MATI MATI MATI | Cerita Donny Anggoro

Ada sebuah pengalaman yang ketika sudah dewasa saya sulit melupakannya. Ini terjadi ketika saya masih berumur 7 tahun di kampung. Menjelang magrib sehabis main sepakbola, pulangnya saya diajak Bapak pergi ke rumah kawannya. Wajahnya kusut. Bapak masih mengenakan kemeja birunya, kemeja yang tiap pagi kulihat sebelum pergi ke kantor. Hanya saya yang diajaknya, karena dia tampak tergesa-gesa.

“Tunggu dulu, itu sudah kubikinkan kopi,” kata Ibu.

“Nggak usah,” kata Bapak.

“Kenapa pergi lagi?”  tanya ibu.

“Oh, ini sangat mendesak, Cak Tarno meninggal,” jawab Bapak.

“O, teman sekolahmu dulu itu? Rumahnya cukup jauh, lho,”

“Ya, aku mau langsung ke rumahnya, melayat, nggak apa-apa jauh, nanti pulangnya sekalian ambil jahitan baju seragamnya Bagas di Jalan Kedondong, katanya hari ini sudah selesai?”

Ibu membuka tas lalu menyodorkan kertas kepada bapak.

“Mau pergi ke mana, Pak?” tanya saya.

Bapak tak menjawab. Setelah memasukkan kertas yang dikasih ibu ke dalam tas kerjanya, Bapak menggandeng saya. Saya lalu naik dibonceng Vespa Bapak. Kami tiba di sebuah rumah yang cukup besar di Jalan Kedondong. Oh, teman Bapak yang tadi dia bilang namanya Cak Tarno itu meninggal. Saya belum pernah ketemu Cak Tarno.

Di rumah itu sudah berkumpul banyak orang. Sedu sedan terdengar, doa-doa dilantunkan. Ada ibu-ibu berkerudung hitam, pasti itu ibunya, eh, ternyata  istrinya Cak Tarno, batin saya.  Saya duduk di samping Bapak. Hm, rumah yang besar. Pandangan saya beralih ke foto-foto yang terpajang di ruang tamu. Cak Tarno, sahabat bapak, teman kuliah Bapak waktu di UGM, begitu yang saya dengar kasak-kusuk dari orang-orang yang hadir di situ.

Sampai pada saatnya Bapak meninggalkan tempat duduknya, menyalami Bu Tarno dan anggota keluarganya yang hadir di situ. Di rumah itu tidak ada anak kecil atau yang sebaya dengan saya. Semuanya orang dewasa. Saya tertegun, wah, pasti ini temannya Bapak penting sekali, ya. Sampai pulang kerja Bapak tidak sempat ngopi, cuma pamit sebentar sama Ibu terus langsung ke rumahnya, batin saya.

“Relakan saja, Nak. Jikalau sudah saatnya dipanggil Yang Maha Kuasa, kita tak bisa menolak. Memang kematian adalah peristiwa yang paling tidak disukai semua orang, bahkan semua makhluk hidup. Semua akan kembali kepada-Nya… Maka, yang terjadi, terjadilah setelah sudah sekian lama dia menahan sakitnya….”

Sekonyong-konyong terdengar suara lirih seorang laki-laki seumuran Bapak. Mungkin dipikirnya saya mengenal Cak Tarno. Tapi ketika saya melihat ke arah suara itu mendadak tenggorokan saya tercekat. Ternyata orang yang  tadi ngomong sama saya itu… dan karena saya tidak mau mengganggu suasana khusyuk orang-orang sedang berdoa kematian, saya cuma menahan saja begitu kuat, sangat kuat, bahkan kuat sekali… perasaan kekagetan saya itu.

Betapa saya tak kaget karena ketika saya menoleh ke belakang….suara itu tak lain adalah suara Cak Tarno sendiri! Berkali-kali saya mengucek-ngucek mata saya sendiri berharap ini hanya salah lihat. Tapi semakin yakin saya itu adalah orangnya.  Astagfirullah, bukankah dia sudah meninggal? Pandangan saya berganti-ganti dari wajah yang ada dalam foto ruang tamu, sampai jenazah di depan yang sedang didoakan… dan…. sebentar lagi akan dibawa ke liang lahat. Jantung saya berdegup kencang. Yang mengherankan, di sekitarku orang-orang tetap berdoa, dan setelah doa seperti seolah tak terjadi apa-apa. Ya, Tuhan, bukankah dia…. saya pejamkan mata saya. Begitulah.

Dan pengalaman itu terus membekas di benakku. Saya mengingatnya, eh, mengenangnya sebagai, ah, semacam pengalaman misterius, yaitu pernah bertemu dan bercakap-cakap dengan orang yang sudah meninggal, bahkan ketika saya sedang datang dan ikut melayatnya…

Sejak itu saya tak pernah membicarakannya, terutama kepada teman sekolah atau saudara sepupu yang punya pengalaman “pernah melihat hantu”, “pernah ketemu setan” atau “dengar-dengar cerita orang di situ dulu ada setan”, dan lain-lain. Akan tetapi, saya tidak terlalu takut, misalnya, diajak nonton film horor, film setan, dan film-film gaib mulai dari Sundel Bolong, Kuntilanak, Dracula, sampai sekarang yang terkenal film The Conjuring itu. Karena saya tahu itu cuma cerita fiksi, imajinasi seseorang yang diwujudkan menjadi gambar bergerak. Pengalaman itu terbayang sampai saya dewasa, terutama kalau di sekitar saya lagi membicarakan soal “ketemu setan”.

“Kamu nggak takut nonton film setan?” tanya Surti, pacar saya yang sebentar lagi lulus Fakultas Psikologi. “Nggak, tapi karena saya takut saya diam saja. Baru sama kamu aja saya cerita.”

“Wah, menarik itu, kamu hanya menyimpan ketakutanmu, sedangkan kamu masih bisa menikmati menonton film-film yang menyeramkan, berarti…”

“Berarti apa?” potong saya, ketus. “Enak saja, berarti pengalaman saya ini jadi bahan tesismu ya, huh, mentang-mentang kuliah psikologi…” Surti ketawa. “Ah, sudahlah, tiap orang punya pengalaman dan ketakutannya sendiri,” hibur Surti.

Begitulah. Dan saya masih terbayang, kala itu, pulang dari rumah Cak Tarno, Bapak baru menangis kehilangan sahabatnya, sedangkan waktu di rumah Cak Tarno tadi, Bapak biasa saja, masih mampu menahan diri. Saya sendiri ketika sudah sampai di rumah, juga jadi tak bergairah melakukan apa pun. Saya tak habis pikir pernah bertemu dan bicara dengan orang yang sudah meninggal.

Ibu pun tak pernah saya ceritakan pengalaman ini. Sampai beranjak dewasa, saya terus menyimpannya sebagai pengalaman menakutkan. Bertahun-tahun kemudian, saya akhirnya hanya berani cerita kepada Surti, pacar saya itu.

“He, tapi pengalaman begitu, nggak sampai kebawa mimpi, kan. Ya, berarti itu masih baik-baik saja, tidak usah dikhawatirkan,” balas Surti. “Nggak, sih,” jawab saya. “Ah, ya tetap mengkhawatirkan, kan saya jadi sulit tidur, terutama kalau begini nih, misalnya di saat kemarin-kemarin ini teman atau saudara saya meninggal, tiba-tiba saya jadi ingat pengalaman masa kecil itu…”

“Terus, teman-teman dan saudara yang sudah meninggal itu, waktu kamu juga melayat atau pergi ke rumah sakit atau kuburannya, kamu nggak menemui pengalaman yang sama, kan?” tanya Surti sambil memainkan poni rambutnya.

“Nggak sih, tapi saya akhirnya memilih tidak ikut pergi ke acara pemakaman, ke rumah duka, ke rumah sakit, ke kuburan, ke krematorium. Ziarah pun takut. Takut saya ketemu orang yang sudah meninggal, seperti Cak Tarno itu. Kalau ditanya kok nggak ikut, saya ya, bikin-bikin alasanlah, yang bisa dimengerti mereka kenapa saya nggak datang…”

Pernah Surti bilang kepada saya supaya pergi konsultasi psikologi saja, terutama ketika saya mengaku kepadanya selalu merasa trauma kalau misalnya Bapak atau Ibu menyebut nama Cak Tarno yang sebenarnya saya tidak terlalu mengenalnya. Bapak dan Ibu punya kenangan tersendiri dengannya, sedangkan saya sendiri tidak.

“Konsultasinya jangan sama aku, sama yang lain saja yang lebih profesional,” kata Surti.

“Kenapa nggak sama kamu aja?”

“Aku belum lulus…. memang sih trauma pada dirimu masih terbilang ringan, sebenarnya masih bisa ditanggulangi, kamu hanya teringat kalau Bapak atau Ibu menyebut nama itu, kan?”

Dan akhirnya saya menuruti anjuran Surti.

Waktu demi waktu berlalu, dan hingga hari ini saya masih menyembunyikannya. Yang penting bukankah hal seperti itu tidak usah dibicarakan lagi? Lagi pula apa urusanku dengan Cak Tarno? Dia kan kerabat Bapak, nggak ada hubungannya denganku setelah Bapak dan Ibu melahirkan aku? Bapak pun juga tidak punya hutang piutang dengannya. Maka, ya, baiklah. Yang penting tak usah dibicarakan lagi sampai saya mulai menyingkirkannya sejauh mungkin dari benakku.

Sampai pada suatu ketika, Bapak sakit keras dan harus diopname di RS. Ginjalnya parah, tapi setelah dalam pemeriksaan, kondisi Bapak masih bisa menerima cangkok ginjal. Ini memang butuh waktu, tapi saya optimis Bapak bakal sembuh karena dua hari yang lalu dokter mengabarkan sudah bisa mendapatkan pendonor. Operasi bisa dilakukan tiga hari lagi, kata dokter. Baiklah, kata saya sambil melirik ke arah Ibu.

Ini sudah hampir tiga minggu Bapak di RS. Saya dan Ibu bergantian menjaga. Suatu malam, sebelum tidur, Bapak bicara dengan suara lirih. “Aduh, padahal Bapak sudah berusaha keras hidup sehat, tidak merokok dan minum minuman alkohol seperti Cak Tarno….”

Saya tersentak begitu Bapak menyebut nama itu lagi. Nama yang sudah lama tak kudengar, mendadak saya teringat lagi pengalaman masa bocah. Aduh, pengalaman yang sangat mengerikan, bahkan begitu mengerikannya, saya tidak berani menceritakannya bahkan kepada Bapak…

“Cak Tarno… itu teman baik Bapak… paling pintar di kampus, setia kawan, tapi hidupnya begajulan, suka main perempuan, suka ke pesta… suka… makanya dia meninggal karena… karena… sakit paru-paru…”

“Tapi Bapak kan nggak begitu…. Bapak… Pak… hmmm…. Bapak kan sakitnya lain… bertahanlah, Pak, errr, nganu… Cak Tarno kan… sudah di sana…,” kata saya mencoba menghibur, walau dada ini langsung bergemuruh mendengar nama Cak Tarno disebut-sebut Bapak.

Tak lama kemudian, Bapak tertidur. Saya pun tertidur. Keesokan pagi, setelah dokter yang merawat Bapak datang ke kamar, saya bersiap-siap hendak pergi ke kantor. Kebetulan rumah sakit dan kantor saya tidak jauh, paling hanya makan waktu sepuluh menit naik sepeda motor.

Ketika saya hendak keluar kamar, dari dalam kamar Bapak saya melihat bayangan laki-laki di kaca jendela, tampaknya dia boleh masuk setelah dokter mengijinkannya. “No, No, Marno, ini aku datang,” kata laki-laki itu sambil memanggil Bapak.  Pintu kamar terbuka, saya kaget. Itu… Cak Tarno!

Saya benar-benar syok, karena pengalaman trauma masa lalu sekonyong-konyong terjadi kembali di depan mata saya! Saya takut, sungguh takut…. sampai berpikir apakah saya sekarang sudah mau mati juga, terus ketemu Cak Tarno? Badan saya lemas, mata saya berkunang-kunang. Kali ini saya yang pingsan.

***

“Gas, Bagas, kamu kenapa….”

Surti ada depan saya, bersama seorang suster.

“Hhhh…”

“Ini kamu masih di rumah sakit… Di UGD… saya tadi telpon kirain sudah di kantor… kamu habis tidur nemenin Bapak, kan… Kamu kenapa….,” kata Surti cemas.

“Surti… ternyata… memang benar… ada… ada… orang mati bisa hidup kembali…”

“Kamu ngomong apaan, sih??”

“Cak Tarno tidak mati… orangnya masih hidup… tadi ke kamar Bapak…”

“Itu bukan Cak Tarno, Bagas!”

“Lah, terus siapaaa…??”

“Itu Cak Trisno, kakaknya Cak Tarno… mereka saudara kembar! Kamu keliru!”

Tangerang, Mei 2020.

Donny Anggoro pernah malang-melintang sebagai editor, penerjemah lepas, dan wartawan di berbagai media daring/cetak, antara lain editor di Lembaga Bhinneka Nusantara, Surabaya (2012), dan penerjemah untuk The Borneo Institute, Palangkaraya (2016). Bersama grup  teater Gong Tiga, pada 2015 mendapat sponsor dari Galeri Indonesia Kaya sebagai penulis naskah drama musikal “Gumam Gugat Gigit”. Sejak 2011-sekarang, mengelola toko buku dan musik “Bakoel Didiet” di Jakarta. Sejak awal 2020, aktif di Sahabat Seni Nusantara.

*Gambar utama: Foto Karolina Grabowska dari Pexels

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *