Ibu dan Anjing

oleh Bulan Nurguna

“Maaf, Bu Sari, sepertinya ada baiknya anak ibu tidak dibawa ke sekolah,” begitu kata kepala sekolah, Ibu Ratna, padanya. Ia memang sudah tahu diri sejak lama. Beberapa kali anaknya yang masih berusia dua tahun itu menangis sejadi-jadinya, mengganggu pekerjaannya. Teman-temannya satu  ruangan mungkin ada yang melaporkan ke kepala sekolah, atau memang kepala sekolah itu kebetulan lewat beberapa kali lalu melihat si anak mengganggu pekerjaannya.

Maka, ia putuskan untuk menitipkan saja anaknya pada seorang tetangga, yang memang pernah menawarkan diri untuk menjaga anak tersebut. Tetangganya itu bernama Pak Griya, usianya sekitar lima puluh tahun. Pak Griya tak memiliki anak kandung, tapi memiliki dua anak angkat yang sudah dewasa, laki-laki dan perempuan.  Dibanding semua tetangga, Pak Griya yang paling mungkin dititipi. Tetangga kos semuanya bekerja. Tetangga lain tak banyak yang ia kenal, dan kalaupun kenal, sepertinya tidak begitu bersedia dititipi seorang anak kecil yang suka menangis.

Siang hari sepulang sekolah, ia langsung ke rumah Pak Griya untuk membicarakan  maksudnya. Lelaki itu ternyata sedang bersiap-siap pergi ke penjara. Dia bekerja sebagai sipir di sana. Dia sudah memakai baju kantor, tetapi belum memakai sepatu, dan saat itu sedang duduk-duduk di teras rumah sambil minum kopi.

 “Oh, tidak apa-apa, Bu. Saya malah senang ada Lian di sini. Kan sudah pernah saya bilang dulu, Lian boleh dititipkan. Bila saya bekerja, istri saya yang akan menjaganya.”

“Tapi maaf, Pak. Sepertinya untuk sementara ini Lian akan saya titipkan setiap hari, kalau boleh.”

“Tenang saja, Bu. Malah kami sangat gembira anak lucu ini bisa di sini setiap hari.”

Lian jadi malu-malu dan salah tingkah. Ia lalu mencakar-cakar wajah ibunya, menjadikan ibunya sebagai mainan.

Maka begitulah. Lian akan selalu dititip di rumah Pak Griya. Karena mulut kecilnya yang belum bisa melafalkan kata “Griya”, Lian selalu memanggil lelaki itu dengan kata “Iye”. Dan karena Pak Griya lebih suka dipanggil “Ayah”,  jadilah anak itu memanggilnya “Ayah Iye”.

Hari pertama dititipkan pada Pak Griya, anak itu meraung-raung menolak ditinggal ibunya. Baju ibunya ditarik ketika gendongan akan dipindahkan ke tangan Pak Griya. “Ibu pergi dulu ya, Nak. Cari uang yang banyak untuk Lian. Untuk beli baju dan mainan.” Tetapi Lian tidak peduli, ia tetap menangis sampai ibunya menghilang di balik gerbang rumah Pak Griya.

Lian masih menangis beberapa saat setelah ibunya pergi. Tetapi tangisannya segera reda setelah Pak Griya mengalihkan perhatiannya pada enam ekor kuloq; anak-anak anjing itu lahir sebulan lalu. Pak Griya lalu mengajari Lian berhitung, “Eh, coba itu lihat kuloq-nya ada berapa. Banyak, ya. Ayo kita hitung. Satu, dua, tiga. Ada tiga yang sedang menyusu. Nah, itu yang lari-lari kecil di sana ada berapa? Satu, dua, tiga. Jadi tiga ditambah tiga sama dengan enam,” kata Pak Griya.

Lian memperhatikan omongan Pak Griya dan juga gerakan anjing-anjing itu. Untuk beberapa lama ia diajak bicara Pak Griya, hingga pada akhirnya Pak Griya menyerahkan anak tersebut kepada istrinya, karena dia akan segera berangkat ke kantor.

Istri Pak Griya, karena melihat Lian begitu tertarik pada anak-anak anjing, meneruskan menghibur anak itu. “Lihat, nih, kuloq-kuloq-nya. Yang tiga warnanya kembar hitam-hitam, yang satu warnanya coklat tua, itu yang di bawah pohon kamboja warnanya coklat muda. Nah, yang di dekat punggung ibunya itu warna apa, hayo? Lian tahu? Itu warnanya campuran. Ada coklat tua dan hitam,” kata perempuan itu. ”Lian mau pegang, tidak?”

“Mauuu,” kata anak kecil itu gembira.

Perempuan itu mendudukkan Lian di tangga teras, lalu mengambil salah satu anak anjing berwarna hitam yang paling tidak aktif di antara saudara-saudaranya. Belum juga anak anjing itu sampai di tangannya, Lian sudah tertawa geregetan sambil membuka tangan ingin memeluknya.

“Lian hati-hati, ya, pegangnya. Boleh dielus-elus, tapi tidak boleh dipencet-pencet,” kata perempuan itu. Lian mengangguk.

Di kantor, Ibu Sari berpikir tentang anaknya. Ia memang sudah menitipkan anaknya itu lengkap dengan kebutuhannya. Mulai dari susu, pakaian, hingga beberapa boneka. Ia berharap anaknya tidak membuat bosan tuan rumah dengan tangisnya atau jenis-jenis kerewelan lain.

Sebenarnya menitipkan anak adalah pilihan terakhir baginya. Ia tidak punya keluarga dekat di kota itu. Orang tua dan saudara-saudaranya tinggal di kampung. Suaminya di kota lain mencari peruntungan yang tidak didapatkannya di kota itu. Maka tinggallah Ibu Sari dengan anaknya. Kadang terbersit untuk berhenti bekerja, tetapi suaminya juga masih kerja serabutan di tempatnya yang baru. Kadang mengirim uang, lebih sering tidak. Maka menjadi bagian Tata Usaha di sebuah SMP Negeri sangatlah berarti untuknya, sebagai andalan penghasilan untuk keluarga kecilnya.

Saat jam pulang sekolah, Ibu Sari segera ke rumah Pak Griya. Di sana, ia dapati anaknya sedang duduk di atas tanah, bermain dengan anjing-anjing kecil. Bajunya kotor dan wajahnya coreng moreng. Ibu Sari kaget luar biasa, sebab anaknya tidak pernah sekotor itu, bahkan anaknya tidak pernah kotor ketika bersamanya. Berusaha ia sembunyikan wajah kagetnya ketika istri Pak Griya menyadari kehadirannya.

“Wah, cepat sekali pulang, baru saya mau gantikan bajunya,” kata perempuan itu ramah.

“Iya, Bu. Memang sudah jamnya pulang. Maaf, ya, Bu. Merepotkan ibu.”

“Tidak apa-apa. Kami malah senang bisa dapat gendong-gendong anak lucu ini.”

“Ayo, sayang, kita pulang,” katanya mengajak Lian. Anak itu ternyata berbeda sekali raut wajahnya ketika diantar dan dijemput. Bila tadi ia menangis sejadi-jadinya, kini ia benar-benar  marah tidak mau pergi dari rumah itu, tidak mau berpisah dengan anjing-anjing. Ibunya merayu agar ia mau pulang, tetapi ia berkata,”Tidak mau, lebih suka sama kuloq daripada sama Ibu.”

“Ayo, Lian. Ibunya capek. Besok, kan, ketemu kuloq lagi,” kata istri Pak Griya.

Dengan berat hati, Lian membiarkan perempuan itu mengambil anak anjing hitam dari pangkuannya. Tetapi bukannya reda, marahnya malah makin menjadi-jadi. Ibunya berusaha menggendongnya, tapi sekuat tenaga ia menolak. Di gendongan, kakinya tidak ia sampirkan ke pinggang ibunya, melainkan ia luruskan, lalu mulai menendang-nendang ke segara arah. Begitu juga kedua tangannya, mendorong-dorong tubuh ibunya. Kepalanya menggeleng-geleng seolah menolak segala yang sedang terjadi. Ia berteriak, ”Mau sama kuloq. Mau sama kuloq. Tidak mau sama Ibu!”

Ketika akan sampai di pintu pagar rumah Pak Griya, Ibu Sari menurunkan anaknya karena tidak kuat membawa anak yang mengamuk itu. Lian berdiri di depan sanggah, di atas rumput yang mulai meninggi. Lalu Ibu Sari menggandeng tangan anaknya, berharap anaknya mau diajak jalan, walau sambil menangis. Tetapi bukannya menurut, anak itu malah mencengkeram rumput dengan jari-jari kakinya. Ibunya berusaha menariknya, tetapi anak itu sepertinya merasa lebih baik ia jatuh. Ibunya berusaha lagi menggendongnya, kali ini berhasil, walau rumput-rumput telah ikut di antara jemari kakinya. Tetapi anak itu kembali mengamuk, dan terpaksa ibunya melepaskannya lagi.

Anak itu berlari ke dalam sanggah. Ibunya menyusul. Di dalam sanggah, anak itu mengambil canang-canang dan melemparkan ke ibunya, “Ibu jahat, aku mau Ibu,  Ibu tidak ada. Aku mau kuloq, Ibu pisahkan aku dari kuloq.”

Sepertinya tenaga anak itu telah habis, jadi walaupun masih menangis, ibunya bisa membawanya dengan lebih mudah. Hari yang sungguh melelahkan. Ibu Sari begitu malu karena anaknya mengamuk dan sampai melempar-lempar canang.

Keesokannya, karena memang tak punya pilihan, kembali Ibu Sari menitipkan anaknya. Pak Griya menyambut dengan sangat gembira. Dia berkata hanya akan pergi ke kantor selama dua jam, ada acara arisan bulanan, setelah itu dia bisa pulang dan main seharian dengan Lian. Kebetulan, hari itu juga Ibu Sari lembur di sekolah, jadi ia akan pulang lebih lama.

Selama di sekolah, sambil mengurusi daftar gaji orang-orang, Ibu Sari kembali berpikir di mana ia akan menitip anaknya selama ia bekerja. Mungkin ia akan mengirim surat pada keluarganya di kampung, berharap ada salah seorang adiknya yang bersedia pergi ke kota sementara waktu untuk menjaga anaknya. Ia benar-benar tidak enak kepada Pak Griya dan istrinya, justru karena mereka sangat baik padanya. Ia takut sewaktu-waktu kedua orang itu akan berubah sikapnya karena ia tidak tahu diri menitipkan anaknya terus-menerus. Ia tidak mau merusak hubungan baik itu.

Sore itu, di rumah Pak Griya, ia lihat anaknya sudah berpakaian bersih, sudah mandi, sedang memangku seekor anak anjing hitam. Ia mendekat. Pak Griya sedang duduk-duduk sambil minum teh.

“Ayo, Ibu Sari, minum teh dulu,” kata Pak Griya menawarkan.

“Terima kasih, Pak. Ini cuma mau jemput Lian. Sudah hampir malam.”

Lian tidak menggubris sedikit pun ibunya. Sudah dua hari ini ia memang kehilangan ibunya, tetapi setelah itu ia tidak pernah merindukannya. Ia berjalan ke sudut sambil menggendong anak anjing. “Ayo, Nak. Kita pulang,” ajak ibunya. Ia menoleh, lalu kembali fokus pada anak anjingnya.

Ketika ibunya mendekat, Lian tiba-tiba lari menjauh. Ibunya coba mengejar, saat itu sudah dekat waktu sembahyang untuk Pak Griya. Anak itu jatuh bersama anak anjing, binatang itu tertimpa tubuh si anak. Pak Griya pun berlari ke arahnya. Ibu Sari mengangkat tubuh anaknya, Pak Griya mengangkat tubuh anak anjingnya. Anjing itu lemas, tidak bergerak.

“Sepertinya anjing ini mati, Bu Sari,” kata Pak Griya sedikit panik.

“Astagfirullah,” kata Ibu Sari.

“Ini semua gara-gara Ibu,” kata Lian, lalu wajahnya berubah ketika menghadap Pak Griya, “Jangan sedih, Ayah Iye. Masih banyak kuloq yang lainya,” katanya sambil tersenyum, berusaha menghibur Pak Griya.***

 Gili Trawangan, 28 Februari 2020

bulan-nurguna
Bulan Nurguna

Lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *