Merah Muda Gelora Imaji Bintang Tanatimur | esai Anam Khoirul
Tujuh belas tahun adalah masa-masa krusial, bahkan dianggap sakral bagi sebagian orang. Kesakralan itu mungkin dapat kita lihat pada proyek pameran “17”, bagaimana Bintang Tanatimur merayakan ulang tahunnya dengan berpameran tunggal di Pendhapa Art Space, Yogyakarta, 17 – 28 Agustus 2022. Pameran tunggal keempatnya ini, selain untuk merayakan bertambahnya usianya, sekaligus juga merespon fenomena yang terjadi di sekitarnya. Di mana, dia tumbuh dan berkembang di antara isu-isu lingkungan, sosial, politik dan budaya. Kemudian, tentu saja juga menjadi presentasi dari proses-proses kreativitas dan pencarian jati dirinya melalui pemikiran kritis dan reflektinya.
Melalui pameran ini, dapat dilihat gambaran umum mengenai bagaimana seniman remaja tanggung ini telah bertumbuh dan berkembang. Melalui karya-karya yang ditampilkan, dapat dilihat bagaimana cara pandang Bintang memahami dunia ini melalui keresahannya. Masa-masa remaja yang baru seperti yang dihadapi Bintang adalah bagian dari pertumbuhan imaji yang meledak-ledak, sekaligus tumbuh dengan mengumpulkan fragmen-fragmen pengalaman artistik dan estetik. Sementara terlihat pada perkembangan fisik, kognitif —yang melibatkan rasionalitas—, psikologis —yang mempengaruhi emosi—, dan perkembangan relasi sosial. Ini juga dapat sekaligus dilihat sebagai pertumbuhan Bintang yang tercermin melalui perkembangan bahasa visual dan tekstual, melalui karya-karya yang telah dia buat sejauh ini.
Sebagai makhluk sosial, tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa kepribadian dan karakteristik seseorang dibentuk oleh lingkungan di mana dia hidup. Hal tersebut memang menjadikan dasar argumen yang masuk akal, jika dilihat dari perspektif sosiologi. Kepribadian ini kadang dikenal sebagai karakteristik seseorang yang ditunjukan atau yang menggambarkan citra diri seseorang. Kita dapat memahami ini melalui teori sosial-psikologi dari Neo-Freud mengenai kepribadian. Teori ini menjelaskan bahwa relasi sosial adalah faktor yang paling mempengaruhi dalam membentuk dan mengambangkan kepribadian seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut, tentunya kita dapat melihat karya-karya seni dari Bintang Tanatimur sebagai cerminan, bagaimana dia tumbuh dan berkembang di lingkungan di mana dia hidup dan tinggal. Kekaryaan Bintang melalui eksplorasi media, bentuk, hingga eksplorasi wacana yang dia angkat dalam proses pertumbuhan artistik maupun estetika, setidaknya dapat kita lihat dari kedekatannya dengan Rumah, Ekosistem Seni, dan Sosial Media.
*****
Rumah dan Eksplorasi Media
Lingkungan pertama yang membentuk kepribadian seseorang adalah rumah. Tempat ini menjadi arena bermain sekaligus belajar bagi Bintang untuk memahami apa yang terjadi dalam kehidupan ini. Tempat tumbuh ini menjadi bagian eksplorasi media, di mana Bintang menemukan objek-objek yang dekat sekali dengan dirinya setiap hari. Selain objek, kedekatanya dengan kerja-kerja seni dan budaya dalam rumah membentuknya juga, seperti yang dilakukan ibunya yang bernama Rina Kurniyati seorang pelukis kaca, dan ayahnya, Mikke Susanto, seorang kurator dan dosen seni rupa di ISI Yogyakarta.
Berkaitan dengan hal tersebut, seniman muda yang baru saja berpartisipasi pada pameran ArtJog 2022 ini, menangkap dengan mudah permasalahan seperti limbah domestik yang berada di rumahnya. Hal tersebut adalah suatu proses pertumbuhan pemikiran kritis mengenai pemecahan masalah di sekitarnya; yaitu sampah. Dalam pameran ini, Bintang juga akan menampilkan kembali karya yang pernah ditampilkan di ArtJog 2022 “Expanding Awareness” yang berjudul “No trash @hom, can you do it?”, namun ditampilkan dengan versi lengkap. Karya ini bertajuk “RECYCLE BIN(TANG) Project” dengan 40 buah karya yang dibuat antara tahun 2018-2022. Eksplorasi media yang dilakukan Bintang menggambarkan bahwa sebuah karya seni tidak hadir dari ruang hampa atau jatuh dari langit. Proses kreatif yang dilakukan bintang adalah gambaran sederhana bagaimana penalaran kritis dapat menciptakan sebuah hal yang berdampak dari hal sederhana. Kemungkinan untuk berkontribusi mengurangi sampah domestik yang dimulai dari rumah, dengan memakainya sebagai media berekspresi dan penyampaian wacana kritis soal sampah adalah pilihan yang tepat. Karya “RECYCLE BIN(TANG) Project” adalah sebuah bentuk ekspresi tantangan, sekaligus komitmen Bintang untuk sebisa mungkin berkontribusi menangani masalah sampah yang berdampak buruk bagi lingkungan. Melalui karya instalasi yang terbuat dari fragmen-fragmen kolase menggunakan sampah-sampah kertas bekas yang ada di rumah, karya ini berdiri sebagai simbol mengenai isu lingkungan dengan media yang digunakan. Untuk penguatan artistik dan wacana dalam karya, Bintang juga menambahkan kumpulan kutipan untuk mewakili tingkat kebersihan tertinggi atau limbah dan polusi yang ada berdasarkan data terbaru di internet.
Selain itu, kedekatan Bintang dengan rumah membuatnya lebih sering mengeksplorasi media yang berkaitan dengan rumah. Seperti pada karya “ICE (Indonesia Corona Effects) Project”, yang merespon kulkas dan kompor sebagai media untuk mengekspresikan gagasan-gagasan visual. Di mana, hal ini juga dilatarbelakangi oleh kebosanan rutinitas dari dampak pandemi yang melanda pada tahun 2020 sampai 2021. Gejolak pikiran dan gelora energi muda yang dimiliki Bintang tak terbendung, kulkas dan kompor pun menjadi saksi cat-cat yang ditumpahkan dari pemikiran-pemikiran dan hasrat yang bergelora tersebut. Baginya, setiap objek benda yang berada di rumahnya adalah teman, sekaligus saksi yang merekam energi ingatan. Hal ini juga sudah dia lakukan sejak kecil menginjak umur 5 tahun, dengan menggunakan objek-objek yang berada di dalam rumah, seperti penggunaan media semacam sampah kertas dari kardus atau kemasan produk, kaos, mainan tiga dimensi seperti mobil-mobil, dan alat-alat rumah tangga seperti di atas.

Ekosistem Seni dan Eksplorasi Artistik
Sementara itu, lingkungan yang lebih luas dari rumah adalah ekosistem seni yang dekat dengan keseharian Bintang. Di sini, dia mengambil apa saja dan di mana saja yang memantik imajinasinya, saat dia diajak oleh ayahnya ke tempat-tempat di mana seni dan budaya diproduksi, seperti di pameran seni, studio seniman, dan diskusi-diskusi seni. Sikap rasa keingintahuan Bintang mengarahkan untuk mengamati dan memahami hal-hal ini secara intens dengan seksama. Modal untuk membangun dunia imajinasinya sendiri memerlukan kesediaan untuk rendah hati mengakui apa saja yang tidak diketahui. Di sini, Bintang mencoba mengumpulkan apa saja fragmen-fragmen yang benar-benar dia sukai dan butuhkan untuk merangkai imajinasi. Dengan menghimpun gagasan-gagasan yang diambil dari temuan perjalanan artistiknya, membuat dia semakin banyak ide konseptual baru dan akhirnya menemukan dirinya sendiri.
Secara sadar maupun tidak, Bintang telah terinspirasi atau mungkin dapat kita katakan dibentuk oleh ekosistem seni di mana dia tumbuh. Bahkan sedekat objek-objek lukisan yang terpampang, di dinding ruang tamu dan ruang keluarga dalam rumah yang selalu dilihatnya setiap hari, seperti karya lukis Heri Dono dan karya grafis Andre Tanama. Hal tersebut dapat dilihat dari karya-karya seninya, seperti bentuk objek dari karakter visual dengan figur karikaturistik yang digunakan pada karya terbaru bintang akhir-akhir ini. Saya melihat ada beberapa fragmen-fragmen yang menginspirasi Bintang, seperti yang terlihat dalam karya bertajuk “Slice of Pink Life”. Dapat dilihat penggunaan eksplorasi teknik deformasi dan distorsi pada figur karikaturistik surealis, —seperti orang berhidung panjang, bermata satu atau tiga, dan berbadan roda seperti robot— yang terdapat dalam karya tersebut, terlihat serupa dengan teknik yang digunakan Heri Dono. Hal ini bertujuan mengejar kesan imajinatif dan jenaka, yang ingin ditampilkan oleh Bintang. Kedekatan Bintang dan Heri Dono dapat ditarik tatkala keintensitasannya menemani ayahnya, yang pernah menjadi kurator untuk pameran Heri Dono. Salah satu karya yang merekam atau mengekspresikan kebiasaan Bintang dan ayahnya juga dapat dilihat pada karya berjudul “Therapy”. Karya ini dilatarbelakangi oleh kejenuhannya dengan kehidupan, sehingga kegiatan menonton pameran seni bersama ayahnya sebagai sebuah terapi dalam menyeimbangkan kehidupan yang membosankan.
Sedangkan teknik dengan gaya dekoratif figuratif yang digunakan Bintang terinspirasi dengan karya-karya yang terkenal dengan doodle art, yang lebih populer dan sukses di kalangan anak muda. Inspirasi tersebut datang dari Mr. Doodle, seniman kelahiran Inggris bernama Sam Cox, sementara itu Bintang juga sangat mengidolakan Adit HereHere sejak kecil, di mana Adit juga melakukan transformasi teknik ke arah pop art dengan gaya doodle-nya —atau dapat disebut juga gaya dekoratif figuratif— dan merubah nama menjadi Adit Doodleman. Kita dapat melihatnya pada karya terbaru Bintang seperti “Slice of Pink Life”, “Free Your Mind”, “Imagine”, “Hope”, dan “Therapy”.
Sosial Media dan Eksplorasi Wacana
Perubahan komunikasi yang terjadi di dunia saat ini melalui media baru membuat akses informasi menjadi lebih mudah dan berserakan. Media baru seperti internet diciptakan sebagai salah satu media yang penting dalam mempermudah kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Internet menjadi ruang alternatif sebagai perangkat teknologi yang banyak membantu manusia dalam mencari informasi maupun mengerjakan banyak hal secara efektif dan efisien. Keberadaan media untuk bersosial ini hampir tidak bisa kita hindari dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Begitupun Bintang, sebagai generasi Z dia mungkin tidak asing dengan dunia baru ini, di mana dia lahir bersama berkembangnya teknologi-teknologi di dunia. Sehingga media baru internet menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari generasi ini.
Arus ini pun diikuti Bintang dengan seksama mengamati apa yang terjadi saat ini. Dalam karya-karya Bintang yang menggunakan figur kartunistik ini pun, mengambil metafora seseorang yang berhidung panjang sebagai gambaran umum bagaimana internet sebagai media sosial menjadikan orang-orang menjadi seseorang yang serba tahu dan ahli dalam segala hal, dan bersifat berlebihan menyikapi terhadap permasalahan dan banyak persoalan yang sedang terjadi. Meskipun begitu, karya yang menggunakan tokoh imajinatif ini juga memiliki sifat paradoks, dengan metafora figur bermata tiga. Di sini, Bintang menggambarkan penglihatan yang semakin luas atau seseorang yang memiliki banyak perspektif untuk melihat dan menyikapi sesuatu. Hal tersebut mengarah pada bagaimana akses informasi yang semakin luas dan mudah untuk diperoleh semua orang, menyebabkan keterbukaan pemikiran dan menghadirkan perspektif lain yang beragam ketika berselancar di internet.
Hal-hal yang terhubung dengan Bintang melalui internet membuatnya membangun dunianya sendiri dengan perlahan. Melalui puing-puing ide yang dia temui di lingkungan di mana dia tumbuh dan berkembang, Bintang mengeksplorasi wacana. Karya-karya dengan beragam isu-isu seperti lingkungan, sosial, politik dan budaya yang diciptakan bintang, tidak dapat kita pungkiri bahwa hal tersebut memiliki hubungan dengan akses informasi yang cepat dan luas melalui internet dan kesadaran kritisnya sebagai anak muda generasi Z.
Berbagai isu tersebut dapat kita lihat dalam beberapa karya seperti “Slice of Pink Life”, yang mengangkat tentang perlawanan stereotip bahwa warna merah muda terasosiasi dengan feminitas. Sedangkan karya seperti “PUSKESMAS” mengkritisi soal fanatisme buta, di mana kebenaran subjektif seharusnya tidak dapat dipaksakan ke seseorang. Bintang juga menyoroti soal polemik yang terjadi di Papua, karya “Papua Sepotong Indonesia” mengajak kita mendiskusikan bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan ini. Isu-isu yang dihadirkan Bintang adalah sebuah proses eksplorasi wacana yang boleh dikatakan perlu diapresiasi, sebagai keberanian mengeksplorasi melalui daya imajinasi dan daya pikir. Proses kreatif yang dilakukan oleh bintang tampak ke arah yang baik dan dapat kita contoh sebagai proses perjalanan kreatif, yang berani mengeksplorasi berbagai hal baru, dan tidak mudah berpuas diri. Dengan kata lain, hal ini lah yang menjadikan seseorang selalu tumbuh dan berkembang.
Anam Khoirul adalah mahasiswa S3 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
*Foto-foto dokumentasi Dicti Art Lab