Membaca Pemikiran Goenawan Mohamad Bersama Penikmat Sastra di Seluruh Indonesia

Komunitas Salihara bekerja sama dengan Komunitas Utan Kayu telah sukses menggelar Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad pada Jumat-Minggu, 25-27 Maret lalu. Acara ini menghadirkan 16 pembicara yang terdiri dari kalangan sastrawan, filosof dan akademisi lainnya. Terbagi ke dalam tujuh sesi, masing-masing pembicara memaparkan pemikiran mereka tentang tulisan-tulisan Goenawan Mohamad seputar sastra, filsafat dan demokrasi.

Sebagai acara hybrid pertama di tahun 2022 ini, Art Camp diikuti oleh 25 peserta luring, dan 33 peserta daring dari berbagai kalangan yang tentunya memiliki satu visi yaitu hendak mengupas secara mendalam pemikiran Goenawan Mohamad.

Karya yang Dapat Dinikmati Lintas Generasi

Karya Goenawan Mohamad tak terbatas pada generasi tertentu, terbukti dalam acara kemarin juga hadir peserta remaja yang ikut berdiskusi dan mengkritisi tulisan-tulisan Goenawan Mohamad yang genap berusia 80 pada tahun lalu. Ayu Utami, selaku Direktur Program Komunitas Utan Kayu dan Perumus Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad, mengatakan bahwa karya Goenawan Mohamad masih relevan untuk dibahas sampai sekarang terutama bagi mereka yang ingin mengasah kebebasan berpikir dan berekspresi.

“Melalui karya Goenawan Mohamad kita belajar sejarah bagaimana pemikiran Indonesia berkembang, kita belajar bagaimana berinteraksi dengan filsafat dunia, dan belajar mengasah kepekaan estetika juga. Itulah yang dibutuhkan untuk mengisi kebebasan berpikir dan ekspresi.”

Maka tidak heran, bahwa tulisan Goenawan Mohamad masih mendapat tempat di kalangan generasi muda yang tertarik mendalami dan memahami sosoknya yang banyak dikenal sebagai salah satu tokoh jurnalis penting Indonesia.

Salah satu peserta Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad, Thalia (17) memaparkan bahwa kegiatan ini membuka lebih banyak lagi wawasan terutama bagi dirinya yang menyukai sastra dan filsafat. Seluruh diskusi yang dipaparkan oleh pemateri justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru selepas sesi usai.

“Itu sih yang menarik, menjadi pemikir itu seperti itu toh. Materi yang diberikan tadi justru meninggalkan kita banyak pertanyaan yang memancing untuk lebih mencari tahu dan memperdalam lagi pemahaman kita, itu sih yang asik banget menurutku.”

Peserta lain Tamara (18), memiliki respon yang berbeda, pertanyaan-pertanyaan yang muncul memotivasi dia untuk bertanya lebih banyak melalui sesi coffee break atau saat jamuan malam.

“Serunya adalah, saat kita timbul banyak pertanyaan, aku bisa memanfaatkan sesi coffee break atau dinner untuk kembali menanyakan kepada pemateri untuk meminta penjelasan lebih. Karena jujur, kalau saat sesi QnA itu cukup intimidating karena bicara depan banyak orang. Ternyata para pemateri begitu hangat saat di-approached secara personal di sesi yang di luar sesi acara.”

Art Camp

Kurangnya kajian mengenai pemikiran intelektual Indonesia mendorong Komunitas Salihara一bekerja sama dengan Komunitas Utan Kayu一untuk memulai program Art Camp, sebuah acara berkala mendiskusikan pemikiran para intelektual Indonesia. Art Camp hendak memperdalam pemahaman kita dengan membaca kembali karya-karya dari tokoh-tokoh yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan gagasan di Indonesia.

Memperingati usia Goenawan Mohamad yang ke-80 pada 2021 lalu, Art Camp tahun ini mengangkat pembacaan terhadap karya-karya Goenawan Mohamad serta sumbangsihnya kepada dunia seni, sastra, jurnalistik, filsafat dan demokrasi di Indonesia.

Pemilihan Goenawan Mohamad sebagai tokoh yang dibahas dalam Art Camp juga didasari atas relevansi karya-karyanya di zaman sekarang ini, di mana kini kebebasan berekspresi dan sikap kritis mulai terkungkung kembali karena sikap dogmatisme, fundamentalisme dan ujaran-ujaran kebencian. Melalui karya-karya Goenawan Mohamad, kita bisa belajar mengenai sejarah pemikiran di Indonesia dan polemiknya, serta pandangan dan sikapnya mengenai kemanusiaan, seni dan filsafat, beririsan dengan itu juga: politik dan agama.

Art Camp menampilkan beragam diskusi menarik bersama para penulis dan intelektual Indonesia dari pelbagai generasi. Mereka akan menanggapi pemikiran Goenawan Mohamad yang ditulis pada masa kemarin hingga hari ini.

Ni Made Purnama Sari, penulis dan salah seorang pemateri dalam acara ini, mengatakan sosok Goenawan Mohamad merupakan tokoh yang mengedepankan kritik elaboratif sebagai upaya dialog dengan pemikiran-pemikiran seni budaya yang berbeda.

“Goenawan Mohamad adalah sosok yang memiliki dimensi kekaryaan luas. Dari sisi genre, dia menulis puisi, prosa, naskah drama, serta esai-esai budaya. Dari sisi tematik, dia mengolah khazanah tradisi hingga penjelajahan ke pemikiran modern. Dia tumbuh dari generasi intelektual pada zamannya yang masih mengedepankan kritik elaboratif sebagai upaya dialog dengan pemikiran-pemikiran seni budaya yang berbeda, meskipun tradisi ini mengalami represi kekuasaan negara.”

Purnama menambahkan, “Dan sayangnya, tradisi intelektual seperti ini kian memudar akibat perkembangan teknologi, media sosial dan perilaku kita berinteraksi di dunia maya: kritik elaboratif tidak hadir sebagai upaya membangun silang pendapat yang membangkitkan pengetahuan, bahkan kesadaran.”

Selain itu, Art Camp dapat menjadi jawaban akan kerinduan para peminat sastra dan filsafat yang selama dua (2) tahun ini tidak dapat berdiskusi secara langsung karena pandemi Covid-19. Kegiatan ini adalah langkah awal Komunitas Salihara untuk mempertemukan para penikmat sastra dan filsafat dari Jakarta dan sekitarnya secara langsung.

Art Camp diadakan selama akhir pekan secara hybrid (luring dan daring). Pada kegiatan luring, para peserta akan mengikuti acara di Salihara dengan protokol kesehatan yang ketat. Para peserta luring pun dapat berinteraksi langsung dengan para pembicara. Sedangkan untuk kegiatan daring, peserta bisa mengikuti materi-materi pembicara dari rumah melalui Zoom Meeting.

Rangkaian materi terbagi ke dalam beberapa sesi: Di Antara Sajak dan Intelektualisme (Ni Made Purnama Sari, Nirwan Dewanto, Triyanto Triwikromo), Goenawan Mohamad, Seni dan Kebebasan (Ayu Utami dan Sri Hanuraga), Adorno: Bagaimana Seni Membebaskan? (Fitzerald K. Sitorus & Bambang Sugiharto), Nietzsche: Mungkinkah Ambiguitas Dijelaskan? (A. Setyo Wibowo & Yulius Tandyanto), Rancière: Apakah Politik Selalu Tentang Kekuasaan? (A. Setyo Wibowo & Sri Indiyastutik), Dari Marx ke Derrida: Masih Adakah Humanisme? (Y.D. Anugrahbayu & Martin Suryajaya), Jurnalisme, Demokrasi dan Pergulatannya (Agus Sudibyo dan Donny Danardono), Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai (Ayu Utami dan Ulil Abshar Abdalla).

Direktur Program Komunitas Utan Kayu dan Perumus Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad, Ayu Utami, memaparkan bahwa pemilihan tema dan pembicara dalam acara ini secara garis besar memiliki dua tema utama: filsafat dan pemikiran tentang seni. Tapi, beririsan dengan dua tema utama itu adalah isu politik dan agama. Tema filsafat dibahas oleh para ahli dalam studi filsafat. Tema pemikiran seni oleh praktisi.

“Kita mengundang pembicara ahli untuk tema itu dan melihat bagaimana GM mengolah pemikiran tersebut. Untuk seni, juga agama, kita memilih orang-orang yang juga terlibat di dalam dunia kesenian yang memikirkan bagaimana seni, bahasa, dan agama berperan atau berhubungan dalam masyarakat,” lanjut Ayu Utami.

Melalui tujuh (7) sesi yang dipaparkan di atas, para peserta diharapkan bisa berkenalan dengan garis besar sejarah pemikiran Indonesia dan dunia melalui kacamata Goenawan Mohamad. Diharapkan pada akhir sesi, peserta bisa memetakan isu pemikiran, politik, dan seni baik dari konteks sejarah nasional maupun dunia.

Diskusi ini juga menjadi perkenalan sosok Goenawan Mohamad kepada para pembaca yang menaruh minat terhadap perkembangan intelektual di Indonesia. Bagi para pembaca yang ingin mengenal Goenawan Mohamad bisa memulai dengan merujuk rekomendasi bacaan dari Ayu Utami yaitu sajak-sajak karya Goenawan Mohamad, atau bisa juga dengan membaca novel pendeknya yang berjudul Surti dan Tiga Sawunggaling.

Ayu Utami menambahkan, “Untuk pembaca yang ingin tahu garis besar pemikiran Goenawan Mohamad tentang tokoh-tokoh penting dalam sejarah Indonesia, bisa baca Pembentuk Sejarah: Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad, terbitan KPG, Freedom Institute dan Komunitas Salihara.”

Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad atau akrab disapa GM lahir di Kabupaten Batang, 29 Juli 1941. Sebagai seorang intelektual, Goenawan Mohamad menempati posisi khas dalam perkembangan pemikiran seni di Indonesia. Ia berseberangan dengan Sutan Takdir Alisjahbana maupun Pramoedya Ananta Toer dalam hal hubungan seni dengan politik dan pembangunan. Tapi, seperti Takdir, ia mengolah filsafat Barat dengan tekun dan bergairah. Karya-karya Goenawan Mohamad dapat dikatakan tak lekang oleh waktu, karena meskipun ditulis pada masa kemarin, pemikirannya selalu relevan hingga saat ini. Ia sangat dikenal sebagai penulis Catatan Pinggir, esai-esai pendek di majalah Tempo yang sampai kini telah dibukukan dalam 14 jilid. Beberapa karya-karya terbaru Goenawan Mohamad adalah Estetika Hitam: Adorno, Seni, Emansipasi (2021); Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk: Esai-Esai Seni Rupa dan Filsafat Seni 1961-2021 (2021); Eco dan Iman (2021); Dari Sinai sampai Al-Ghazali (2021); dan Albert Camus: Tubuh dan Sejarah (2021).

Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *