Kebun Kopi Terakhir | cerita A. Muhaimin DS
Kamu harus menjadi manusia yang mencintai alam! Agar hidupmu diliputi dengan kebahagiaan. Ingat! Kebahagiaan itu tidak selalu diukur dengan kemakmuran kondisi finansialmu. Tapi kebahagiaan itu bisa jadi hadir melalui energi alami yang muncul lewat lambaian pohon-pohon yang terjaga kelestariannya. Begitulah seorang ayah berpesan pada anak laki-lakinya suatu hari.
Semenjak gagal mempertahankan semua kebun kopi yang mengelilingi kampungnya dari penggusuran, ia lebih banyak merenung di kebun kopi miliknya. Kebun kopi yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarganya, dan menjadi satu-satunya kebun kopi yang tersisa di kampung. Ia sering merenung sambil melihat tanah gersang sisa-sisa kebun kopi yang telah digusur itu.
“Sudahlah, serahkan saja kebunmu ini!” suara parau itu datang dari seorang laki-laki, entah sejak kapan berdiri di sampingnya. “Aku kasihan melihatmu hanya berdiam diri setiap hari di sini.” Laki-laki tak dikenalnya itu masih saja bicara sendiri.
Ia bahkan hanya tampak menikmati diamnya tanpa sekali pun menanggapi celoteh dari laki-laki itu. Tanpa sedikit pun menatap laki-laki itu, ia pergi meninggalkannya, dan mengacuhkan teriakannya. “Sampai kapan kamu akan bertahan?”
***
Suatu hari, saat ia sedang duduk sendiri seperti biasanya di kebun kopi miliknya, ia melihat orang-orang berdasi meninjau lokasi kebun-kebun kopi yang telah digusur. Ia pun tak pernah tahu kenapa kebun-kebun kopi yang mengelilingi kampungnya itu digusur. Yang ia tahu hanya mempertahankan satu-satunya peninggalan keluarganya agar tidak digusur. Dan dari kebun kopi miliknya itu, ia pernah bertemu dengan sesama petani kopi dari berbagai daerah di Indonesia. Dari situlah kecintaannya pada kopi semakin melekat.
Dalam diamnya itu, pikirannya tak pernah kosong. Jadi, orang-orang yang beranggapan ia sedang melamun atau frustasi sangatlah salah. Bahkan ketakutan orang-orang yang berlebihan, khawatir ia kerasukan makhluk gaib pun sama sekali tidak berdasar. Ia hanya merenungi dan mencoba mencari jalan keluar untuk masa depan kebun kopinya.
Ia sadar betul, keputusannya untuk melawan para penggusur itu sangat berisiko. Tapi pesan ayahnya yang selama ini terngiang dalam benaknya. Tentang kebahagiaan dan tentang menjadi manusia yang mencintai alam.
Dengan berjalannya waktu, kebun kopi miliknya menjadi satu-satunya yang berbuah. Sedangkan kebun kopi di sekitarnya telah habis, yang tersisa hanyalah tanah landai tanpa pepohonan sama sekali. Oleh pihak penggusur, tanah itu tidak boleh dimanfaatkan warga. Sehingga warga yang dulunya bahagia menerima segebok uang yang diberikan penggusur, kini perlahan mulai menyesali apa yang pernah dilakukan itu. Tapi apalah daya, mereka sudah terlanjur menyerahkan kebun-kebun kopi itu. Semua itu pun sah secara hukum, sebab saat menerima segebok uang itu, mereka telah menandatangani sebuah kesepakatan tertulis hitam di atas putih.
***
Suatu hari, ia mengikuti acara selamatan di kampung. Ia datang dengan gontai dan malas. Pasalnya, acara tersebut, menurut kabar, akan didatangi orang-orang berdasi. Bos-bos dari para penggusur. Tapi tak ada pilihan lain, ia harus tetap memenuhi undangan dari tetangganya.
Ia datang belakangan, dan disambut dengan tatapan tajam para bos penggusur, sedangkan para tetangga menatapnya penuh dengan pandangan yang diselimuti kegelisahan. Acara selamatan pun dimulai. Dan para bos penggusur itu meminta waktu untuk memberikan pengumuman penting tentang tindak lanjut dari tanah gusuran kebun kopi.
Ia pun memandang wajah-wajah yang sama sekali tak asing. Tapi ia sendiri mencoba meyakinkan kesadarannya bahwa ia belum pernah bertemu secara langsung dengan para bos itu. Pikirannya mencoba mengingat-ingat. Alhasil, ia pun menyadari, para bos itu adalah orang-orang berdasi yang biasa mengobral janji di televisi.
Ingin rasanya untuk segera pulang. Tak penting baginya untuk mendengarkan pengumuman apa pun itu dari para bos penggusur.
Usai memanjatkan doa yang dipandu oleh pak kyai, ia langsung mencoba berdiri keluar rumah. Tapi yang ia lihat saat keluar rumah justru sebuah pemandangan ganjil. Tak sempat ia memastikan siapa orang-orang berbadan kekar itu. Yang ia ingat saat terakhir adalah teriakan berontaknya. Lalu semuanya berubah menjadi gelap gulita.
Tidak ada satu pun orang yang membantunya. Ia dituduh telah menghasut warga agar menolak pembangunan kampungnya.
Jogja, November 2019

A. Muhaimin DS lahir di Nganjuk (Kota Angin). Seorang penikmat cerita dan penyuka perjalanan. Menulis cerpen, puisi dan catatan ringan tentang kesejukan hidup.
Gambar Utama: Foto oleh Mahdi Bafande di Unsplash.