Menengok Minikino Film Week 6 dari Dapurnya
oleh Ni Kadek Diana Pramesti
Jumat (4/9) pekan lalu, Minikino Film Week (MFW) 6 resmi dibuka di Rumah Sanur, Denpasar. Di tengah gempuran Covid-19, beberapa kali saya dengar celetukan dari komite MFW 6 bahwa terselenggaranya festival tahun ini masih terasa surreal. Bagaimana pun, pandemi membuat banyak hal menjadi diambang ketidakpastian. Hal yang juga terjadi pada MFW 6, kalau saja keberanian tak menghampiri segenap komite yang berjuang untuk menjadikan festival tahun ini nyata. Menghadirkan festival fisik di tengah pandemi.
Hal menyenangkan lainnya, tahun ini saya (akhirnya) bisa jadi sukarelawan MFW 6! Rasanya juga surreal buat saya. Pasalnya, saya sudah ingin terlibat dalam perhelatan tahunan mereka ini sejak pertama kali mengenal Minikino pada 2017 lalu. Tahun pandemi ini kemudian memberikan saya jalan yang lebih lebar untuk keinginan ini.
Melihat dari dalam persiapan dan pelaksanaan MF6 6 rasanya menyenangkan. Bahkan sungguh menyenangkan melihatnya dari hal-hal kecil. Saat mampir ke meja kudapan saat Opening Night MFW 6, misalnya. Saya menemukan jajanan yang tidak asing. Ada sengait, kaliadrem, dan jeruk dari Teman Sayur—anak usaha dari Anggara Mahendra dan Kristina Komalasari. Kemudian ada risoles vegetarian dan nonvegetarian dari Rissois Bali yang dimasak langsung oleh Peter Harjadi & Bhismarck. Tak ketinggalan ada Pie dari Ibu dengan pie susunya.
Di balik nama-nama itu, saya mengenal mereka sebagai kawan baik Minikino. Senang melihat komite MFW 6 menyertakan mereka, sehingga pada kesempatan seperti saat pembukaan, hal ini dapat menghadirkan ruang-ruang percakapan, inisiatif kerja kolaborasi, dukungan kolektif, atau sesederhana suntikan semangat. Semua hal ini menjadi lebih berarti di masa pandemi seperti sekarang ini.
Saya ingat, saat menyapa hadirin di Opening Night MFW 6, Program Director MFW 6, Fransiska Prihadi, mengatakan bahwa panggung adalah ruang keluarga. “Setiap dari kita adalah keluarga, dan ini rumah untuk bersama,” ujar Kak Cika, sapaan akrabnya. Dengan konsep serupa itu, kegiatan seperti festival terasa lebih hangat, akrab, dekat di hati, meskipun saat ini kita harus terus menjaga jarak kita secara fisik—untuk kebaikan bersama. Konsep ini sepertinya tidak hanya selesai saat pembukaan MFW 6 diakhiri. Bahkan saya yakin, semangat mewujudkan MFW 6 adalah semangat bersama banyak pihak.
Masih di hari pembukaan, saat makan malam, kami disuguhi nasi kuning Bu Iis yang diwadahi kotak makan dari pelepah pinang Pattika Bali. Belakangan saya tahu bahwa nasi bungkus daun yang diberikan kepada seluruh kru MFW 6 selama sebelum acara juga masakan Bu Iis. Saat saya tanya Retno Mumpuni, Bendahara MFW 6, masakan Bu Iis telah lama menyertai Minikino untuk menjamin perut tim kerjanya selalu terisi. “Pokoknya semua kru nggak boleh sampai kelaparan,” tambah kakak yang akrab disapa Kak Retno ini. Masakan Bu Iis pun mengingatkan sama masakan di rumah, sederhana dan selalu lezat dimakan bersama.
Memang betul, selama festival setiap kru agaknya tak pernah sempat merasa lapar. Di hari berikutnya, saya makan malam di gudang rumah pribadi samping Mash Denpasar yang disulap sepanjang pekan festival menjadi Depot. Siapa pun yang sudah usai bertugas bisa melipir untuk makan malam dan bisa berbagi hal-hal menarik tentang kegiatan hari itu.
Sabtu (5/9) malam itu, kami makan malam sayur asem, lalap daun kemangi dan kol segar, tempe serta tahu bacem, ikan teri, dan tak lupa sambal. Di meja duduk juga bersama yang lainnya seorang ibu yang asing buat saya, belakangan baru akhirnya saya tahu Ibu Linda dapur.makipuk ternyata adalah ibu dari volunteer manager MFW6, Inez Peringga. Kembali saya mengingat, setiap orang yang terlibat dalam festival ini bukanlah orang lain, tetapi kawan dekat dan keluarga Minikino juga.
Selasa malam, Depot kami diisi oleh masakan Peter Harjadi. Kak Peter, begitu beberapa dari kami menyapanya, memasak masakan Indonesia dan Belanda. Bitterballen, salad mexico, sup breneboun, ayam mentega, banana bread, dan ice cream jadi hidangan malam yang nikmat. Seperti menyantap makanan yang dimasak oleh kakak sendiri rasanya.
Beberapa kali, saya terlibat dalam acara besar dengan banyak pihak yang bahkan kadang tak saya kenali orangnya, tapi saya makan atau menggunakan jasanya. Menengok MFW 6 dari dalam seperti ini sungguh menyenangkan. Saya mendapat perspektif lain, hal baru buat saya. Setiap orang memahami betul apa yang dikerjakan, mengenal satu sama lain, mendukung satu sama lain, tak sungkan menyertakan keluarga dan teman dekat di dalamnya, serta menjadikan festival ini kolaborasi yang menyenangkan. MFW 6 bisa berjalan dengan dukungan kalian semua, setiap orang yang percaya kekuatan kolaborasi.

Ni Kadek Diana Pramesti
Sejak setahun lalu ke(m)Bali untuk tinggal dan sebelumnya bekerja untuk sesuatu yang menyenangkan di bidang pariwisata berkelanjutan. Di masa pandemi ini, kembali menulis, menonton film, dan sesekali melali (main) ke desa atau tempat-tempat keren di Bali.
*Gambar utama: “Sengait jajanan khas Bali dari Teman Sayur”. Foto oleh Anggara Mahendra.
Pingback: Baku Temu MFW8 di Jakarta - Minikino Articles
Pingback: Suasana MFW8 di Jakarta - Minikino Articles