CandikataCeritaSastraSeni

Jiwa Peran | cerita Ramli Lahaping

Tujuh hari yang lalu, di penghujung hari, aku bersampingan dengan seorang lelaki. Berbaring di perut bukit, di tengah rerumputan, sambil memandang langit sore yang berwarna-warni. Ia lantas menggenggam tanganku, dan aku balas menggenggam tangannya. Kami lalu saling menatap.

“Maukah kau menjadi kekasihku?” tanyanya, dengan raut teduh yang menyiratkan ketulusan.

Aku lekas mengangguk dan merekahkan senyuman. “Ya!”

Ia lantas mengembuskan napas yang panjang, seperti merasa lega atas penerimaanku. Sesaat berselang, ia kembali menerbangkan pandangannya ke angkasa. “Lihatlah, para penghuni langit telah menjadi saksi perikatan kita.”

Aku pun tertawa pendek dan turut menatap mega.

Beberapa saat kemudian, setelah adeganku bersama seorang lelaki itu usai, dan sutradara telah menerimanya, aku pun kembali terkenang kepadamu. Pasalnya, serangkaian lakon dan percakapan kami untuk film yang diadaptasi dari novel tersebut, terkesan serupa dengan adegan kita saat mengikatkan hati sebagai sepasang kekasih. Paling tidak, kita berada di tengah suasana alam yang sama.

Aku masih mengingat jelas kenangan kita kala itu. Setelah kita berhasil mencapai puncak gunung, kita lalu duduk bersampingan, sambil memandang mentari yang perlahan turun di ufuk barat. Lalu di bawah langit senja, kau pun memberiku setangkai bunga, sembari menyatakan perasaanmu dengan raut tenang, dan aku lekas menerimamu dengan senang hati.

Tetapi adegan kami itu, hanyalah bagian pertengahan dari keseluruhan adegan film. Sebelumnya, kami telah melakoni adegan perkenalan di sebuah perpustakaan kampus. Sebuah adegan sederhana, tentang tokoh perananku yang hendak meminjam sebuah buku yang hendak pula dipinjam oleh tokoh peranannya. Tetapi tokoh peranannya bersedia mengalah, sehingga tokoh perananku menjadi terkesan.

Hingga akhirnya, hari demi hari setelah adegan di perpustakaan itu, kami pun dikisahkan menjadi semakin akrab. Kami melakoni banyak adegan kebersamaan yang menggambarkan kesenangan, entah di gunung, pantai, restoran, ataupun toko buku. Kami melakoninya sebagaimana sepasang insan yang kasmaran dan saling berbagi kebahagiaan.

Rangkaian adegan perkenalan dan pendekatan kami itu, juga telah membuatku terkenang tentang kisah kita. Pasalnya, hubungan kita terjadi melalui peristiwa yang serupa. Saat itu, kita sama-sama bertandang ke perpustakaan pusat kampus yang mempertemukan segenap mahasiswa dari fakultas yang berbeda, termasuk kita. Aku lalu mengambil sebuah koran terbitan hari Minggu yang tergeletak di satu meja, kemudian membawanya ke mejaku, dan mulai membaca sebuah cerpen di halamannya. Sampai akhirnya, kau muncul dan mencari-cari koran tersebut di atas mejamu itu, hingga seseorang menudingku sebagai orang yang telah mengambil bacaanmu.

Aku pun segera menghampirimu. “Maaf, aku kira kau telah selesai membacanya,” kataku, dengan perasaan bersalah, lantas meyodorkan koran tersebut kepadamu.

“Tidak apa-apa. Kau bacalah, sampai selesai,” balasmu, dengan sikap menolak, sembari melayangkan senyuman.

“Tak baik kalau membaca tanggung-tanggung,” tentangku, dengan tetap menodongkan koran itu.

Kau lantas tertawa pendek, kemudian menggeleng. “Nanti saja aku lanjut membacanya kalau kau sudah selesai. Apalagi, aku hanya mau membaca cerpen yang mungkin tidak terlalu penting ketimbang rubrik yang ingin engkau baca.”

Sontak, aku tergugah mengetahui bahwa minat kita sama. “Oh, aku juga suka membaca cerpen,” akuku.

Kau pun tampak terkesan, kemudian menganguk-angguk dengan senyuman simpul. “Ya. Itu baik untuk membuat hati kita lentur dan imajinasi kita berkembang,” pendapatmu, lantas kembali menekankan tawaranmu, “Kau bacalah kalau begitu.”

Melihat sikapmu yang berkeras mengalah, aku pun mendahuluimu membaca cerpen itu. Sesaat kemudian, setelah aku membacanya, aku lantas mengembalikannya kepadamu, dan kita pun berkenalan. Lalu, setelah kau selesai pula membacanya, kita pun mengobrolkannya, juga mengobrolkan bacaan-bacaan favorit kita yang lain. Hingga akhirnya, aku pun jadi tahu bahwa kau punya minat yang besar untuk menjadi seorang penulis, sedang kau pun tahu bahwa aku punya minat yang besar untuk menjadi seorang aktris.

Pada hari-hari kemudian, kita pun senantiasa bertemu di perpustakaan tersebut, dan kita selalu menyempatkan waktu untuk saling berdiskusi dan berbagi cerita. Perlahan-lahan, kita menjadi semakin akrab dan kehilangan keseganan satu sama lain. Tak butuh waktu lama, kita akhirnya mulai seiringan di lingkungan yang lain, entah di toko buku, restoran, pantai, ataupun gunung.

Sampai akhirnya, kedekatan yang lekat membuat kita menjadi sepasang kekasih. Tepatnya setelah kita saling mengikatkan hati di puncak sebuah gunung, dengan adegan yang serupa dengan adegan film yang aku lakoni dengannya, sang aktor partnerku, tujuh hari yang lalu.

Namun pada sesi syuting selanjutnya, kami pun melakoni adegan-adegan penuh konflik sebagai dua tokoh utama di dalam film tersebut. Pasalnya, ia dikisahkan sebagai tokoh yang tiba-tiba berubah perangai dan selalu mencari gara-gara untuk berpisah. Hingga akhirnya, hari ini, kami pun menandaskan kisah cinta yang pedih di antara tokoh peranan kami. Tokoh peranannya diceritakan pergi ke luar negeri di tengah hubungan yang tidak lagi harmonis, tanpa memberikan keterangan apa-apa kepada tokoh perananku.

Tetapi berdasarkan naskah skenario cerita, sebenarnya, tokoh peranannya terpaksa pergi begitu saja karena ia menderita kelainan otak. Kelainan itu membuat tokoh peranannya tak bisa bertahan hidup dalam waktu yang lama, kecuali ia berhasil menjalani proses operasi dengan baik. Karena itulah, tokoh peranannya sengaja membuat perkara agar tokoh perananku kehilangan rasa cinta dan membencinya, sebab tokoh peranannya tak ingin membuat tokoh perananku bersedih karena perpisahan yang mungkin untuk selamanya.

Sungguh, aku merasa sangat tersentuh atas perpisahan tokoh peranan kami. Itu karena adegan penutup itu lagi-lagi membuatku terkenang pada kisah perpisahan kita. Pasalnya, di akhir kebersamaan kita, selepas kita menyandang gelar sarjana, kau pun tampak berubah perangai dan terkesan mencari gara-gara untuk berpisah. Hingga akhirnya, kau meninggalkanku dengan alasan bahwa kau harus menuruti kemauan orang tuamu agar kau melanjutkan pendidikan di luar negeri, sehingga kau menganggap bahwa hubungan kita tidak mungkin dipertahankan di antara jarak yang memisahkan kita.

Sejak kepergianmu, kita tidak lagi berbagi kabar. Kau seakan sirna ditelan bumi, dan aku harus berjuang untuk berdamai dengan kenangan kita.

Tetapi hari ini, aku telah menerima kenyataan kita sebagai pelajaran hidup yang berharga. Setidaknya, kita pernah bersama dan saling menyenangkan dalam sepenggalan waktu. Paling tidak, kisah kita telah mengajariku perihal arti pertemuan, kebersamaan, dan perpisahan.

Terlebih lagi, kesan-kesan tentang kisah kita, telah berhasil membentuk pemahamanku tentang kesenangan dan kepedihan atas cinta. Sebuah pemahaman yang membuatku mampu memerankan tokoh perananku dengan baik di dalam adegan-adegan filmku bersama sang partnerku. Sampai akhirnya, sutradara dan semua kru film kami memberikan pujian atas peranku, dan mereka yakin bahwa film kami akan mendulang sukses yang besar.

Hingga akhirnya, di tengah rehat setelah pengambilan gambar yang terakhir di halaman sebuah bandara, aku dan sang pemeran utama laki-laki, terlibat obrolan empat mata sebagai diri kami masing-masing:

“Bagaimana perasaanmu setelah menjalani proses syuting?” tanyanya kemudian, setelah berbasa-basi.

Aku berpikir-pikir sejenak, kemudian membalas enteng, “Senang karena berhasil memenuhi ekspektasi sutradara, tetapi penasaran terhadap respons masyarakat nantinya.”

Ia lantas mendengkus dan tersenyum. “Maksudku, apa kau tidak merasa terbawa dan larut di dalam adegan-adegan kita?”

Seketika, aku pun kembali teringat kepadamu. Aku kemudian membalasnya dengan kalimat yang diplomatis untuk menyembunyikan kekalutanku atas dirimu, “Tentu saja aku terkesan dan tersentuh. Apalagi, aku, dan kuyakin semua orang, juga pernah mengalami kebahagiaan dan kesedihan karena cinta, seperti yang dialami oleh tokoh yang kita perankan.”

Lagi-lagi, ia mendengkus dan tersenyum. “Maksudku…” Ia lantas menelan ludah yang tertahan di tenggorokannya, kemudian menolehiku dengan tatapan yang terkesan canggung. “Maksudku, apakah kau hanya menganggap adegan kita sebatas adegan film yang hanya berakhir sampai di sini? Maksudku, apakah kau tidak ada perasaan untuk mempertemukan dan menyatukan tokoh peranan kita di dalam kenyataan kita berdua, sebagai aku dan kamu?”

Aku sontak membuang wajah, dan bingung untuk membalas siratan perasaannya.

Tetapi tiba-tiba, di tengah kebingunganku itu, sutradara menyahuti kami, “Hai, cepat kemari. Ada seseorang yang ingin berbincang dengan kalian?”

Seketika, ia tampak tidak sabar menanti responsku, sedang aku merasa lega telah mendapatkan alasan pengalihan untuk mengabaikan pertanyaannya.

Aku kemudian menghampiri sang sutradara, dan ia menyusulku.

“Siapa?” tanyaku, penasaran.

Sutradara lantas tersenyum lebar. “Penulis novel yang karyanya telah kita adaptasi sebagai film.”

Aku pun mengangguk-angguk senang, lalu menyambut sodoran ponselnya. Lekas kemudian, aku dan partner peranku lantas bertatapan dengan sang penulis di balik layar. Dan seketika pula, aku terkejut setengah mati setelah melihat wajahmu. Aku sungguh tak pernah menduga bahwa kau adalah pemilik nama samaran sang penulis novel itu.

Kulihat, kau tampak biasa saja, seolah telah mengetahui perihal peranku.

“Selamat. Semoga film kalian sukses,” katamu, lantas tersenyum.

Aku lalu menolehi sang partner peranku.

“Terima kasih telah menulis novel yang mengagumkan,” balasnya, untukmu, seolah mengerti bahwa aku enggan untuk meresponsmu. Akhirnya, detik demi detik, aku diam saja dan sekadar memampang wajah di depan kamera, sedang kalian terus saja mengobrol dengan rahasia hati masing-masing, terhadap diriku.***

Ramli-Lahaping

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Alumni Fakultas Hukum Unhas. Berkecimpung di lembaga pers mahasiswa (LPMH-UH) selama berstatus sebagai mahasiswa. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).

Gambar Utama: Foto Tima Miroshnichenko dari Pexels

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *