“GARATUBA” ROLLFAST: Sosok dalam Himpitan Lagi-Gila-Lagi
oleh L. Taji
Satu jam telah berlalu dari pengingat yang dikirimkan Youtube ke akun I Ni timpal kopi. Sebuah pesan untuk mengingatkan bahwasannya Rollfast telah merilis single ke-3 berjudul “Garatuba” yang akan masuk dalam materi album baru mereka.
Tahun 2020 dilalui oleh band rock ini dengan semangat yang berapi-api. Setidaknya dua single telah dilepas pada triwulan pertama 2020, “Pajeromon” pada Pebruari dan “GTA” menjelang akhir Maret. Mereka juga sempat melakukan tur Jakarta-Bandung pada awal Maret 2020. Sebuah perjalanan yang berhasil mereka lakukan sebelum Corona tiba dan pandemi melanda.
Setelah lebih dari empat bulan hidup di tengah pandemi, dengan serangkaian pembatasan dan protokol kesehatan yang harus diikuti, dengan serangkaian himbauan dan kebijakan yang harus disimak dan diperdebatkan, serta pro dan kontra yang tak bisa dielakkan, di tengah wacana new normal dan ketidakjelasan bagaimana petunjuk teknis pengaplikasiannya di tengah-tengah masyarakat, Rollfast akhirnya melepas “Garatuba”.
Jika bicara komposisi bebunyian yang diperdengarkan, memang tidak jauh berbeda dengan dua single sebelumnya, tetapi berbeda 180 derajat dari album pertama mereka. Jika mendengar judulnya tentu akan mengingatkan pada “pajeromon”, sebuah kata yang dibuat dari penggabungan dua atau lebih kata yang sebelumnya telah memiliki makna masing-masing. “Pajeromon” berasal dari kata “pajero”, “jero”, dan “romon”, yang kemudian dilebur menjadi satu kata dengan pemaknaan ala Rollfast tentunya.
“Racun”, kata itu muncul ketika membaca “garatuba”. Kemunculan “racun” datang dari pengunaan kata “tuba”, yang menjadi dua suku kata terakhir dari “garatuba”. “Tuba” dalam bahasa lokal (Bali) artinya “racun” (Indonesia).
Lalu apa yang dimaksudkan Rollfast dengan “garatuba”? Apakah sama dengan “racun tikus” (tuban bikul), atau mungkin maksudnya “kena racun” (kene tuba)? Atau bisa jadi sedang berusaha “meracuni” (nube).
Ada “gara” di depan “tuba”. Gara… gara… apakah itu “gara-gara”? Yang bisa merujuk penyebab atau gara itu adalah Gaara, Kazekage ke-4 desa Suna? Ah, lebih baik kita dengarkan saja single-nya.
Berawal dari dentuman drum, intro gelap dengan tempo yang lambat menjadi pengantar perjalanan, terjeda sepersekian detik sebelum berlanjut dan menjumpai raungan gitar yang kemudian disusul suara bas, drum, dan sumber bebunyian lain. Agha Daksa muncul dengan teriakan “Telan sampai dunia berputar, mengelilingi diriku. Aku ingin lagi dan lagi, apa lagi sehabis ini.” Namun sayang suara yang muncul mengesankan mulutnya sedang dibekap.
Teriakan berlanjut, “Lagi dan lagi… lagi dan lagi”, diikuti suara latar, “lagilagila-lagilagila”, permainan kata “lagi” dan “lagi” yang dipercepat hingga menghasilkan “lagi-gila-lagi-gila”. Permainan kata sederhana, ketika keinginan untuk lagi dan lagi sejatinya membawa pada sebuah kegilaan yang tak disadari. Seperti kata “gila” yang tak disadari ternyata termuat dalam “lagi”.
Potongan pertama menggambarkan sosok yang tak pernah puas. Setidaknya hal itu bisa dengan mudah dilihat dari “telan sampai dunia berputar mengelilingi diriku”, kemudian pada pernyataan “apa lagi sehabis ini” yang disambung dengan angsyokan kata-kata pemberi semangat untuk mengikuti dorongan ingin, terus berucap “lagi-lagi gila-lagi”.
“Tinggal setetes air tersisa. Siapkan diri, puasa paksa”
Dua penggal bait yang membawa ingatan melayang pada hasil penelitian sebuah NGO tentang persediaan air tanah di Bali yang kian menipis dan beberapa wilayah yang sudah mengalami infiltrasi air laut. Entah kenapa, bait “Garatuba” kali ini mengantarkan pada ancaman krisis air yang kian dekat, ancaman yang bisa nyata, namun bisa jadi tidak perlu dianggap terlalu serius karena air masih bisa dibeli dari mereka yang dengan baik hati berinisiatif untuk mendistribusikan air, tentunya dengan merek mereka masing-masing.
Pemerataan distribusi yang dilakukan dengan memprivatisasi sumber daya air yang dianggap sebagai sebuah kewajaran. Berjalan lebih dalam suara angsyokan, “Dikekeringan, di-ke-rintek-an” dirapal cepat dan padat di belakang “Ketergantungan, Di kegersangan” yang dinyanyikan pelan sebelum ditutup dengan “Badai kedewatan”.
“Badai kedewatan”? Nasi ayam? Kedewatan adalah nama sebuah desa yang terkenal dengan nasi ayam ikonik yang berhasil membuat setengah badan jalan menjadi areal parkir konsumen mereka. Pada jam makan siang, lokasi di depan nasi ayam ini menjadi salah satu titik kemacetan (pada masa-masa sebelum Corona tiba) jalur Batubulan menuju Payangan atau Kintamani.
Apakah kegandrungan para konsumen akan nasi ayam ini yang dianggap sebagai badai karena berhasil menghadirkan kemacetan bagi pengguna jalan yang lain, seolah tidak ada tempat makan lain dengan menu serupa yang bisa dikunjungi? Atau “kedewatan” yang dimaksud di “Garatuba” adalah “kedewataan”, sebuah kata yang bisa merujuk pada keindraan, sehingga “badai kedewatan” menjadi “badai kedewataan” yang mungkin merujuk pada segala usaha ketika semua kerusakan dan kekacauan seolah bisa dikembalikan ke titik seimbangnya dengan segala rangkaian ritual panjang yang tanpa disadari juga terhubung dengan rantai konsumsi, terutama ketika material dari ritual tersebut tidak lagi bisa dihasilkan secara mandiri dan tergantung dari suplai produsen yang berada nun jauh di sana.
Serangkaian ritual itu dianggap sebagai solusi instan untuk setiap situasi dan kondisi, sehingga solusi-solusi nyata yang menyentuh akar persoalan tak kunjung dilakukan. Hal yang tentunya tidak akan berhasil mengurai segala kekacauan yang ada. Namun sebaliknya, membiarkan kekacauan tersebut berlangsung karena yakin ritual dan dewata yang berada di sana dengan segala sifatnya akan memperbaikinya. Sementara penghambaan akan keinginan indrawi semakin kencang harus dipenuhi lagi dan lagi.
“Di ked ditu”, ketika sampai disana, apa yang akan ditemukan?
“Di-ke-rintek-an, di-ke-rintek-an, Di-ke-rintek-an, di-keditu-an”, kekacauan, chaos berantai hingga sampai “Dikedituan-dikedituan”, di alam sana.
Dorongan untuk terus memenuhi keinginan indrawi, bahkan kian nyata berujung pada kerakusan. Hal ini begitu tegas hadir di “Menggigit lebih dari yang bisa dikunyah, Air yang ada tak cukup redakan dahaga”.
Dorongan yang tak berdiri sendiri, dorongan yang dibentuk dengan sengaja. Sesederhana semakin serakah orang memenuhi keinginannya, semakin besar konsumsi yang akan dilakukan. Dan hal tersebut tentu bukan sebuah kebetulan atau terjadi dengan sendirinya. Hal tersebut lahir dari konstruksi budaya modern. Konstruksi yang dicekokkan dari atas ke bawah melalui agen-agen yang menyusup di setiap situasi dan kondisi.
Pilihan untuk tidak ikut larut dan terjebak dalam penjara keserakahan indrawi menjadi sesuatu yang tabu dan berujung pada hardikan “Mai ci, Jeg kal tube nas be” (sini kau, akan kuracun dirimu).
Berbeda dengan single “Pajeroman” ketika Rollfast mencoba menggambarkan sebuah sosok, pada “Garatuba”, Rollfast menjelma menjadi sebuah sosok yang tiba dan terperangkap dalam sebuah situasi. Ketika yang ada di sekeliling mereka bergerak begitu cepat dan dinamis, membuat semua terhisap dalam gerakan lagi-lagi-gila-lagi.
Rollfast, jika diandaikan sebagai sebuah sosok, seolah sedang membuat pengakuan jujur bahwasannya dia sedang berdiri di tengah situasi ketika dunia bergerak begitu cepat. Pemuasan atas ingin menjadi sesuatu yang tak terelakkan, dan ketika satu keinginan telah terpenuhi, maka keinginan lain muncul, demikian terus tak ada ujungnya.
Kekacauan bahkan kerusakan dan serangkaian krisis yang muncul akibat konsumsi yang berorientasi pada keinginan bukanlah sesuatu yang tersembunyi. Hal tersebut terang-benderang. Namun sayangnya, laksana coba menegakkan benang basah atau mengurai benang kusut yang basah, niat untuk mulai meletakkan orientasi pada kebutuhan seolah dengan mudah dihempas oleh badai keinginan yang kian kencang.
Jarak ditarik, jeda diberi, Rollfast bergerak menyerupai drone, dan melihat secara lebih luas sambil mencari tahu apa yang membuat mereka bisa terhimpit dalam situasi itu. Apa yang kemudian mereka temukan?
Kenyataan bahwasannya mereka hidup di sebuah pulau kecil yang telah terperangkap pada sebuah citra yang kian hari kian membelenggu. Sebuah citra penuh puja-puji yang memabukkan dan akhirnya membuat mereka meninggalkan titik pijaknya. Walau ada jejak yang masih dirayakan dalam bentuk ritual-ritual, itu seolah hanya untuk menjaga agar citra tidak sirna.
Itulah citra yang dibangun sejak zaman kolonial, dijaga di awal pembentukan Republik dan dieksploitasi hingga hari ini. Citra yang dibuat dan digelembungkan hingga membuat pulau ini harus bergerak sesuai dengan apa yang dicitrakan.
“Pulau dewata, Surga dunia, Menurut pariwara, Drama murahnya, Tertawakan saja”
Lirik di penghujung “Garatuba”adalah sebuah gambaran bagaimana citra telah berhasil mengonstruksi pulau ini, Bali, pulau kecil dengan begitu banyak julukan, mulai dari “pulau seribu pura”, “pulau dewata”, “surga terakhir” dan lain sebagainya. Sebuah pulau yang kemudian memilih dirinya untuk hidup dan bergantung dari citra tersebut.
Tentu pilihan tersebut tidak atas kemauan si pulau itu sendiri, melainkan kemauan sebagian besar penghuninya dan mereka yang memiliki kuasa untuk mengelola pulau mungil yang dahulu lebih suka membungkus nasi pakai daun daripada kertas minyak, lebih nyaman membungkus cabai memakai daun sente daripada kantong plastik. Keputusan itu tidak hanya diambil oleh penguasa lokal yang (mungkin saja) telah kehilangan pijakan untuk mengelola pulau mungil di tengah situasi “garatuba”, namun juga keputusan dari pemerintah pusat, atasan yang memiliki kepentingan.
Rollfast kembali menghadirkan bagaimana cara mereka mengomposisi aneka bebunyian menjadi sebuah kesatuan dengan permainan yang memadukan lirik berbahasa Indonesia dan Bali tanpa ada kesan memaksakan. Walau tidak ada kesan memaksakan ketika mendengar lagu “Garatuba”, bukan berarti hal tersebut tidak akan menghadirkan kesulitan bagi pendengar yang tidak begitu memahami bahasa Bali.
Penggunaan bahasa Indonesia bergantian dengan permainan pemenggalan kata dalam pengucapan dalam bahasa Bali hadir saling merespons. Di “Garatuba”, kekayaan bahasa lokal, dalam hal ini Bali, begitu terasa, ketika sebuah kalimat yang sama dipenggal melalui permainan pengucapan yang berujung pada perbedaan makna yang dihadirkan.
Aspek citra yang ditampilkan “Garatuba” melalui video yang diunggah tentunya tidak bisa dikesampingkan. Hal itu karena single ini tidak dirilis hanya sebagai single, tetapi dalam bentuk video lirik dengan visual yang begitu diniatkan seolah menjadi terjemahan visual dari lagu tersebut. Video 3D bangunan dengan arsitektur yang begitu kental, ilustrasi dari perupa Kuncir Sathya Viku, atau pilihan footage video dengan efek serta komposisi penempatan lirik menunjukkan betapa video lirik yang mereka rilis selalu dipikirkan dengan matang. Pertanyaannya, lalu seperti apa video clip nantinya?
Dalam caption Rollfast yang mengantarkan perilisan video lirik “Garatuba”, mereka menjelaskan “Garatuba” merujuk pada “segara tuba” (segara: laut, tuba: racun) atau “gara-gara tertuba” (akibat teracuni). Dalam konteks “segara tuba”, lautan racun mungkin saja merujuk pada bagaimana Bali (pulau tempat mereka tinggal) kemudian tanpa disadari telah berubah menjadi lautan penuh racun akibat pilihan untuk menyerah pada industri pariwisata massal yang lebih mementingkan jumlah turis yang datang daripada kualitas wisatawan dan keberlangsungan Pulau Bali sendiri.
Ketika merujuk pada “gara-gara racun”, bisa jadi bagaimana pilihan sebelumnya untuk mengambil racun (citra sebagai pulau destinasi utama bagi wisatawan) membawa konsekuensi pada peningkatan dosis racun yang harus dikonsumsi hingga membuat ketergantungan pada racun, seperti halnya konsumsi analgesik untuk nyeri, sampai-sampai berpikir Bali tak mungkin bisa bertahan tanpa industri pariwisata yang berorientasi jumlah, yaitu pariwisata massal.
Hal tersebut tentu hanya sebuah kemungkinan dan kesan yang hadir dari music-video-caption dan bagaimana pariwisata menjadi panglima di Bali.
Ketika telinga dijejali dengan komposisi “Garatuba”, mata disuguhi petualangan menyusuri potongan ruang dan peristiwa yang dihadirkan oleh video lirik. Hal ini membuat perilisan single “Garatuba” dalam bentuk video lirik bisa memunculkan kesan tidak hanya pada lagu, namun juga pada video liriknya.
Kesan yang lahir dari video lirik “Garatuba” terlihat jelas dari status yang ditulis oleh warganet atas nama Wayan Mega. Di dinding Facebooknya, beliau membagikan ujung akhir video “Garatuba” dengan caption: “Masih seputar klip ‘Garatuba’ dari Rollfast. Saya suka bagian epilog klip ini. Seekor celeng tersesat di pantai yang bukan habitatnya. Sebuah metafora paling ngalih amah, karena lahan be telah (bingung mencari makan karena lahan sudah habis)”.
Corona tiba, pandemi melanda, pariwisata yang sebelumnya bergerak kencang mau tidak mau harus terhenti atau paling tidak melambat. Di tengah kebiasaan bagaimana keinginan berhasil dipenuhi oleh pariwisata hingga membuat ketergantungan pada industri pariwisata tak bisa terelakkan, Corona membuat kebiasaan tersebut tak bisa lagi terpenuhi. Bahkan jangankan untuk keinginan, untuk kebutuhan saja pariwisata tidak lagi bisa menjaminnya.
Bali kini berada pada situasi transisi dari kondisi pandemi dengan segala pembatasannya menuju new normal dengan segala adaptasi dan himbauan yang membingungkan, serta harapan untuk segera kembali ke situasi normal (pariwisata sebelum pandemi). “Garatuba” yang dilepas oleh Rollfast di tengah situasi seperti itu bisa jadi menghadirkan sebuah pertanyaan: Ke manakah Bali akan melangkah?
Apakah Bali mulai menyadari bahwasanya industri pariwisata bukanlah jaminan keberlangsungan Bali, sehingga diperlukan upaya mencari alternatif-alternatif lain, seperti misalnya pertanian dan olahan turunannya? Atau tetap tergantung pada industri pariwisata massal yang nyatanya (tanpa disadari) berhasil membuat peristiwa seperti yang termuat dalam video lirik: babi guling untuk sesaji yang hendak dihaturkan jatuh dan hancur, atau celeng kebingungan di tengah pantai.

L. TAJI
penulis, fotografer, aktivis