KOTA PENUH GEREJA
oleh Donald Barthelme
terjemahan Rio Johan
“BETUL,” Pak Phillips berkata, “kota kami ini kota yang penuh gereja, memang.”
Cecelia mengangguk, mengikuti arah tangannya yang menunjuk. Kedua sisi jalan dengan padat dibarisi oleh gereja, berdiri berdekat-dekatan dalam berbagai macam gaya arsitektur. Pembaptis Bethel berdiri di samping Pembaptis Mesiah Kudus Merdeka, Episkopal Santo Paul di sebelah Kovenan Anugerah Evangelis. Selanjutnya ada Sains Kristus Pertama, Gereja Tuhan, Gereja Semua Jiwa, Bunda Kemenangan Kami, Perhimpunan Persahabatan, Majelis Tuhan, dan Gereja Rasul-rasul Kudus. Puncak dan atap Menara tiap-tiap bangunan tradisional tersebut selanjutnya didesakkan pada hamparan luas imajinasi desain-desain “kontemporer”.
“Semua orang di sini sangat menaruh perhatian pada urusan-urusan gereja,” Pak Phillips berkata.
Apa aku bakal cocok? Cecelia bertanya-tanya. Dia datang ke Prester untuk membuka kantor cabang sebuah usaha penyewaan mobil.
“Saya ini tidak betul-betul religius,” katanya pada Pak Phillips, yang memang bekerja di bisnis real-estate.
“Sekarang memang tidak,” balasnya. “Belum saja. Tapi kami punya banyak anak-anak muda yang baik di sini. Anda akan cepat berintegrasi dengan masyarakat. Masalahnya sekarang ini, di mana Anda akan tinggal? Kebanyakan orang,” katanya, “tinggal di gereja pilihannya. Semua gereja kami punya kamar ekstra. Saya bisa tunjukkan beberapa apartemen di menara lonceng kepada Anda. Kira-kira berapa kisaran harga yang Anda sanggupkan?
Mereka berbelok di sudut dan dihadapkan pada lebih banyak lagi gereja. Mereka melintasi Gereja Santo Lukas, Gereja Pencerahan, Ortodoks Semua Jiwa Ukraina, Santo Clement, Air Mancur Pembaptis, Uni Kongregasi, Santo Anargyri, Kuil Emanuel, Gereja Pertama Reformasi Kristus. Mulut semua gereja tersebut menganga. Di dalamnya, cahaya-cahaya redup terlihat.
“Saya sanggup sampai seratus sepuluh,” kata Cecelia, “Apa di sini ada bangunan lain yang bukan gereja?”
“Tidak ada,” kata Pak Phillips. “Tentu saja kebanyakan gereja-gereja indah kami mengambil peran ganda sebagai wadah lain.” Dia menunjuk bagian depan yang menawan suatu Gereja Georgia. “Yang itu,” katanya, “rumah bagi Persatuan Metodis sekaligus Dewan Pendidikan. Yang di sebelahnya, Pantekosta Antiokhia yang juga punya jasa cukur rambut.”
Betul memang. Tiang tukang cukur bergaris merah-putih terpacak di posisi yang tak terlalu mencolok di depan Pantekosta Antiokhia.
“Apa orang sering menyewa mobil di sini?” tanya Cecelia. “Atau mereka mau, andai ada tempat yang memudahkan mereka untuk menyewa mobil?”
“Oh, saya tidak tahu itu,” kata Pak Phillips. “Menyewa mobil mengindikasikan bahwa Anda hendak pergi ke suatu tempat. Kebanyakan orang-orang di sini sudah nyaman dengan tempatnya. Kami punya banyak aktivitas. Saya sendiri tidak akan memilih usaha penyewaan mobil kalau saya hendak memulai hidup di Prester. Tapi Anda akan baik-baik saja,” Dia menunjukkan satu bangunan kecil yang sangat modern yang bagian depannya terbuat dari batu bata keras, besi, dan kaca. “Itu Santo Barnabas. Kumpulan orang-orang baik di sana. Makan malam dengan spageti yang nikmat.”
Cecelia bisa melihat sejumlah kepala mengintip ke luar dari balik jendela. Tapi ketika mereka menyadari dia tengah menatap balik mereka, kepala-kepala tersebut menghilang.
“Apa menurut Anda sehat sebanyak ini gereja dikumpulkan di satu tempat?” dia bertanya pada pemandunya. “Ini tampaknya tidak … seimbang, kalau Anda tahu maksud saya.”
“Kami memang terkenal akan gereja-gereja kami,” Pak Phillips membalas. “Mereka tidak berbahaya. Nah, kita sudah sampai.”
DIA MEMBUKA PINTU dan mereka mulai mendaki banyak anak tangga yang berdebu. Pada akhir pendakian mereka pun tiba di suatu ruangan dengan ukuran yang bagus, dengan jendela-jendela pada keempat sisinya. Ada ranjang, meja, dua kursi, lampu, dan karpet. Dua lonceng perunggu besar tergantung tepat di pusat ruangan.
“Pemandangan yang luar biasa!” seru Pak Phillips. “Kemari dan lihatlah.”
“Apa mereka betul-betul membunyikan lonceng ini?” tanya Cecelia.
“Tiga kali sehari,” kata Pak Phillips, tersenyum, “Pagi, siang, dan malam. Tentu saja ketika mereka berdentang Anda harus cepat-cepat menjauh. Kepala Anda bisa terhantam bayi-bayi besi ini dan begitulah pokoknya.”
“Ya Tuhan,” kata Cecelia spontan. Lantas dia melanjutkan, “Orang mana yang mau tinggal di apartemen lonceng. Karena itu apartemen lonceng biasanya kosong.”
“Begitu menurut Anda?” kata Pak Phillips.
“Anda cuma bisa menyewakannya pada orang-orang baru di kota,” Cecelia membalas, menuduh.
“Saya tak akan melakukan itu,” kata Pak Phillips. “Itu bertentangan dengan semangat persekutuan Kristiani.”
“Kota ini agak seram, Anda tahu itu?”
“Mungkin saja, tapi Anda tidak bisa serta-merta menghakimi. Maksud saya, Anda baru di sini, ‘kan? Anda harus waspada ketika berjalan-jalan, untuk sementara waktu. Kalau Anda tidak mau apartemen atas, saya bisa tunjukkan yang di bawah tanah di Presbiterian Pusat. Anda harus berbagi ruang dengan orang lain. Ada dua wanita yang tinggal di sana sekarang.”
“Saya tidak mau berbagi,” kata Cecelia. “Saya mau tempat untuk saya sendiri.”
“Kenapa begitu?” pria real-estate itu bertanya penuh penasaran. “Apa sebabnya?”
“Sebabnya?” tanya Cecelia. “Tidak ada sebab khusus. Saya cuma mau—”
“Itu tidak lazim di sini. Kebanyakan orang tinggal dengan orang lain. Para suami dan para istri. Para anak laki-laki dengan ibunda-ibunda mereka. Orang-orang selalu punya teman sekamar. Itu pola umumnya.”
“Tetap saja, saya lebih suka punya tempat untuk saya sendiri.”
“Itu sungguh tidak lazim.”
“Apa Anda punya tempat seperti itu? Selain menara lonceng, maksud saya?”
“Saya kira ada beberapa,” kata Pak Phillip, dengan keengganan yang terlihat jelas. “Saya rasa saya bisa tunjukkan satu atau dua.”
Dia berhenti sejenak.
“Hanya saja, kami punya nilai-nilai yang berbeda, mungkin, dari beberapa masyarakat sekitar,” dia menjelaskan. “Kami sudah sering diberitakan. Kami masuk tivi selama empat menit di Berita Sore CBS. Tiga atau empat tahun yang lalu. Kota Penuh Gereja, begitu mereka menyebutnya.”
“Ya, tempat untuk saya sendiri sangat esensial,” kata Cecelia, “kalau saya mau bertahan tinggal di sini.”
“Sikap Anda barusan boleh dibilang lucu,” kata Pak Phillips. “Jadi Anda masuk denominasi apa?”
Cecelia diam. Faktanya, dia tidak masuk golongan apa-apa.
“Saya tanya, Anda denominasi apa?” Pak Phillips mengulang.
“Saya bisa mewujudkan mimpi saya,” kata Cecelia. “Saya bisa mimpikan apa saja yang saya mau. Kalau saya ingin bermimpi sedang bersenang-senang di Paris atau di kota lainnya, yang perlu saya lakukan cuma tidur dan saya akan memimpikan mimpi tersebut. Saya bisa memimpikan apa yang saya mau.”
“Jadi, apa yang Anda mimpikan, seringnya?” Pak Phillips bertanya, menatap lawan bicaranya dengan seksama.
“Biasanya hal-hal seksual,” balas Cecelia. Dia tidak takut pada pria tersebut.
“Prester bukan kota semacam itu,” kata Pak Phillips sambil membuang muka.
Mereka pun menuruni tangga.
PINTU-PINTU TIAP GEREJA terbuka lebar, di masing-masing sisi kiri dan kanan jalan. Orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil keluar dan berdiri di sana, di depan masing-masing gereja, menatapi Cecelia dan Pak Phillips.
Seorang pemuda maju dan berteriak, “Semua di kota ini sudah punya mobil! Tidak ada orang di kota ini yang tidak punya mobil!”
“Betul begitu?” Cecelia bertanya pada Pak Phillips.
“Ya,” jawabnya. “Betul. Tidak ada yang mau menyewa mobil di sini. Tidak untuk seratus tahun ke depan.”
“Maka saya tidak akan tinggal di sini,” kata Cecelia. “Saya akan pergi ke tempat lain.”
“Anda harus tinggal,” kata Pak Phillips. “Sudah ada kantor penyewaan mobil untuk Anda. Di Gereja Pembaptis Gunung Moriah, di lantai lobi. Sudah ada loket dan telepon dan satu rak penuh kunci mobil. Dan satu kalender juga.”
“Saya tidak akan tinggal,” kata Cecelia. “Tidak kalau tidak ada alasan yang masuk akal untuk tinggal.”
“Kami menginginkan Anda,” kata Pak Phillips. “Kami menginginkan Anda berdiri di belakang loket agen penyewaan mobil sepanjang jam kerja. Itu akan membuat kota ini terasa lengkap.”
“Saya tidak mau,” kata Cecelia lagi. “Jangan saya.”
“Anda harus. Ini esensial.”
“Saya akan memimpikan,” balasnya, “hal-hal yang Anda tak akan suka.”
“Kami tidak puas,” kata Pak Phillips. “Amat, sangat tidak puas. Ada yang salah di sini.”
“Saya akan mimpikan Rahasia,” kata Cecelia. “Anda akan menyesal.”
“Kami tidak berbeda dengan kota-kota lainnya, hanya saja kami sempurna,” kata pria itu. “Ketidakpuasan kami hanya bisa dilawan dengan kesempurnaan. Kami memerlukan gadis penyewaan mobil. Seseorang harus berada di balik loket itu.”
“Akan saya mimpikan kehidupan yang Anda paling takutkan,” Cecelia mengancam.
“Anda bagian dari kami,” kata pria itu, mencengkeram tangan lawan bicaranya. “Gadis penyewaan mobil kami. Menurutlah. Tidak ada lagi yang bisa Anda lakukan.”
“Tunggu saja,” kata Cecelia.*
Donald Barthelme (1931–1989) adalah seorang penulis asal Amerika Serikat yang dikenal dengan gaya fiksi pendek pascamodernnya yang sarat akan kebermain-mainan.

RIO JOHAN lahir di Baturaja, Sumatra Selatan, 28 Agustus 1990. Buku pertamanya, kumpulan cerpen Aksara Amananunna, dipilih oleh Majalah Tempo sebagai Buku Prosa Terbaik 2014. Novelnya, Ibu Susu, memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 kategori Karya Pertama atau Kedua. Novel terbarunya berjudul Buanglah Hajat pada Tempatnya (2020).
Foto Utama oleh Ernest Brillo di Unsplash