CandikataEsaiRupaSeni

HUMAN/NATURE: Pameran Lukisan Lima Perupa di AMJO 2

Setelah sukses di tengah puncak amuk pandemi pertengahan tahun ini, pameran besar seni rupa Art Moments Jakarta Online (AMJO) hadir kembali pada 22 November – 21 Desember 2021. Format pameran yang diusung lebih luas. AMJO 2 menampilkan lebih dari 1.200 karya seni dari 56 lembaga peserta yang ada di 9 negara dan 16 kota di Asia dan Eropa.

Kali ini, selain pameran daring di situs web AMJO, diselenggarakan pula kegiatan pameran luring di sejumlah lokasi. Pilihan untuk mengadakan pameran fisik tentu demi menjawab kerinduan publik untuk mengapresiasi karya seni rupa secara langsung di tengah pandemi di Indonesia yang mulai reda, meskipun kewaspadaan tentu tetap harus terus dijaga.

Sebagaimana di AMJO edisi perdana, Galeri Zen1 antusias mengikuti AMJO 2. Di AMJO 1, galeri yang berada di dua lokasi di Denpasar ini hadir di tiga booth sekaligus. Posisi sebagai galeri dengan booth terbanyak di AMJO yang lalu tidak hanya dipertahankan di AMJO 2, tetapi bahkan ditingkatkan.

Di AMJO 2, Galeri Zen1 menghadirkan karya-karya seni rupa terpilih di empat booth. Pameran-pameran yang diselenggarakan Galeri Zen1 di AMJO 2 adalah:  Human/Nature, Nyoman Sujana Kenyem Special Presentation, Satya Cipta Special Presentation, dan Teja Astawa Special Presentation.

Tidak hanya itu. Galeri Zen1 juga menggelar pameran istimewa yang menampilkan sejumlah lukisan yang jarang disaksikan publik, karya mendiang empu seni rupa dari Bali, Made Wianta, bertajuk The Hidden Wild Triangle.

Pameran Human/Nature tidak saja berlangsung secara daring, tetapi juga secara luring atau langsung di Galeri Zen1, Bali, 5 Desember 2021 – 5 Januari 2022. Pameran ini menyajikan lukisan-lukisan terpilih karya 5 perupa yang berbasis di Bali: Wayan Apel Hendrawan, Putu Winata, Nyoman Suarnata, Made Bayak, dan Made Wianta.

Kecuali Made Wianta yang telah berpulang tahun lalu, empat perupa lainnya dipilih karena karya mereka menunjukkan perkembangan yang menarik. Karya-karya mutakhir mereka yang dipamerkan di AMJO 2 memperlihatkan kematangan gagasan maupun kepiawaian teknik.

Dengan keterampilan penciptaan seni yang telah dikuasai dengan baik, mereka tidak segan-segan menjelajahi pemikiran yang menantang dan menggugah. Dalam karya mereka, keindahan bertemu dengan kebajikan. Estetika dan etika berpadu. Karya mereka terasa segar dan memberikan kontribusi tersendiri pada percaturan seni rupa kontemporer di Indonesia.

Para perupa dalam pameran ini telah menemukan kekhasan masing-masing dalam karya mereka. Mereka adalah perupa yang karyanya telah memiliki signature, meskipun tak henti bereksplorasi untuk menjawab tuntutan kreativitas.

Dari segi konsep maupun gaya, karya mereka sungguh berbeda antara satu sama lain. Namun, dalam pameran ini, ada satu benang merah yang menghubungkan karya mereka: wacana tentang manusia (human) dan alam (nature).

Gagasan tentang kemanusiaan dan lingkungan alam menjadi pusat gravitasi yang dijelajahi secara intensif dan ekstensif oleh kelima perupa dalam pameran ini. Manusia dan alam diketengahkan dalam lukisan sebagai pokok yang dipersoalkan, baik secara estetis, etis, bahkan kritis.

Pokok persoalan manusia paling tajam diangkat oleh Wayan Apel Hendrawan. Lukisan-lukisan perupa yang berdiam di Sanur-Bali ini berpusat pada figur manusia. Pesan spiritual berkumandang nyaring dari seri lukisan baru Apel yang bersubjek pendeta Buddha.

Wayan-Apel-Hendrawan_Sapu-Api
“Sapu Api” karya Wayan Apel Hendrawan

Citra api dihadirkan dengan kuat mendampingi sosok biksu. Dalam berbagai tradisi spiritual dan religius, api memang bukan hanya dipandang sebagai kekuatan yang menghancurkan, tetapi juga menyucikan. Lukisan Apel memperlihatkan bagaimana para penempuh jalan spiritual begitu akrab dengan kekuatan alam yang berwujud api.

Biksu-biksu di kanvas Apel tidak dipampangkan wajahnya secara frontal, seperti menyiratkan bahwa mereka telah meninggalkan keakuan atau egosentrisme yang telah banyak menimbulkan problem dan kesengsaraan. Karya-karya Apel menyodorkan wacana tandingan terhadap materialisme dunia modern dengan menyerukan sisi spiritual manusia.

Made Bayak mengkritik perilaku materialisme dan konsumerisme manusia modern melalui karya-karya seni rupa yang dibuat dengan bahan berupa sampah plastik, khususnya kemasan produk industri. Subjek lukisan-lukisan barunya adalah monster yang tampak modern sekaligus purba, berciri robot sekaligus makhluk mitologis, lucu sekaligus mengerikan. Mereka seperti makhluk hibrida dari antah-berantah yang lahir dari masa silam, masa kini, dan masa depan, seperti keturunan manusia yang telah mengalami mutasi genetis.

MAde-Bayak_New-Myth
“New Myth” karya Made Bayak

Dengan gaya yang seolah bermain-main, tetapi sesungguhnya serius, Bayak menghadirkan monster-monster mutan itu untuk menyuarakan visi kritisnya terhadap problem kerusakan lingkungan, terutama sebagai akibat dari ledakan sampah plastik. Materialisme dan konsumerisme terus melahirkan sampah plastik yang akhirnya melahirkan generasi mutan setengah-manusia setengah-binatang. Sebuah kritik terhadap nafsu manusia yang menimbulkan efek destruktif dan degeneratif pada alam.

Dengan gaya ungkap bernada pop, Nyoman Suarnata juga kritis menyoroti perilaku manusia modern. Ironi manusia modern, yang konon rasional itu, terpantul pada gambaran tokoh-tokoh kartun terkenal yang seolah terkucil di dunianya sendiri di kanvas Suarnata. Minions, Mickey Mouse, SpongeBob, Pinocchio dan lain-lain adalah produk budaya massa yang dibuat manusia untuk menghibur dirinya.

Nyoman-Suarnata_The-Memory
“The Memory” karya Nyoman Suarnata

Namun, di kanvas Suarnata, mereka tampak seperti terabaikan, tersingkir, kehilangan kekuatan menghibur, kehilangan arti. Mereka seperti telah ditinggalkan anak-anak yang pernah mencintai mereka. Senyum mereka terasa sunyi. Mereka seakan mencerminkan kesunyian manusia modern di tengah hiruk-pikuk budaya massa yang menawarkan sejuta hiburan dan impian. Dalam sejumlah lukisan lain, jejak eksploitasi manusia terhadap alam tersirat pada citra terpiuh binatang (kuda zebra dan bangkai ikan).

Berbeda dengan Apel, Bayak, dan Suarnata, tatapan Putu Winata terarah ke alam. Tema lukisan Winata adalah fenomena alam dan lanskap. Dengan ungkapan visual ekspresif, Winata menghadirkan tarian garis dan warna yang bermuara pada citraan abstrak yang sangat mengingatkan pada objek atau gejala alam seperti pohon, bunga, tebing, angin dan sebagainya.

Meskipun demikian, sesungguhnya sang pelukis tidak meniru alam. Ia tidak berupaya menyalin alam ke kanvas. Ia bukan subjek yang menghadapi alam sebagai objek untuk ditangkap, dikerangkeng, dan dibekukan dalam lukisan. Alih-alih, dalam proses melukisnya, Winata seakan-akan “larut” ke dalam alam dan membiarkan imajinasinya tentang alam mengalir bebas seturut dorongan intuisi. Meninggalkan hukum realisme dan perspektif, ia seakan membebaskan alam untuk tumbuh di kanvasnya.

Putu-Winata_Kasihnya-dalam-badai
“Kasihnya dalam Badai” karya Putu Winata

Alam dalam lukisannya bukanlah potret, melainkan sebentuk kehidupan yang dinamis dengan segala kemungkinan dan semua yang tak terduga. Lukisan Winata menggemakan pandangan yang meletakkan manusia dan alam di posisi yang setara. Sikap yang tidak menaklukkan alam di bawah hukum manusia.

Sebagaimana karya Winata, sejumlah lukisan Made Wianta dalam pameran ini diilhami oleh fenomena alam. Imajinasi tentang alam tercermin pada judul lukisan yang mengacu pada objek alami seperti karang (“Deep Red Coral Reef”, “Deep Blue Coral Reef”) dan langit biru (“Calligraphy Under the Blue Sky”). Wianta mengabstraksikan alam secara imajinatif sebagai paduan canggih dari keteraturan dan keacakan, kontrol dan emosi, hukum dan kebebasan.

Made-Wianta_Deep-blue-coral-reef
“Deep Blue Coral Reef” karya Made Wianta

Alam dalam lukisan abstrak Wianta adalah suatu tatanan yang mengandung kekacauan, sebagaimana terlihat dalam karya “Deep Red Coral Reef” dan “Deep Blue Coral Reef” yang struktur luarnya rapi, tapi struktur dalamnya tersusun dari bidang-bidang warna dan titik-titik acak. Atau, sebaliknya, alam adalah ekspresi kebebasan yang dituntun oleh prinsip harmoni, seperti tampak dalam lukisan “Calligraphy Under the Blue Sky”.              

Judul pameran ini, Human/Nature, dapat dimaknai pula sebagai “sifat manusia” (human nature). Dengan cara masing-masing, para perupa dalam pameran ini berintrospeksi tentang perilaku manusia, termasuk sikap terhadap alam. Secara keseluruhan, karya mereka terasa menggemakan situasi dunia kontemporer ketika manusia dan alam seakan-akan berhadapan, dengan segala risikonya, seperti tercermin pada krisis perubahan iklim dan pandemi Covid-19.

Human-nature_opening
Bincang seni di pembukaan pameran: Nicolaus Kuswanto, Arif Bagus Prasetyo, Made Bayak, Putu Winata, Apel Hendrawan, Nyoman Suarnata.

ARIF BAGUS PRASETYO

Penulis, penerjemah, dan kurator seni rupa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *