KELOPAK

oleh Ida Bagus Gede Pradnya Arinanta

Mahoni melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ini sudah yang kesekian kali matanya menatap jam berwarna silver dengan hiasan permata itu. Hatinya tak tenang. Takut-takut bila harus berurusan dengan masa depannya.

Jika bukan karena Pak Sudarsana yang sedang mengisi kelas sekarang, mungkin Mahoni sudah bergegas pergi, mengingat hari ini ia ada janji bertemu dengan seseorang. Menginjak semester akhir memaksa Mahoni untuk selalu berada di kelas, ia tak mau ambil resiko jika terjadi sesuatu pada nilainya nanti.

Baiklah, semestinya ia harus bersabar sekarang. Mungkin, saat-saat seperti ini ia mempunyai kesempatan berubah pikiran. Pertemuannya dengan seseorang itu akan menentukan jalan hidupnya. Seluruh takdirnya akan terstruktur ketika ia mengucapkan keputusannya.

Mahoni menarik napas. Ini berat. Sungguh berat. Selama hidupnya, tak pernah sekali pun ia bisa memahami cara kerja dari sebuah takdir. Haruskah penyelesaian kecemasannya selama ini, berakhir dengan cara seperti ini? Seberat ini?

“Baiklah. Sudah cukup pertemuan kali ini. Mungkin ini pertemuan terakhir saya dengan kalian di kelas ini. Semangat buat skripsinya.” Pak Sudarsana tersenyum, lantas meraih tas laptopnya dan segera melenggang pergi.

Mahoni menyadarkan jiwanya yang sedang tersesat di dalam belenggu kekhawatiran. Ia menatap sekeliling, memperhatikan teman-temannya yang sudah bersiap-siap untuk keluar kelas, merapikan segala alat tulis yang tercecer di meja masing-masing.

“Duluan, Day.” Seseorang menyenggol bahu Mahoni. Mahoni tersenyum, mengangguk.

Sebelum ia ditinggalkan sendirian di dalam kelas, perempuan yang hampir menginjak usia dua puluh dua tahun itu segera membereskan alat tulisnya, memasukkan secara paksa ke dalam tas berwarna kuning.

Ia melirik jamnya. Lagi. Kecemasannya semakin menjadi-jadi seiring jarum detik terus berputar. Mahoni menggigit bibir bagian bawahnya. Hyang Widhi, berikanlah aku keputusan yang terbaik. Sekarang, ciptaan-Mu sedang memohon, dengarlah permintaanku ini.

Dengan sepasang kaki yang terasa lemas, Mahoni mencoba untuk melangkah keluar kelas. Ada sisa waktu yang tak banyak untuk dirinya segera menuju tempat pertemuannya dengan seseorang itu. Ia harus cepat. Di keadaan yang super cemas ini, waktu bisa saja berbuat curang. Hanya di keadaan yang seperti ini, manusia mampu menghargai tiap detik yang berlalu.

Langkah kaki Mahoni mengantarkan perempuan berambut gelombang itu keluar dari kawasan kampusnya.

Baiklah, entah karena terlalu serius bercemas-ria, atau memang Mahoni tak peduli dengan cuaca kali ini, genangan air terlihat berkubang di sana-sini. Langit baru saja menurunkan hujan. Mahoni melihat sekelilingnya, aneka jas hujan dengan berbagai warna terlihat hilir mudik di jalan beraspal itu. Meski hujan sudah reda dari tadi, oh hei, masih gerimis rupanya. Pantas saja pengendara-pengendara motor itu masih setia menggunakan jas hujan.

Lagi-lagi Mahoni tersadar, bajunya sudah hampir basah karena gerimis. Entahlah, sebenarnya berapa persentase kesadaran Mahoni saat ini. Sejak tadi ia yakin sudah sadar dan sudah kembali ke dunia ini, tapi kenapa ia tak tahu jika gerimis hampir saja membuat dirinya basah kuyup? Sebelum tubuhnya benar-benar basah, Mahoni memutuskan untuk berlari ke tempat tujuan. Tak jauh, hanya beberapa meter dari gerbang kampus.

Setelah berkelana bersama gerimis, yang memaksa Mahoni berulang kali merapatkan jaket jeans yang dikenakannya, akhirnya tubuh perempuan itu bersandar di sebuah kafe. Cukup luas, dengan lampu-lampu temaram yang dilindungi dengan sebuah sangkar.

Mahoni membuka pintu kafe, diiringi dengan suara lonceng yang memaksa seluruh manusia di dalamnya menoleh ke arah pintu.

“Hai, Dayu.” Sapa seorang perempuan, berdiri di belakang meja kasir. “Kehujanan, ya? Mau kuambilkan handuk?”

Mahoni menggeleng. “Nggak usah, Tan.”

Perempuan itu, Intan. Pemilik kafe ini. Intan orang yang baik, pekerja keras, dan cantik. Perempuan itu sudah merintis kafe ini sejak ia berusia sembilan belas bersama teman-temannya. Dan sampai sekarang, saat usianya sudah menginjak dua puluh enam, kafe ini tetap memberi kesan yang sama, saat pertama kali Mahoni ke sini. Tak ada ornamen yang diubah, bahkan tanaman kaktus hias yang dipajang di sebuah papan di sebelah kasir itu tak tergeser satu senti pun.

Mahoni yakin, Intan adalah seorang perempuan yang perfeksionis. Usaha Intan selama ini sudah membuat kafenya terkenal di banyak mahasiswa kampus.

Mahoni duduk di sebuah meja di sisi jendela dengan dua kursi yang saling berhadapan. Ini spot favoritnya jika berkunjung ke kafe Intan. Nyaman sekali bila menghabiskan waktu di sini, sembari meminum secangkir kopi dan memperhatikan banyak manusia yang berlalu lalang di jalan raya.

“Mau pesan apa, Day?” tahu-tahu Intan sudah berdiri di sebelah Mahoni yang sedang melamun itu.

“Eh,” Mahoni terkesiap. “Pesannya nanti aja, ya. Aku mau nunggu seseorang dulu.”

Intan tersenyum. “Oke.” Lantas melenggang pergi.

Suara syahdu alm. Chrisye mengisi tiap sudut kafe, mengiring tiap tetes gerimis dengan lagu “Sendiri” yang dinyanyikannya.

Mahoni menatap sebelahnya, melihat tetes gerimis yang sesekali menabrak kaca di sisinya. Cantik sekali.

Kling.

Suara notifikasi memaksa Mahoni untuk melihat ponselnya. Satu pesan masuk dari seseorang.

[Kamu udah di sana?]

Mahoni bergegas meraih ponselnya, lantas kedua ibu jarinya mengetikkan sesuatu. Send.

[Okay, aku kesana sekarang.]

Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, merasakan segala kesejukan mengaliri rongga paru-parunya. Ritme jantungnya sudah tak karuan sejak tadi.

Tak lama, suara lonceng terdengar. Seisi kafe menoleh ke arah pintu. Mahoni mendapati sesosok figur laki-laki yang tengah tersenyum ke arahnya. Seseorang itu telah datang.

“Hei. Nunggu lama, ya?” tanya laki-laki itu, menghampiri meja Mahoni dan segera duduk di hadapannya.

Mahoni menggeleng. Bibirnya berusaha untuk tersenyum, mencoba untuk menutupi ritme jantungnya yang tiap detik semakin tak karuan.

“Kamu kehujanan, nggak?” tanya laki-laki itu lagi, kali ini tangannya bergerak melepas jaket yang dikenakannya. Kemudian, terlihat sebuah name tag yang dikalungkan di lehernya:

MAHENDRA
– PANITIA –

“Acaranya sudah selesai?” tanya Mahoni.

“Belum. Tadi lagi pengumuman pemenang, aku tinggal aja,” ucap Mahendra, wajah manisnya terlihat sempurna di mata Mahoni.

Laki-laki ini bahkan rela meninggalkan tanggung jawabnya untuk diriku. Hyang Widhi, sekali lagi bantulah aku. Mahoni berulang kali membatin, mengucapkan kata “bantulah” berulang kali.

“Oh iya, kamu mau ngomong apa?” tanya Mahendra. Rupanya tak ada nada selidik yang terselip di pengucapannya.

Mahoni tersekat. Wajahnya berubah pias. Jantungnya makin tak karuan.

***

Nama lengkapnya Ida Ayu Made Mas Mahoni, manusia bumi biasa memanggilnya Dayu atau Gek Mas, terserah, toh dia akan menyahut jika dipanggil. Mahoni terlahir di keluarga Brahmana, kasta tertinggi di masyarakat Bali.

Sementara Mahendra, laki-laki dengan tampang manis itu adalah pacarnya. I Made Mahendra Arisaputra. Seorang laki- laki Sudra yang sebentar lagi akan wisuda.

Hubungan mereka berdua sudah menginjak lima tahun. Lebih tepatnya lima tahun dua bulan. Cukup lama. Namun, tak ada yang tahu bagaimana hubungan mereka di masa depan.

Mahoni selalu merasa bodoh ketika menerima Mahendra sebagai pacarnya saat masih SMA dulu. Ia berulang kali mencoba menjauh, tapi apa daya, wajah manis itu selalu merasuk ke dalam hati Mahoni, merusak segala konsentrasi Mahoni. Wajah itu mampu membuat pertahanan hati Mahoni runtuh.

Mengetahui Mahoni memiliki hubungan dengan laki-laki Sudra, Kenari, kakak Mahoni, langsung menyerang dirinya dengan berbagai kata-kata yang nyelekit. Membubuhi Mahoni dengan wejangan-wejangan kuno nan takhayul itu. Namun, Mahoni tak bisa mengelak, wejangan itu keluar dari mulut seseorang yang mengalaminya sendiri.

Kenari nekat menikah dengan laki-laki Sudra. Menikah diam-diam tanpa restu dari Ayah dan Ibu. Entah pun karena kelalaian atau memang karena leluhur murka, struktur rumah tangga Kenari runtuh. Suaminya mengalami kecelakaan ketika berada di perjalanan menuju rumah sakit, kala itu Kenari baru saja melahirkan. Suami Kenari meninggal, menyisakan Kenari dan anaknya hidup sendiri dalam kesunyian. Ayah dan Ibu sudah tak menganggapnya lagi. Hanya Mahoni yang mau memeluknya. Kedua orang tuanya menganggap pernikahan itu sebagai aib.

Entah takhayul itu benar atau tidak, tapi yang pasti segala kesusahan dan rintangan hidup Kenari semakin menjadi-jadi semenjak ia menikah dengan laki-laki Sudra itu. Kawin nyerod, turun kasta akan selalu menjadi pembicaraan masyarakat sosial.

“Kamu sudah melihatku, kan, Dik? Diriku sudah tak dianggap manusia lagi, bahkan oleh orang yang membangun sisi kemanusiaanku,” kata Kenari saat itu. “Aku orang asing sekarang. Kamu sudah menyaksikan semuanya, kan? Aku sungguh berharap padamu. Jangan sekali-kali mempunyai hubungan dengan laki-laki Sudra. Jangan mempermalukan Aji1 dan Ibu di hadapan keluarga Griya2, juga di hadapan masyarakat.”

Mahoni hanya diam menerima wejangan-wejangan halus itu.

“Pernikahan itu hal sakral, Dik. Kamu nggak hanya menikah dengan laki-laki itu saja, kamu juga akan menikah dengan semua orang terdekatnya.” Kenari tak ada henti-hentinya berceloteh. “Lepaskan Mahendra sekarang juga, sebelum rintangan hidupmu semakin besar.”

Tak hanya dari Kenari saja Mahoni dapat wejangan, tapi dari Ibunya juga.

Malam itu, ketika kabar hubungan Mahoni dan Mahendra sudah tersebar dan diketahui seluruh keluarga Griya, Ibu menangis. Bulir-bulir air mata terjatuh pelan, membuat hati Mahoni tersayat dibuatnya.

“Kalian berdua memang sama.” Katanya waktu itu. “Apa nggak cukup hanya kakakmu saja yang nyerod? Apa kamu nggak mikir dosa apa yang Ibu tanggung karena pernikahan itu?”

Mahoni diam. Salahkah dirinya menentukan pilihan hatinya sendiri?

“Ibu malu. Malu sama keluarga, malu sama masyarakat. Apa kamu nggak kasihan sama Ibu yang selalu jadi bahan obrolan di banjar? Bahkan Ibu sering dicibir sama Tuniang3, Ibu dibilang nggak peduli sama masa depan anaknya sendiri. Apa kamu nggak kasihan sama Ibu, Gek?”

Berulang kali. Wejangan-wejangan yang sama juga dilontarkan oleh beberapa kerabat Mahoni. Dengan kalimat yang sama seperti kalimat Kenari, bahkan intonasinya pun sama. Rasanya, Mahoni saat itu adalah seorang penjahat yang baru saja ketahuan mencuri perhiasan emas, disudutkan dengan berbagai macam kalimat yang menohok, menusuk seluruh pori-porinya.

“Cari yang Brahmana.” Selalu menjadi kalimat yang menciutkan batin Mahoni.

Padahal, Mahoni ingin sekali memperkenalkan Mahendra di hadapan kedua orang tuanya, di hadapan seluruh keluarga Griya. Menyebut namanya dengan bangga.

Tapi, bisakah keinginannya itu terkabulkan? Hinakah seorang perempuan yang kawin nyerod itu? Toh, dia pun ciptaan Tuhan. Bila pun takhayul yang sering diperingatkan Kenari benar adanya, biarlah menjadi takdir masing-masing, tak perlu lagi banyak mulut. Biarkan perempuan itu menjalani takdirnya sesuai yang sudah ditulis Tuhan.

Sering kali Mahoni menangis, memikirkan kalimat- kalimat yang terlontar itu, memikirkan Mahendra, keluarganya, semuanya. Seakan-akan dunia sedang berhenti, menyaksikan kesedihan Mahoni yang tak berujung ini. Dunia melihatnya, ia tahu, tapi tak ada satu pun yang mau menolong. Bahkan Tuhan sekalipun.

Hyang Widhi, bisakah diriku meminta pada-Mu untuk dilahirkan kembali menjadi seorang perempuan Sudra? Betapa kejinya diri-Mu mempersatukan kami berdua. Jika benar Kau adalah Yang Maha Tahu, kenapa Kau tidak ubah saja takdirku? Kenapa harus diteruskan bila tahu akhir dari ini semua akan sedih? Untuk apa? Supaya bisa Kau tertawa sambil melihatku tersedih-sedih menikah dengan orang lain?

Mengapa pula diri-Mu melahirkan diriku di keluarga yang seperti ini? Yang selalu menuntut ini itu? Yang selalu mendekap kemanusiaanku dalam pelukan kewajiban yang bohong? Apa hak mereka atas perasaanku? Apa? Kenapa? Hyang Widhi! Sebegitu kejikah menjadi perempuan? Sampai- sampai pilihan hati pun diatur orang lain.

Hyang Widhi, haruskah aku memutuskan sekarang? Aku tak ingin menghancurkan lima tahun kebersamaan kami. Tapi, aku juga tak ingin menyaksikan kedua orang tuaku terserang kalimat nyinyir masyarakat. Aku sekali lagi memohon pada-Mu, jangan membuat hati Mahendra dan kedua orang tuaku sakit, hanya karena keputusanku.

***

Lantunan lagu “Sendiri” masih memenuhi ruangan. Syahdu sekali mendengar lagu itu sembari menatap gerimis.

Mahoni menarik napasnya. “Aku mau ngomong tentang kita, Ndra.”

Mahendra mengerutkan dahi, jarang-jarang perempuan di hadapannya sekarang ingin membicarakan pasal mereka berdua.

“Aku tahu, kita udah lama pacaran,” Mahoni menggantung ucapannya. “Empat tahun, ya? Nggak terasa.”

Mahendra bingung, belum bisa menangkap apa yang Mahoni maksud. “Terus?”

“Sebelumnya aku nggak mau bikin kamu tersinggung. Tapi, nggak ada cara lain buat hubungan kita. Semua jalan udah buntu.” Mahoni menunduk, wajahnya memerah.

Mahendra menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, menghela napas panjang. Satu cahaya sudah bisa ditangkapnya.

“Kamu bosan ya sama hubungan ini?” terselip nada kecewa di kalimat tersebut.

Mahoni cepat-cepat menggeleng. “Ini bukan perkara bosan, Ndra. Bukan juga perkara orang ketiga.”

Mahendra mengembuskan napas. “Tentang Brahmana dan Sudra, kan?”

Sekejap, kelopak-kelopak air mata terjatuh dari pelupuk Mahoni. Ia tak bisa menahannya lagi. Lautan emosi yang tak terbendung itu sedang tercurah dengan cara yang seperti ini.

“Aku minta maaf,” ucap Mahoni, bibirnya gemetar.

“Bukan kamu yang salah. Aku yang salah, maksa perasaanku ini supaya dibalas. Padahal, aku tahu kalau akhirnya jadi seperti ini.” Mahendra meraih tangan Mahoni, mengusapnya pelan-pelan.

“Aku cuma laki-laki Sudra, Ni. Aku nggak pantas buat kamu,” ucap Mahendra, nadanya terdengar sedih. Jauh di lubuk hatinya, sebuah perasaan yang selama ini merasa kagum akan satu perempuan, kini perlahan meleleh. Perlahan tapi pasti, perasaan kagum akan Mahoni itu meleleh karena api emosi yang sudah membara.

Mahoni tak bersalah. Pun Mahendra. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah takdir yang bersalah? Barangkali Tuhan? Tak ada. Tak ada yang bersalah.

Persoalan kasta memang selalu menjadi penghalang bagi ratusan cinta yang tumbuh di Bali, bukan?

Mahoni melepas genggaman tangan Mahendra. Ia tak kuat. Semakin ia lama berada disini, semakin besar gelombang emosi yang diciptakannya.

“Aku sayang kamu.”

Selaras dengan kalimat terakhir itu, Mahoni bangkit, lantas berjalan keluar kafe. Suara lonceng tak berarti lagi baginya.

Gerimis masih setia menemani.

Mahoni tak mau berlama-lama di kafe itu. Ia tak mau saksi kasih sayangnya selama empat tahun semakin mendorong dirinya untuk terlalu emosi. Ia tak mau menangis di hadapan Mahendra, meski air matanya akan selalu menjadi indah di mata Mahendra.

Di dalam kafe, lantunan lagu “Sendiri” mulai menyusut. Menyisakan suara orang yang bercakap-cakap. Sementara Mahendra, laki-laki itu masih duduk di kursinya, memperhatikan kursi di hadapannya. Kosong. Padahal, satu jiwa hatinya biasa duduk di sana, mengajaknya berfoto, mengajak dirinya tertawa bersama, bercerita banyak hal.

Untuk sekarang?

Kosong. Kursi itu tetap kosong. Ke mana pemiliknya? Ke mana jiwa hatinya itu?

Mahendra menoleh ke arah luar. Gerimis semakin menjadi-jadi. Wajah manisnya itu tetap sama. Hanya saja, satu kelopak kesedihan terjatuh, diikuti kelopak-kelopak kesedihan lainnya.*

Badung, Maret 2020

1 Panggilan Ayah pada kasta Brahmana. 2 Nama rumah bagi kasta Brahmana. 3 Panggilan Nenek pada kasta Brahmana.

Ida Bagus Gede Pradnya Arinanta

Lahir di Denpasar, 10 Juni 2005. Mulai suka menulis sejak kelas 4 SD, terutama menulis cerpen dan novel. Penulis favoritnya adalah Tere Liye, Dee Lestari, dan Oka Rusmini. Juga menyukai film dan seri dari berbagai genre. Mimpinya menjadi seorang penulis selalu mendorongnya untuk mencoba hal-hal baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *