Gelombang Rambu, Tabu, dan Teror
Perempuan, jika mau jujur, sesungguhnya gairah yang ada dalam palung otak dan pori-pori darahnya dibentuk oleh teror. Teror itulah yang membuat perempuan memiliki nyawa lebih banyak untuk menabur beragam benih tabu dan rambu menjadi benih karya-karya yang lebih hidup dan menggairahkan.
Gelombang kehidupan yang makin hari tidak ramah kepada perempuan membuat perempuan tidak pernah mengalami paceklik. Jika mereka mau lebih bekerja keras dan memetik beragam gelombang yang bertebaran di tengah grubug ini, perempuan memiliki ruang, waktu, dan tempat untuk menunjukkan eksistensinya di dalam berkarya.
Waktu telah lama tidak pernah rajin mencatat tikungan-tikungan yang dirintis perempuan untuk menunjukkan potret dirinya di dalam iklim seni. Sejarah alpa mencatat perjalanan perempuan. Padahal perempuan perupa Indonesia telah berkiprah sejak era Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) pada tahun 1930-an. Bahkan Kartini telah belajar melukis naturalis dari guru Belanda.
Di sisi lain, hingga saat ini, secara kuantitas jumlah perempuan perupa Indonesia tidak sebanyak jumlah laki-laki perupa. Padahal perempuan yang mengikuti pendidikan tinggi seni rupa dari tahun ke tahun terus meningkat jumlahnya. Ke mana perempuan-perempuan itu?

Gelombang Nilai
Nilai budaya Indonesia sejak awal telah membentuk stereotip ideal tentang perempuan. Kendalanya bukan hanya tingkat pendidikan, tetapi juga norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Secara umum, masyarakat masih menimpakan tanggung jawab pekerjaan domestik kepada perempuan sehingga perempuan menghabiskan waktu lebih banyak daripada laki-laki untuk pekerjaan perawatan ini itu yang tidak dibayar, juga tidak menguntungkan perempuan secara intelektual. Perempuan diposisikan di ruang domestik dengan tugas pengasuhan anak dan tugas rumah tangga lainnya yang bejibun dan menyita fokus mereka untuk berkembang.
Nilai budaya berdampak terhadap sikap perempuan perupa Indonesia yang di satu sisi sangat menghargai stereotip ideal tersebut, di sisi lain menggugat stereotip ideal yang dianggap tidak menghasilkan kesetaraan gender. Cara pandang perempuan perupa terhadap nilai budaya Indonesia mempengaruhi nilai estetis karya dalam dua hal, yaitu mempengaruhi tema yang dipilih dan visualisasi karya.
Efeknya, banyak perempuan tidak memiliki ruang jembar untuk berdialog dengan diri, kontemplasi atau meningkatkan eksistensi mereka sebagai manusia. Sejarah dengan ringannya melupakan perjuangan para perempuan yang ikut membangun semesta kehidupan di bumi ini menjadi lebih baik, lebih hangat, ditaburi penuh dengan cinta dan kasih.
Seorang perempuan bernama Emiria Sunassa terlupakan dalam sejarah. Padahal ia salah seorang pelopor seni rupa Indonesia modern. Emiria sendiri seolah muncul dari ketiadaan, lalu menghilang begitu saja di masa akhir hidupnya. Dalam sejarah seni rupa, namanya terdengar asing ketimbang nama-nama besar perupa laki-laki. Padahal ia layak disebut pelopor perempuan perupa di Indonesia karena keberadaannya pada awal perjalanan sejarah seni rupa dan konsistensinya dalam berkarya. Ketika orang mempertanyakan aspek gender dalam seni rupa, yang melihat perempuan bukan hanya sebagai objek tapi juga subjek, Emiria Sunassa sudah bergerak lebih maju. Mematahkan beragam bentuk ranting rambu, tabu dan teror.

Gelombang Ratih-Sani
Menciptakan masa depan yang lebih baik bagi perempuan berarti membangun jembatan lintas generasi, komunitas, dan perbatasan. Para perempuan harus bekerja lebih keras lagi menuju dunia yang lebih setara. Kampanye penguatan pemahaman tentang kesetaraan gender juga harus terus-menerus dilakukan di masyarakat dan pemerintahan sehingga norma tentang kesetaraan menjadi lebih dominan. Dan itu bisa dimulai dari berkesenian yang seharusnya diimbangi dengan peningkatan kemampuan berpikir, pengembangan potensi diri, dan spiritualitas yang baik.
Semua orang berhak menjadi rupawan dan bahagia di dunia serba digital dan iklim metaverse ini. Gelombang perubahan sosok perempuan yang mulai berani memangkas beragam rambu, tabu, dan teror dalam beragam aspek semesta kehidupan yang memaku pikiran dan tubuh perempuan mulai berderak. Teknologi membuat perempuan lebih berani memangkas rambu, tabu, dan teror yang menghiasi mitos hidup mereka.
Dua belas karya perempuan yang dihidangkan dalam pameran Wave di Galeri Zen1 Kesiman Denpasar, 18 Maret – 21 Mei, dengan mengambil tema gelombang membuat mata, hati, dan pikiran perempuan harus lebih terbuka lebih berani memanggul resiko dengan pilihan hidup yang dipilih.
Lima karya Ni Nyoman Sani dan tujuh karya RAD Art (Ratih Astria Dewi) membawa kita menyusuri gelombang semesta kehidupan dua perupa perempuan ini dengan hawa dan kesunyian yang bisa kita cecap dengan kontemplasi dan meditasi. Bahasa yang mereka pilih adalah garis dan warna.
Konsep dua perempuan ini mengusung tema gelombang yang dapat dimaknai ombak lautan dengan beragam bentuk gelombang yang halus maupun beriak keras. Gelombang dapat juga diartikan sebagai getaran dalam frekuensi suara atau bunyi tertentu. Gelombang dapat dimaknai gerakan, perasaan atau pikiran perempuan berhadapan dengan logika, estetika, epistemologi, dan metafisika. Gelombang juga berarti bagaimana dua perempuan ini menyusuri hutan kehidupan dan memangkas sulur-sulur persoalan yang menghadang perjalanan mereka sebagai kreator.

Ni Nyoman Sani, seperti biasa, selalu mahir memoles “gelombang” hidup dan pikirannya dengan menunjukkan komposisi transisi gelombang dengan permainan warna untuk menyiasati potret-potret hidupnya yang tentu tidak mudah. Kegetiran menjadi keindahan sendiri tanpa menabur luka yang melukai hidupnya. Sekali pun memilih warna-warna gelap dengan figur seorang model, karyanya memiliki estetika berbeda dan menarik yang jadi ciri khas.
Karya RAD Art lebih terlihat manis dengan teknik permainan warna yang lebih beragam. Bunga-bunga yang dibuat detail dan seolah bermain-main membuat karyanya memperlihatkan gelombang kegelisahan. Proses pencarian eksistensi hidup lebih terasa. Warna yang dipilih lebih cenderung pastel. Ratih lebih nyaman bermain dengan decorative detail figurative mix melalui beragam simbol yang misterius. Itulah caranya menyampaikan esensi estetikanya tentang gelombang semesta kehidupan.

Sani dan RAD Art telah mengurai dan menabur benih keindahan untuk kehidupan semesta yang lebih baik dan penuh cinta kasih. Dari sulur-sulur hidup mereka, dengan menggunakan bahasa warna dan garis, mereka menciptakan keindahan dan kebahagiaan.
