Mengantar Sang Umbu ke Tanah Puisi Abadi
sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
Penyair legendaris Indonesia, Umbu Landu Paranggi, mengembuskan napas terakhir di Sanur, Bali, pada 6 April. Ia pergi ke tanah puisi abadi pada usia 78 tahun.
Hampir sepekan kemudian, pada 12 April, jasad Umbu disemayamkan di Taman Makam Kristiani Mumbul, Badung, Bali. Upacara Kurukudu adat Sumba digelar di pemakaman untuk mendiang. Ritual ini pada intinya bertujuan mengantar Umbu ke “ruang sunyi” sebagai tempat peristirahatan sementara. Kelak, pemakaman dilakukan di Sumba, tanah kelahiran Umbu.

Kepergian Umbu yang cukup mendadak, setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari, menerbitkan duka mendalam di kalangan sastra, khususnya di Bali. Lebih dari sekadar penyair, Umbu dikenal akrab oleh lingkaran sastra di Bali sebagai sosok mahaguru yang sangat dihormati.
Doa pun dikumandangkan para penggiat sastra untuk mengantar kepergian Umbu selamanya. Komunitas sastra Jatijagat Kampung Puisi menggelar acara “Malam Doa untuk Umbu Landu Paranggi” pada 10 April, tatkala jenazah sang mahaguru masih terbaring di rumah sakit.
Beberapa tahun terakhir, Umbu memang sering menghadiri acara-acara sastra di komunitas yang bermarkas di jantung kota Denpasar ini. Bahkan nama “Jatijagat Kampung Puisi” sendiri merupakan pemberian Umbu.
Acara dibuka penampilan teatrikal penyair Kardanis Muda Wijaya. Bertajuk Mirage, Muda mengangkat puisi “Lagu Tujuh Patah Kata” karya Umbu.
Ngurah Arya Dimas Hendratno, “lurah” Jatijagat Kampung Puisi, mengatakan acara ini dinisiasi oleh sejumlah penyair muda, antara lain Pranita Dewi, Moch Satrio Welang, Bonk Ava, Legu, Heri, Obe Marzuki, dan seniman lainnya. “Umbu menyatukan semua generasi, berharap selalu menyatu dan terus tetap menyala dan guyub. Itu roh yang dititipkan ke kita,” ujar Dimas.
Agenda utama acara berisi doa bersama untuk Umbu. Selain itu, ada pembacaan puisi, musikalisasi puisi, serta testimoni dari murid-murid sang mahaguru.

Wayan Jengki Sunarta mengatakan Umbu adalah panutan di Jatijagat Kampung Puisi. Sejak awal berdiri komunitas sastra ini, Umbu selalu menemani dan membimbing kegiatan bersastra dan berkesenian. “Bagi kami, beliau adalah sosok tak tergantikan. Semoga beliau damai di alam keabadian,” ungkap Jengki, panggilan akrab penyair ini.
Umbu lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Ia pernah mengasuh rubrik puisi dan sastra di koran Pelopor Jogja dan rubrik apresiasi sastra dan budaya di koran Bali Post.
Jengki menceritakan, Umbu pindah ke Bali pada tahun 1978. Melalui ruang sastra dua halaman di Bali Post, Umbu membina remaja-remaja kreatif untuk menulis puisi, prosa liris, cerpen, dan esai di berbagai jenjang “kelas” yang dibikinnya. Ada kelas “Pawai” untuk penulis pemula. Penulis yang lolos dari kelas awal akan masuk kelas “Kompetisi”, berlanjut ke “Kompetisi Promosi”, hingga kelas tertinggi, “Pos Budaya”.
“Cara beliau menggembleng itu membangkitkan kepercayaan diri generasi muda Bali. Lewat rubrik sastra Bali Post, kami sering dikontak beliau. Foto kami dipasang besar-besar. Kalau tidak pernah mengirim tulisan lagi, kami dikontak dengan kata-kata yang unik,” kenang Jengki.
Bagi Umbu, puisi adalah kehidupan, dan kehidupan adalah puisi. Satu semangat yang ditanamkan oleh penyair karismatik berjuluk “Presiden Malioboro” ini terkristalkan dalam idiom “Tanam dan Taman”. Artinya, kita wajib menanam dan membiarkan apa pun tumbuh di taman kita, bahkan juga gulma. Umbu menghargai semua benih yang tumbuh di taman sastra yang dirawatnya. Ia tidak pernah membabat apa pun di tamannya.
“Beliau adalah tukang kebun. Kami di Jatijagat Kampung Puisi adalah taman yang isinya berbagai karakter. Kita wajib menjadi tukang kebun bagi taman kita sendiri. Warisan beliau yang kami berupaya teruskan bukan hanya spirit bersastra dan berkesenian, tapi spirit menanam, menciptakan taman, memunculkan benih-benih baru di bidang sastra dan kesenian sehingga terjadi regenerasi,” papar Jengki.
Tak dapat disangkal, nama Umbu memang melambung sebagai “tukang kebun” luar biasa yang telah berjasa menumbuhkan bakat sastra di mana-mana. Ia bekerja dalam senyap dan tanpa pamrih menanam puisi di hati tunas-tunas penerus kehijauan taman sastra Indonesia.