MENEBAR BENIH CAHAYA HARAPAN | Pameran “Seeds of Light” Putu Winata

Dua tahun sudah pandemi melanda dunia. Jutaan orang kehilangan nyawa akibat infeksi virus laknat. Lebih banyak lagi yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Tak ada yang tahu kapan wabah ganas itu akan berlalu. Bahkan tak seorang pun berani menjamin ia akan pernah pergi dari muka bumi. Jalan kembali ke kehidupan “normal” terasa begitu jauh, seakan-akan tak berujung.

Belum lagi dunia sembuh dari sakit, kabar buruk lain datang. Perang baru berkobar. Belahan bumi utara membara. Apinya mengancam merembet ke mana-mana. Bisa menyeret dunia ke neraka perang akhir zaman. Bau kemusnahan global mengambang di udara.

Dunia seakan dicekam mendung gelap menakutkan. Di tengah segala ketidakpastian eksistensial yang menyesakkan, harapan ibarat cahaya yang menuntun perjalanan bahtera kehidupan di tengah amuk badai samudra. Di dunia yang terasa suram hari-hari ini, harapan adalah matahari yang begitu dibutuhkan kehidupan.

Dan seni mampu menerbitkan matahari harapan. Seni memiliki kekuatan untuk menghubungkan, mengomunikasikan, mengubah, dan menyembuhkan. Dengan kekuatannya itu, seni terus-menerus mengumandangkan pesan bahwa harapan selalu ada. Bahkan dalam karya yang mengungkapkan tragedi paling pilu sekalipun, seni tetap mengulurkan harapan karena ia memberi kita keindahan. Sebagaimana yang dikatakan oleh pelukis masyhur dunia, Gerhard Richter: Art is the highest form of hope. Seni adalah bentuk tertinggi harapan.

Dalam pamerannya yang bertajuk Seeds of Light di D Gallerie, Jakarta, 2 April – 2 Mei 2022, Putu ‘PW’ Winata bermaksud menyuarakan visinya tentang harapan. Karya-karya terbarunya adalah ungkapan artistik tentang semangat optimisme dalam memandang kehidupan hari ini yang dihantui kecemasan, ketidakpastian, dan kekalutan.

Melalui seni, media yang diyakini memiliki energi penyembuh lara, Putu menebarkan pesan positif bahwa harapan adalah cahaya yang setia menunggu di ujung terowongan gelap. Harapan adalah matahari yang pasti terbit menghangatkan kehidupan selepas malam gulita. Pesan optimistis itu bergema dari judul sejumlah lukisan Putu: “Bersyukur dalam Senja”, “Manusia dalam Cahaya”, “Sebelum Kau Melihat Cahaya”, “Tak Tersentuh Tapi Menerangi”, “Bisikan Kedamaian”, dsb. Beberapa karya bahkan berjudul “Harapan”. Karya Putu ibarat benih-benih cahaya (seeds of light). Cahaya harapan.

harapan
Harapan no. 1

Harapan adalah suatu konsep. Ia abstrak. Harapan bukan benda konkret. Ia tidak berbentuk, tidak dapat dilihat. Dari karya ke karya, Putu mengungkapkan tafsir kreatifnya tentang harapan dengan menggunakan bahasa seni lukis abstrak. Ia melukis harapan.

Lukisan Putu pada dasarnya tidak merujuk pada sesuatu yang konkret yang ada di luar lukisan itu sendiri. Putu tidak berusaha merepresentasikan dunia konkret. Ia tidak “memindahkan” alam konkret ke dalam kanvas atau kertas. Lukisannya menjauhi kekonkretan.

Namun, dengan melukis harapan, Putu secara paradoksal ternyata juga mendekati kekonkretan. Ia mengkonkretkan sesuatu yang abstrak, yaitu harapan. Ia memberi bentuk pada harapan. Lukisannya membuat harapan jadi berwujud, memiliki bentuk yang dapat dilihat.             

Dalam karya-karyanya, Putu berbicara tentang harapan dengan bahasa artistik yang merayakan kehidupan. Lukisannya dijiwai gairah hidup yang meluap-luap dan meletup-letup dalam perayaan riuh garis dan warna. Didominasi warna-warni cerah dan sapuan atau goresan cat yang seakan-akan menari setengah kesurupan, di ambang genting antara kesadaran dan ketidaksadaran, karya Putu menggemakan joie de vivre, kegirangan yang dilepasbebaskan.

putu-winata
Manusia dalam Cahaya

Bidang lukisan Putu bagaikan panggung pertunjukan kosmis yang mementaskan tarian energi. Elemen-elemen visual bertemu dan bercerai, bersenyawa dan berselisih. Warna dan garis meledak dan meluruh, memuai dan menyusut, mencair dan memadat. Komposisi abstrak Putu mengingatkan pada suatu drama kosmis yang menyemaikan benih-benih kehidupan di ladang bintang atau lahan subatomik.

Dipandu intuisi, Putu mengorkestrasikan warna dan gerak menjadi gubahan visual unik yang terasa liar sekaligus terkendali, bebas tapi terukur, acak sekaligus terstruktur. Citra pada lukisannya tampak menyodorkan kekacauan, tapi serentak dengan itu mengulurkan irama dan asosiasi yang menautkan ingatan kita pada sesuatu yang samar-samar dapat dikenali: lanskap, pohon, awan, dsb. Setiap karya seperti bercerita tentang proses terbentuknya sesuatu dari momen berenergi tinggi yang karut-marut, ketika daya-daya liar berkuasa. Sesuatu yang wujudnya dapat diidentifikasi tampak samar-samar tumbuh dari gejolak chaotic. Ada suatu proses transformasi dari alam energi yang labil menjadi alam materi yang stabil.

Dalam kerja kreatif Putu, pada mulanya adalah spontanitas intuisi dan emosi. Arus energi. Putu melukis secara ekspresif. Dia melampiaskan gelombang jiwanya di atas kanvas atau kertas. Bersandar penuh pada naluri dan rangsang-rangsang seketika, ditumpahkannya seluruh rasa dan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.

putu-winata
Putu Winata

Meminjam teori Sigmund Freud tentang pembagian struktur psike manusia, karakter ekspresif lukisan Putu terasa memantulkan Id: bagian purba dari pikiran, sebuah kawasan tempat  Eros (naluri kehidupan) dan Thanatos (naluri kematian) berkuasa. Id bersifat primitif, tak terkendali dan emosional. Di dunia Id, tak ada logika. Yang ada hanya naluri bawaan, nafsu seksual, hasrat agresi, dan keinginan terpendam. Id merupakan sisi kepribadian kita yang gelap dan tidak dapat ditelusuri. Ia disebut chaos, kawah yang penuh dengan rangsangan menggelegak. “Id berisi energi yang diperolehnya dari naluri, tetapi tidak teratur dan tidak menghasilkan kemauan kolektif, kecuali hanya usaha untuk mencapai kepuasan atas kebutuhan naluriah yang menjadi pokok perhatian dari prinsip pencarian kesenangan,” kata Freud.

Meskipun diresapi Id, lukisan Putu tidak merayakan chaos. Di belantara garis dan warna naluriah yang menguasai ruang lukisan, hampir selalu terlihat hadirnya bayang-bayang Ego, wilayah mental yang setingkat lebih tinggi daripada Id. Ego adalah aspek kepribadian yang sebagian besar bersifat sadar. Persepsi lahir, persepsi batin, dan proses intelektual merupakan contoh aktivitas Ego. Ego dikuasai prinsip realitas yang rasional, mengungkapkan diri melalui bahasa, dan sesuai dengan tuntutan sosial. Berfungsi mengadakan sintesis, Ego mengendalikan dan merepresi gejolak energi Id yang kacau.

Pada taraf tertentu dalam proses kreatifnya, Putu seperti menahan sebagian luapan tenaga naluriahnya demi menemukan wujud.  Walhasil, dalam lukisannya, samar-samar muncul jejak Ego dalam bentuk skema dasar yang mewakili identitas figuratif tertentu, misalnya pohon atau bunga. Wujudnya informal dan labil. Eksistensinya tidak mantap. Hempasan energi emosional kerap membuat penampilan identitas-identitas figuratif menjadi terpiuh. Kadang-kadang mereka seperti ada dan tiada, timbul-tenggelam ditelan arus citraan abstrak yang melanda dari dorongan emosi.

Meskipun samar-samar, kehadiran wujud yang dapat dikenali di belantara abstrak lukisan Putu mengisyaratkan bahwa kekacauan bukanlah segala-galanya. Kekacauan bukan akhir segalanya. Justru sebaliknya, kekacauan selalu menjanjikan ketertiban. Kegelapan senantiasa menjanjikan terang. Selalu ada harapan di depan sana.

Putu secara kreatif membengkokkan seni lukis lanskap tradisional. Ia menafsirkan ulang Impresionisme dan Pascaimpresionisme. Menyerap tenaga Pointilisme dan Action Painting. Membenturkan hasrat representasi dan semangat abstraksi. Hasilnya adalah lukisan-lukisan “lanskap” dinamis yang unik, segar, dan penuh warna. Citra pemandangan alam terpampang jelas dalam beberapa lukisan, seperti “Kerinduan” dan “Sebelum Kau Melihat Cahaya”. Sejumlah lukisan mengetengahkan citra pohon bunga berlatar belakang langit, seperti “1.000 Rasa” dan “Pesona Hati”. Karya-karya lain juga menampilkan citra abstrak yang cukup mudah menimbulkan kesan tentang lanskap, misalnya tekstur permukaan tanah, topografi, tebing, padang, perairan dsb.

kerinduan
Kerinduan

Dalam melukis, Putu memang banyak terinspirasi alam. Namun ia tidak melukis alam. Alam, atau ingatan maupun kesan tentang alam, hanya merupakan semacam “jalan masuk” baginya untuk menjelajahi kedalaman dunia batinnya dan menuangkannya sebagai ciptaan baru pada kanvas atau kertas. Meskipun demikian, alam yang mengilhaminya itu tidak menghilang dalam lukisan abstrak yang merekam gerak jiwa sang pelukis. Alih-alih, alam justru menyembul dalam lukisan dengan wajah sepenuhnya baru, dengan segala kesegarannya, seakan-akan baru dilihat untuk pertama kalinya. Alam seolah menjadi visi keindahan ideal tertinggi bagi Putu. Alam menjadi simbol dari energi kreatif itu sendiri. 

Sejumlah karya Putu dihadirkan dalam wujud tiga dimensi. Seri “Impian Dunia” dikerjakan pada kertas yang tampak penyok-penyok dan ditaruh dalam kotak bening akrilik. Karya-karya seri ini secara spesifik mengangkat tema “efek rumah kaca”. Putu secara simbolis mengkritik perilaku manusia modern yang mengakibatkan bumi menderita didera pemanasan global.   

impian
Impian Dunia

Berangkat dari alam, lukisan Putu menggemakan hal-hal yang esensial pada alam. Karyanya menjelajahi keindahan, daya hidup, vitalitas, ketahanan, regenerasi, tetapi juga kesementaraan, kerapuhan, dan kerusakan. Alam berwajah ganda: ia berkah sekaligus ancaman. Justru karena itulah, alam memberi harapan. Dan seperti halnya alam yang dijadikan inspirasi, karya Putu mengumandangkan keyakinan terhadap cahaya harapan.

bara
Bara K. Hasibuan meresmikan pameran Seeds of Light. Dari kanan: Bara K. Hasibuan, Esti Nurjadin (D Gallerie Jakarta), Arif Bagus Prasetyo (kurator), Putu Winata, Nicolaus Fransiskus (Galeri Zen1 Bali)

ARIF BAGUS PRASETYO

Penulis, penerjemah, dan kurator seni rupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *