengan terhadap syariat dan terhadap Allah demi menjadikan manusia sejajar dengan Allah. Sejajar dalam pengertian kuasa bebas dan kehendak yang ada padanya adalah sumber dari segala sumber syariat pula baginya. Penyair; seperti kata-kata Chairil Anwar, bahwa Kata tidak membudak pada dua madjikan, bahwa kata adalah These itu sendiri!! Persis dekonstruksi Nietzsche terhadap moralitas budak dalam agama Kristen, semisal dalam ketololan pengakuan dosa, tersebab agama itu tak lain bertujuan menjinakkan hati manusia. Dosa bagi Abu Nuwas adalah jalan kesucian, sebagaimana dia menempuh jalan agama secara gila-gilaan: menyingkap setiap yang disembunyikan warisan, tradisi, agama, mitos dan sejenisnya. Kebebasan baginya adalah membongkar asrar dan memproklamasikan keterusterangan.
Revolusi radikal dari pandangan dunia sehari-hari yang apa adanya sejak pola musikal Abu al-Atahiyah, kemudian Abu Nuwas berlanjut dilakukan Abu Tamam. Kebaruan dimensi kreativitasnya terletak pada penciptaan segi artistik—metafor, simbol, lompatan lebih jauh lagi dari pencapaian Abu Nuwas tentang penciptaan dunia yang betul-betul baru sama sekali. Saya pikir, pencapaian Abu Tamam perlu dibeberkan di sini, terkait perihal kemungkinan-kemungkinan “kegilaan” utamanya atas sajak-sajak Chairil Anwar yang konon ada yang muskil dimengerti, dimaknai, dipahami. Boleh jadi ini semacam metabahasa dari “puisi gelap” sebagaimana saya duga istilah ini kali pertama dijabarkan Chairil Anwar sendiri. Sekaligus mencari kemungkinan-kemungkinan pembacaan estetika secara bersama dalam pencapaian di waktu lalu, kini, dan yang akan datang.
Pada revolusi radikal bahasa puitik Abu Tamam, memang tak ditemukan kegilaan-kegilaan sufistik, tapi jelas seperti halnya Abu Nuwas bermula dari memandang dunia sekitarnya apa adanya—realitas. Pembaruan estetik dalam puisi-puisi Abu Tamam ini, saya ringkas dan kita bisa merefleksikan dalam pencapaian tradisi kepenyairan Chairil Anwar dan sesudahnya; menggunakan kata-kata dengan cara memungkinkan kata kta itu menyiratkan lebih dari satu makna—kosongkan dari makna biasa; ia mengubah sistem yang umum dan biasa dalam menyusun kata-kata; membuang namun tidak menunjukkan yang dibuang; menciptakan makna yang jauh, bentuk tidak umum, kontek yang aneh.49)
Catatan saya, meski pada Abu Tamam tak ditemukan “kegilaan” yang sifatnya rohaniah sebagaimana spirit realisme sufisme, ia mengusung kreasi penciptaan puisinya dalam spirit alam daya cipta seksual—“pertemuan penyair dengan kata bagaikan pertemuan dua pasang sejoli yang sedang bercinta.” Pendek kata, tidak meniru, tidak mengambil ilustrasi sesuatu pun dari alam, melainkan benar-benar mencipta dunia baru bangun kata-kata secara metaforis, mengatasi realitas. Maka cukup terang tampaknya, bahwa penyimpangan, perusakan, penyelewengan, bahasa ungkap dari realitas alamiah menjadi bentuk bahasa estetis yang imajis, metaforis, jalang, tergambar sehingga tercipta dunia yang (bahkan) tak dikenali, gelap, tidak diketahui adalah pencapaian paling mutakhir, modern pada masanya, kontemporer pada zamannya. Dengan kata lain, menulis, membaca, mengerti, memahami, menafsirkan puisi tak lain adalah pelampauan dari kata-kata lahiriah, menuju puitika metafora, katakanlah tafsir batiniah, rohaniah. Maka kemudian, cukup bisa dimaklumi apabila ‘puisi gelap’ mengalami peyorasi ‘dunia yang tidak kita tahu,’ ketika misi puisi disebut-sebut sebagai; membingungkan, rumit, tidak jelas, dan aneh. Juga saat puisi harus berontak pada realitas, memporandakan segala ilusi realitas.
***
DALAM pembicaraan ini, saya menempatkan tafsir kematian (dan juga cinta) dalam sajak-sajak Chairil sebagaimana konsep Heidegger tidak bersifat diskursif, melainkan pra-reflektif: bukan memahami simbol-simbol yang diacu di sini, melainkan memahami keterlemparan eksistensial kita di dalam dunia. “Istilah keterlemparan mengacu pada faktisitas penyerahan diri.” Dalam arti, “Tak seorangpun dapat menjemput kematiaannya untuk orang lain.”50) Dalam sajak-sajak kematiannya, Chairil sadar betul betapa kematian adalah momen paling otentik dan eksistensial bagi Dasein—metafisika Heidegger untuk berada-di-dalam-dunia (nama baru untuk manusia). Mistik otentik berpikir Chairil, sebuah sajak selain sebagai musik-otentik juga suatu hasil pikir mistik, bahwa berpikir lebih daripada roh atau otak. Berpikir adalah kerja hati karena dalam pengertian mistik hati adalah pusat, sumber, pusar bagi setiap tindakan merekam yang mengilhami pemikiran sejati. Pada titik ini, kepaduan-kesatuan bahasa dan musik adalah ketika Ada itu sendiri yang menyingkapkan diri kepada manusia melalui bahasa. Penegasan Heidegger, “Bahasa adalah rumah Ada” dan manusia bermukim di dalam bahasa.51) Penyair, sebagai seorang yang menjaga; menemui, menemukan, dan menciptakan bahasa terhubung dengan apa yang yang disebut Heidegger “kecemasan memang merupakan suasana hati dasariah yang menyingkap ketakberumahan dan ketakberkampunghalamanan.”52)
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
–27 Mei 1943
Dengan kata lain, bahasa bagi penyair-seniman sebagaimana musik, bangunan rumah tempat pulang suasana hati, sejenis pemukiman yang orang lain tak bisa memaknainya dengan sempurna, meski tak berarti sebagai sesuatu yang tak penting bagi pemaknaan. Itulah sebabnya, Heidegger, yang bukan penyair, pada saat bahasa metafisika (kehadiran) Barat tidak mampu menangkap Ada, Heidegger pun menjajal mengembangkan bahasa sendiri dengan membaca puisi-puisi Holderlin. Di sini pemakaian bahasa semi sakral menandai pencapaian puncak Heidegger. Jika penafsiran dan pemahaman adalah satu dan sama, pemaknaan, juga pengertian inhern, maka puisi bagi penyair dan pembaca–tepatnya cara kerja menganggit dan membaca puisi, serupa; Menghayati suasana hati tertentu, gerak hati tertentu. Lenyap dan leburnya kesadaran subjek-objek ke dalam gerak hati, memerlukan strategi mendekati kesadaran baru itu. Yakni, membuka diri terhadap Ada dan mencandra realitas sedalam-dalamnya sebagai suatu peristiwa pewahyuan diri Ada.53) Lagi-lagi poin pentingnya; “Dalam memahami terletak secara eksistensial cara berada Dasein sebagai kemungkinan-kemungkinan.”
Kalau, ‘ku habis-habis kata, tidak lagi
berani memasuki rumah sendiri,.terdiri
di ambang penuh kupak,
adalah karena kesementaraan segala
yang mencap tiap benda, lagi pula terasa
mati kan datang merusak.
Dan tangan kan kaku, menulis berhenti,
kecemasan derita, kecemasan mimpi ;
berilah aku tempat di menara tinggi,
di mana kau sendiri meninggi
atas keramaian dunia dan cedera,
lagak lahir dan kelancungan cipta,
kau memaling dan memuja
dan gelap-tertutup jadi terbuka !
–1946
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja”.
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh !
Perahu yang bersama ‘kan merapuh !
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Terhadap sajak-sajak cinta Chairil pun, terbit pertanyaan bagi saya; teks masih kerap didekati secara humanis—subjek terhadap objek. Tidak pernah ditemukan pembacaan sebagaimana temuan; Jibran berusaha memaksakan wahyunya sendiri yang unik terhadap berbagai peristiwa dan segala sesuatu. Meski cinta dalam sajak-sajak Chairil pun bisa dibaca sebagai kondisi gila. Kondisi gila—suatu kondisi yang menyingkap berubahnya hubungan manusia dan alam, utamanya terhadap Tuhan. Bahwa; Pertama, manusia bukan lagi hamba; Kedua, bukan lagi hubungan makhluk dan penciptanya; Ketiga, bukan bapak dan anak; Empat, Allah dan manusia adalah satu eksistensi dua perwujudan.54)
Kita bisa tengok bagaimana Pujangga Baru, menyatakan diri hubungannya dengan alam sebagaimana dinyatakan Arminj Pane; Poedjangga bergantoeng pada keadaan alam. Alam itoe rahasia kepada kita. ‘Alam ialah laoetan seloeboeng jang terboeka sedikit-sedikit tetapi akan memperlihatkan lapisan seloeboeng lain, dari pertanjaan ke pertanjaan lain. Manoesia hanya dapat melajapi alam menepatinya tiada…. Kami poedjangga baroe anak timoer jang lebih berperasaan samedi, lebih berperasaan berhoeboengan dengan rahasia alam, akan lebih alam daripada poedjangga negeri lain. 55)
Selain pencapaian Amir Hamzah, buah pencapaian Pujangga Baru sebagaimana ditorehkan dalam tulisan Armijn Pane di atas dapat dikatakan memukau terkait bagaimana masifnya hubungan seniman, alam dan Tuhan. Boleh dikata patut menjadi landas pacu gagasan yang bukan mustahil melambungkan pencapaian lebih bagi gerakan kesusastraan pada zamannya maupun sesudahnya. Lihat bagaimana Armijn memantik visi suatu kondisi dengan laoetan seloeboeng, berperasaan samedi, berhoeboengan dengan rahasia alam. Sederhananya visi suatu kondisi itu sebut saja cinta. Sebagaimana gila, cinta pun kondisi. Sebagaimana dipahami kaum sufi, cinta adalah ketiadaan dari diri atau aku dan kebersamaan dengan engkau atau Allah. “Hakikat cinta adalah apabila kamu memberikan seluruh dirimu kepada orang yang kamu cintai sehingga tidak tersisa apapun dari kamu untuk kepentinganmu,” demikian Adonis mengutip para guru sufi Abu Abdillah al-Qurasyi (150-205 H) dan asy-Syibli (….-334 H). “Dikatakan cinta karena ia melenyapkan dari hati semua hal selain yang tercinta.” Cinta merupakan kondisi—dalam arti ia dapat hadir dan menghilang—maka ada dialektika yang dialami oleh sang sufi, yaitu dialektika kehadiran dan kelenyapan, keterkaitan dan keterputusan, perjumpaan dan perpisahan. Manusia tidak akan menemui dirinya selain dengan mengasingkan jiwanya. Dengan cara mengasingkan diri ini maka yang tersisa dalam jiwanya hanyalah cahaya ilahi. Dengan demikian, dalam terpaan cahaya yang menyelimuti dirinya memancarlah cahaya illahi yang tak lain adalah makrifat. Cahaya ilahi itu sendiri adalah cinta.56)
Sang Pecinta, Jibran juga telah membunuh Tuhan dengan caranya sendiri, yakni ketika ia mematikan pandangan agama tradisional mengenai Tuhan dan tatakala menyerukan untuk mengkreasi nilai-nilai yang melampaui malaikat dan setan atau baik dan buruk.57) Saya kira sebagaimana memasuki puisi Jibran, sebagai sesama pemberontak, dalam hal memasuki sajak Chairil pun, dalam menangkap hakikat tidak bertumpu pada akal atau wahyu sebab hakikat tidak terdapat dalam aspek lahir teks, tetapi harus melalui interpretasi terhadap teks dengan cara mengembalikan pada sumbernya dan dengan cara menyingkapkan makna hakikinya. Puisi adalah batin. Yang batin adalah asal sementara, yang lahir merupakan citranya. Pengalaman sufi beranjak dari pernyataan bahwa “ada” (wujud) adalah batin dan lahir, dan bahwa “wujud” yang sebenarnya adalah yang batin.58)
Meyakini penafsiran dan pemahaman sebagai yang satu dan sama, dan puisi, sajak, juga teks, bagi aktivitas membaca dan menulis adalah tempat persinggahan dalam suatu perjalanan, sekaligus sinar-sinar yang menerangi hati, yang secara tiba-tiba berkilau, yang mana sang sufi sendiri tak mengetahui sumber ataupun sebabnya. Ia pun tak mampu mengekspresikannya dengan bahasa sebab sinar itu berasal dari tahapan yang mengatasi bahasa sekaligus akal.59) Begitulah selepas singgah, perjalanan sufistik berkendara hati berlanjut hingga lebur bersama Allah. Hati adalah kurnia ilahi yang bagi sang sufi media menangkap Allah dan rahasia alam. Hati adalah pusat pengetahuan dan cinta sekaligus. Demikianlah perjalanan, pengalaman gerak antara hati melalui kerinduan, dan renjana cintanya, dengan Yang Mutlak. Keduanya satu dan sama; yang tak terhingga.[]
Ngimbang, 3 Juli 2022
Catatan:
[1] Kutipan ini saya nukil dari Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Jilid 4. LKiS, 2012, Hal. 205-206.
2 Chairil Anwar, Tiga Muka Satu Pokok dalam HB. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Satu Pembitjaraan, Disertai Kumpulan Hasil-Hasil Tulisannja, Gunung Agung, 1956, Hal. 120
3 Pidato Chairil Anwar 1943, dalam HB. Jassin, Ibid, Hal. 110
4 Dalam psikologi, urutan munculnya jawaban pada suatu pemeriksaan, punya arti yang sangat penting. Metode ini digunakan, karena keutuhan urutan munculnya sajak-sajak dijadikan faktor yang penting. Arief Budiman memeriksa berdasarkan; 1) sajak-sajak Chairil masa permulaan; 2) sajak-sajak menjelang akhir hidupnya; 3) persoalan filosofis, menceritakan pengalaman penulis bergaul dengan beberapa macam pemikiran. Lihat Arief Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Dunia Pustaka Jaya, `1976, Hal 9. Tentang nama-nama filsuf besar tersebut, dalam pembahasannya sudah muncul sejak Bab 1, Hal. 16 dan mendapat penekanan yang lebih mendalam di Bab 4 hingga bab-bab akhir.
5 Goenawan Mohamad, Puisi dan Anti Puisi, Tempo & PT Grafiti, 2011, Hal. 50
6 Kutipan dari Kartu Pos Chairil Anwar, tertanggal 10 Maret 1944 kepada HB Jassin. Sumber: Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942-1949, Gramedia, 1986, Hal 116
7Selengkapnya, Arif Bagus Prasetyo, Saksi Kata, 18 Esai Sastra, Diva Press, 2021, Hal 141-142
8Adonis, Op.Cit., Hal. 204-205.
9 Ibid, Hal. 199.
10 Lihat penjabaran Suka Hardjana di sini: https://seleb.tempo.co/read/232742/beethoven-di-antara-dua-logos
11 Lihat Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, 2020, Hal.647.
12 Lihat Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, Gang Kabel dan Indie Book Corner, 2016, Hal. 272-274.
13 Adonis Op.Cit., Hal 197
14 Martin Suryajaya Op.Cit., Hal 412.
15 Ibid, Hal 405-407
16 Ibid, Hal. 403
17 Ikhwal dua paradigm ini saya ambil dari Martin Suryajaya Ibid, Hal. 415-416. Juga simbol-simbol Nietzsche, Hal. 418. Penjelasan tentang simbol anak-anak sebagai Kehendak mengiyakan semua beban hidup secara aktif dengan mencipta nilai-nilai moral baru yang setiap saat dapat ditinggalkan dan dicari gantinya. Manusia Unggul (Ubermensch) yang tidak lagi terjebak pada pengiyaan pasif seperti budak maupun penolakan membuta, tetapi berani mencintai nasib (amor fati).
18 Arief Budiman, Op.Cit., Hal 16.
19 Adonis, Op.Cit., Hal. 177.
20 Bertrand Russel, Op.Cit., Hal 991-1003.
21 Arief Budiman, Op Cit, Hal 66.
22 Cerita teman kecil Chairil; Soeharto dalam buku Arief Budiman, Ibid., Hal.67-69
23 Albert Camus, Pemberontak, Esai tentang Manusa dalam Revolusi, Penerbit Yayasan Bentang Budaya, 2000, Hal. 468
24 Ibid, Hal. 133-138
25 HB. Jassin, Op.Cit., Hal. 119
26 Adonis, Op.Cit., Jilid 2. Hal. 169
27 Saya petik rumusan Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Tintamas Indonesia, 1982, Hal. 21-26
28 Adonis, Op.Cit., jilid 2, Hal.133-136.
29 HB. Jassin, Op. Cit, Hal. 129.
30 Adonis, Op.Cit., jilid 2, Hal. 138.
31Selengkapnya periksa, Muhammad Iqbal, Op. Cit, Hal. 69-70.
32 Ibid, Hal. 39
33HB Jassin, Op.Cit., Hal 123
34 Keith Foulcher, Angkatan 45, Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia, Jaringan Kerja Budaya, 1994. Review Foulcher di Hal.16-19: Chairil seorang penulis yang berada di tepian lingkaran Sjahrir. Chairil membentuk lingkarannya sendiri. Di satu sisi mereka intelektual dan penulis sebagai hasil perkembangan tertentu tradisi Sjahrir, di sisi lain memiliki karakter sendiri, membangun kembali “jaringan Belanda.” Mereka adalah Asrul Sani, Rivai Apin, M Balfas, Ida Nasution, Baharudin, HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid, Pramoedya Ananta Toer. Majalah Budaya Gema Suasana (Januari 1948) adalah saluran awalnya, diterbitkan percetakan Belanda, Opbouw. Jurnal ini didanai oleh kolaborator budaya dengan Belanda. Setelah 6 terbitan, situasi politik menyebabkan mereka berpindah ke Gelanggang, Selanjutnya jarigan Chairil menangani suplemen jurnal mingguan Siasat yang berorientasi Sjahrir. Kelompok Chairil juga punya hubungan dekat dengan aktivitas budaya seputar majalah budaya berbahasa Belanda, Orientasi.
35 Sitor Situmorang, dalam E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, Hal. 140-142.
36 Dua lainnya yang mendasari pengalaman sufi adalah: Pengalaman tersebut berdasar pada sikap melampuai aspek lahiriah yang terstrukur pada ajaran dan keyakinan. Karena pengalaman ini mengacu pada aspek batin alam dan memberikan perhatiannya pada makna yang tersembunyi. Berikutnya, pengalaman tersebut didasarkan pada sikap yang melampaui logika dan hukum-hukumnya. Lihat Adonis, Op. Cit, Jilid 2 Hal.131
37 Lihat F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, Kepustakaan Populer Gramedia, 2016, Hal 152.
38 Ibid, Hal. 33-36)
39 Keith Foulcher, Op.Cit., Hal. 8
40 Untuk keperluan tulisan ini perihal penyair besar, saya berpegang pada penyair besar menurut Al-Ashma’i yang hidup sekira Abad 2 H: 1) Memiliki kekuatan naluri, bukan yg terlatih baik-saleh-agamis; 2). Prinsip kebesarannya tak terkait dengan prinsip moralnya; 3). Bakat kepenyairannya dan segala atributnya oleh karena hanya mencurahkan diri demi puisi. Penyair yang menulis hanya di waktu senggang hanya pantas diberi sebutan lain; 4). Memiliki karya yg memadai dari sisi kuantitas–(dan kualitas); 5). Berpengetahuan luas. (Tidak saja ilmu puisi, bahasa, berita, makna, tapi juga geneologi, sejarah kemanusiaan, dll). Lihat Adonis, Op,Cit, Jilid 2, Hal. 49.
41 Syekh Hamzah Fansuri cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan, budayawan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke 16 sampai awal abad ke 17. Berasal dari Fansur, atau Barus, sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra antara Sibolga dan Singkel. (Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Penerbit Mizan, 1995, Hal. 9). Dalam buku lainnya, Hadi menyingkap, Hamzah Fansuri yang menulis 3 risalah tasawuf 32 kumpulan syair, sebagaimana diungkap A. Teeuw adalah perintis puisi Indonesia (Melayu). Diantara pembaruan yang dilakukan Hamzah Fansuri ialah penekanannya terhadap pentingnya individualitas dan kebebasan penyair untuk menyatakan gerak jiwanya, serta sikapnya yang sangat kreatif terhadap bahasa (Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas, Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, Penerbit Paramadina Jakarta, 2001, Hal. 4). Misteri Hamzah Fansuri, terpecahkan melalui syair-syairnya yang sebagaimana tradisi ghazal dari Persi menyertakan takhallus—identitas di belakang nama asalnya sebagai gelaran. Hamzah Fanzuri menggunakkanya sebagai pembaruan dalam tradisi sastra Melayu. Ia menutup masa anonym. Dia memperkenalkan isitilah ‘anak dagang’ dan ‘faqir’ sebagai sebutan penyair atau pengarang dalam sajak-sajaknyaa merupakan hasil dari pengembaraan yang jauh secara jasmani maupun ruhani. Pada abad ke 20 perkataan itu ditukar oleh Amir Hamzah menjadi ‘musafir lata’ dan oleh Chairil Anwar ‘pengembara di negeri asing’ (di dalam sajak Doa) yang memperlihatkan bahwa eksistensi kepenyairan ialah kefakiran dan keyatimpiatuan spiritual (Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Penerbit Mizan, 1995, Hal. 145-146).
42 Nirwan Dewanto, dalam Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942-1949, Gramedia, 1986, Hal. xvii.
43Chairil Anwar, Hoppla, dalam HB. Jassin, Op.Cit., Hal. 118
44 Abdul Hadi W.M. keliru menuliskan judul sajak yang dimaksud. Yang benar semestinya Lagu Siul I. Selanjutnya lihat Abdul Hadi. W.M., Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Esai-esai Sastra Profetik, Pustaka Firdaus, 1999, Hal 143-151. Tentang tamsil yang dimaksud bisa dibaca selanjutnya di Annemarie Schimmel, Demensi Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus, 2009. Lihat sub pembahasan Al-Hallaj, Syuhada Cinta Mistik, Hal.78-96.
45 Lihat F. Budi Hardiman, Op.Cit., Hal. 87; Lihat pula F. Budi Hardiman, Seni Memahami, Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Penerbit PT Kanisius, 2022, Hal. 122.
46Adonis, Op.Cit., Jilid 4. Hal. 266-267
47 Selengkapnya Ibid, Hal. 12
48 Lihat HB Jassin, Angkatan 45, dalam E. Ulrich Kratz, Op.Cit., Hal 249.
49 Lihat selengkapnya; Adonis, Op.Cit., Hal. 13-14.
50 Faktisitas atau keterlemparan saya nukil dari F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, Kepustakaan Populer Gramedia, 2016, Hal. 84,86 dan 103.
51 Ibid, Hal. 47.
52 Ibid, Hal. 158
53 Ibid, Hal. 37.
54 Adonis, Op.Cit., Jilid 4. Hal. 170.
55 Armijn Pane, Keoesasteraan Baroe, dalam E. Ulrich Kratz, Op.Cit., Hal. 27
56 Adonis, Op.Cit., Jilid 2. Hal. 136-137
57 Ibid, Hal. 176
58 Ibid, Hal. 132-133
59 Ibid., Hal 136-138.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Penerbit Mizan, 1995
Abdul Hadi W.M., Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Esai-esai Sastra Profetik, Pustaka Firdaus, 1999
Abdul Hadi W.M., Seni Memahami, Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Penerbit PT Kanisius, 2022
Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas, Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, Penerbit Paramadina Jakarta, 2001
Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Jilid 1-4. LKiS, 2012
Albert Camus, Pemberontak, Esai tentang Manusa dalam Revolusi, Penerbit Yayasan Bentang Budaya, 2000
Annemarie Schimmel, Demensi Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus, 2009.
Arief Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Dunia Pustaka Jaya, `1976
Arif Bagus Prasetyo, Saksi Kata, 18 Esai Sastra, Diva Press, 2021
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, 2020.
Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942-1949, Gramedia, 1986
Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan, Penerbit Sinar Harapan, 1984
E. Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Kepustakaan Populer Gramedia, 2000
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, Kepustakaan Populer Gramedia, 2016
Goenawan Mohamad, Puisi dan Anti Puisi, Tempo & PT Grafiti, 2011
HB. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Satu Pembitjaraan, Disertai Kumpulan Hasil-Hasil Tulisannja, Gunung Agung, 1956
Keith Foulcher, Angkatan 45, Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia, Jaringan Kerja Budaya, 1994
Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, Gang Kabel dan Indie Book Corner, 2016
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Tintamas Indonesia, 1982
Sayyid Husein Nasr, Tasauf Dulu dan Sekarang, Pustaka Firdaus, 1994
Subagio Sastrowardoyo, Sosok Pribadi dalam Sajak, Balai Pustaka, 2000

S. Jai lahir di Kediri, 4 Februari 1972. Pengarang sejumlah novel. Yang terbaru, Ngrong (2019) masuk 10 besar nominasi nongkrong.co award 2021. Novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasihmemenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012). Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019). Tinggal di Ngimbang, Lamongan.