Galungan, Sing Pulang Kampung? | cerita I Gede Sarjana Putra

Pagi ini, kami sekeluarga bersemangat bersembahyang di Pura Puseh Desa. Ngegalung. Selasa kemarinnya kami sekeluarga berpesta, penampahan Galungan. Lelaki dari keluarga kami sibuk mebat, ngelawar, tum, urutan, kuah balung dan terakhir kami berpesta. Daging Babi tentunya. Pesta makan lawar dan disertai tuak dan tugas lain menunggu yaitu memasang Penjor dan menghias pelinggih. Perempuan dari keluarga kami sibuk metanding banten dan saling berbagi cerita, saat di rantau.

Sembahyang pagi Ngegalung, yang kami persiapkan jauh-jauh hari ternyata tidak sesuai harapan. Harapan merayakan kematian Mayadana yang dibunuh Dewa Indra, tiba-tiba suasana gaduh. Kami sekeluarga berebut kamar mandi, karena Air PDAM mati. Air PDAM mati disaat Hari Raya Galungan, di saat kami akan merayakan kemenangan. Aku jadi berpikir lagi soal air di negeri ini. Negeri yang melimpah ruah air, bisa-bisanya airnya tidak sampai ke rumah-rumah dengan nyaman dan tenang. Maka pagi di Buda Kliwon Dungulan, aku pastikan ribuan sumpah serapah soal air, tentunya kepada segenap kru PDAM. Padahal sebentar lagi hati mesti hening, menghadap Tuhan, meketis dan nunas tirta. Mungkin benar apa yang dikatakan Benyamin Franklin, seabad silam. “Bila sumur mengering, barulah kita mengerti betapa berharganya air.” Namun kalimat B. Franklin, presiden dari negeri Paman Sam yang jauhnya ribuan kilometer itu kuplesetkan, “Bila air PDAM tidak mengalir, tentunya otakmu dungu,” meminjam sarkastik Rocky Gerung.

“Aku mandi duluan,” lalu iparku menyahut, “Aku mesti bawa sesajen pagi-pagi ke pura, maka akulah yang mandi duluan.” Anak-anak juga berebut mandi, karena mereka selalu menunggu momen ini, berpakaian bagus, wangi dan tentunya bebas memegang HP. Aku mendengarnya tanpa ekpresi apa-apa, agar suasana tidak semakin gaduh. Air hanya tersedia satu bak mandi 60 X 60, dan bila seorang saja mandi air itu bakal habis. Kubiarkan saja kegaduhan itu terjadi, sambil memanaskan tum dan menggoreng urutan kemarin untuk sarapan pagi. Sambil berpikir, “Inikah sisi lain dari Hari Raya Galungan, bila tanpa air.” Terdengar keputusan bijak dari ayahku, “Cukup cuci muka dan menggosok gigi saja, dan itu sah. Para dewa tidak akan keberatan kalau umatnya sembahyang tanpa mandi.”

Sepekan sebelumnya, ketika sedang menerima mata kuliah Antropologi Agama, dosenku bertanya.

“Apa makna Galungan menurut kalian?” tanya dosenku. Sontak saja kami sekelas, bertujuh menjawab dengan sama, ‘Kemenangan Dharma melawan Adharma.’ Dosenku tersenyum sambil membagikan kertas copy-an kepada teman sekelas sambil berkata,

“Itu jawaban konstan yang kalian dapat dari sekolah dasar. Baca ini pelan-pelan dan hayati. Sebentar kita berdiskusi lagi,” katanya sambil meninggalkan kelas. Entah ke toilet atau untuk merokok. Membaca selembar kertas itu, kami sekelas mulai kasak-kusuk. Tidak mungkin Hari Raya Galungan berasal dari India. Tidak mungkin Mayadanawa keturunan Rahwana. Tidak mungkin Dewa Indra membunuh Mayadanawa yang semestinya Dewa Wisnu. Pasti karena iri akan kesaktian dan ketampanannya, makanya Mayadanawa dibunuh dan seterusnya, seterusnya,,. Saat kasak-kusuk masih berlangsung, dosen masuk kelas dan melanjutkan pertanyaan yang sama dengan tadi,

“Bagaimana menurut kalian soal Hari Raya Galungan?” tanyanya lagi. Kami terdiam dan masih memikirkan Galungannya Maya Danawa dan memikirkan Rama yang membunuh Rahwana. Kami terdiam ternyata Galungan yang aku/kita yakini masih bisa diperdebatkan. Akhirnya salah satu teman sekelas menjawab,

“Bukankah cerita Maya Danawa itu fiksi, karangan, mitos. Sama seperti cerita monyet-monyet yang membantu Rama juga cerita fiksi. Saya kira itu sebagian dari pelanggaran HAM, karena ada minoritas orang cebol, mekamen mekancut, kulitnya hitam, dekil dan berbulu disebut monyet. Kalau monyet itu memang ada, mestinya keturunan Hanoman masih ada dan berbicara soal generasinya yang saat ini,” dan kalimat ini juga disahut teman lain,

“Bukankah Hari Raya Galungan adalah cerita penaklukan pasukan Majapahit ke Bali. Maya Danawa yang entahlah siapa nama aslinya, lalu diberikan nama Danawa yang artinya Raksasa, yang artinya kecemburuan Raja Majapahit terhadap gantengnya Raja Maya yang kunon ibunya memiliki kecantikan bak bidadari tinggal di daerah dingin Danau Batur, termasuk  kecemburuan orang Majapahit yang tidak mampu menandingi kesaktian dan kecangihan ilmu Maya Danawa,” tukas yang lain.

“Kalau memang Maya Danawa itu raksasa, mengapa ibunya disebutkan bak seorang dewi, yang tinggal di daerah dingin seputaran Gunung Batur. Putra seorang dewi pastinya ganteng, karena gantenglah, Raja Majapahit iri,” sebut temanku.

“Jangan-jangan cerita Maya Danawa dikarang di wilayah Majapahit, guna merecoki pikiran masyarakat Bali waktu itu, bahwa paham Indra, paham Wisnu agar mendapat tempat di Bali. Bukankah saat itu di Bali masih suasana perang antar sekte. Cerita ini jelas-jelas pesanan kaum Majapahit yang menjajah Bali dengan kedok agama. Agama di Majapahit juga berasal dari India, bisa jadi Maya Danawa keturunannya Rahwana,” jelas teman yang perempuan.

“Jangan-jangan cerita Maya Danawa mengadopsi cerita Ramayana. Hanya Maya Danawa tidak disebutkan suka perempuan. Ada kemiripan cerita, dan mitos dibuat agar kita memuja warga penjajah dari Majapahit yang masuk Bali saat itu, sehingga lahir wong Bali Mula, wong Bali gunung dan wong Majapahit yang mewakili keyakinan kekinian yang ada saat itu,” tukas teman yang anti penjajahan.

“Kalau semua cantik, kalau semua kaya dan kalau semua berbuat Dharma, maka adharma tidak ada. Justru adharma dibutuhkan untuk memelihara eksistensi Dharma itu sendiri. Justru yang tidak cantik itu memelihara eksistensi kecantikan. Bukankah rasa sakit itu perlu, agar tahu kita tahu bagian tubuh yang mengalami kerusakan,” papar yang lain. Dosenku yang pernah melawat ke Negerinya Gandhi, senyum-senyum menikmati diskusi yang nampaknya pendapat mahasiswanya mulai ekstrem.

“Ohh, kalau begitu, Penjor yang kita pasang menjelang Galungan ternyata bukan untuk para Dewa. Penjor yang kita pasang itu kita isi buah-buahan, umbi-umbian, gabah atau padi dan daging mungkin untuk pasukan Majapahit yang hendak pulang kampung ke tanah Majapahit. Kenapa dipasang tinggi di bambu, agar tidak dimakan anjing liar. Nah ketika pasukan Majapahit lewat pulang-kampung, mereka cukup merebahkan bambu dan mengambil bekal di bambu yang didirikan di depan rumah warga, mereka boleh mengambil semampu yang bisa dipikul dan sebagai bekal dalam perjalanan. Istilah penjor ini dipaksa-paksakan Pak, dimitos-mitoskan, bersemayam Dewa Naga, Ananta Boga atau Naga Basukih yang naga ini juga hasil rekayasa dari Negeri Cina,” tukas yang lain.

“Lha, kalau kemenangan Dhrama, yang disebut kemenangan Dewa Indra, kenapa tidak ada pemujaan khusus kepada Dewa Indra, yang mampu membebaskan Bali dari Raksasa. Semestinya Dewa Indra mendapat tempat utama di Bali karena sebagai king of war. Mengapa kita tidak menjadikan Indra sebagai simbolnya orang Bali,” tukas yang lain lagi.

“Kalau cerita itu benar, pertanyaannya masa hanya Dewa Indra saja yang turun ke Bali. Sebelum dan sesudahnya pasti ada dewa lain yang turun ke Bali. Jangan-jangan orang Majapahit mendewakan rajanya yang dijuluki Dewa Indra. Masa tidak ada dewa lain yang secara fisik turun ke Bali untuk membasmi kejahatan yang lain,” tanya seseorang kalem.

“Ahh, ini memang mitos. Hal yang paling mudah dilakukan penguasa saat itu adalah dengan mitos. Mitos melahirkan keyakinan juga melahirkan ketakutan bila tidak melaksanakannya. Bukankan saat itu tidak ada Perda atau undang-undang sehingga cerita yang dibuat penguasa adalah hukum tertinggi. Mitos ini lebih mudah tersebar dari mulut ke mulut dan masuk sampai warga gunung, ini sih gaya ilmiahnya Roland Bardhes. Mitos ini tercipta, sehingga orang Bali mesti sembahyang pada Buda Kliwon Dungulan. Kita patuh, kita taat tanpa pernah menanyakan apakah keluarga Maya Danawa yang masih ada yang hidup saat ini.”

Akhirnya kami terdiam setelah semua mengutarakan pendapat masing-masing. Seakan kami telah melepaskan beban dalam diri yang tertahan sekian lama. Akhirnya dosenku berkata,

 “Semua pendapat itu kemungkinan ada benarnya, tugas kalianlah sekarang mencari bukti-bukti untuk pembenaran pendapat kalian sebagai warga akademis. Teks yang saya berikan ini juga perlu diuji kebenarannya, apa benar Maya Danawa keturunan Rahwana dan seterusnya,” jelasnya.

Kami manggut-manggut setuju, bahwa masih diberikan berpikir bebas, bahwa di ruang kelaslah kita diberikan berpikir bebas. Dikatakannya, pernyataan yang tadi, tidak bisa diungkapkan ke masyarakat, sebelum disertai bukti valid. “Dan ingat,” tambahnya, “Perayaan Galungan telah memberikan kontribusi secara ekonomi yang besar bagi masyarakat Bali. Dagang buah, kain destar, kamen-saput, daging, bumbu, bambu sampai perhiasan kaum perempuan disana kita memutar uang. Bahwa perpuratan ekonomi ini merata dan dinikmati lagi oleh masyarakat Bali tanpa kecuali untuk yang mau memanfaatkannya. Bahwa setiap 210 hari, kita berpesta, pesta daging, pesta buah dan pesta yang sesungguhnya adalah pesta masyarakat Bali, yang teguh memelihara adat dan budaya,” jelasnya sambil mengakhiri perkuliahan. Kami pulang dengan pikiran masing-masing.

********

Kami sekeluarga juga pulang dari sembahyang rutin setiap Hari Raya Galungan. Mulai sembahyang dari Sanggah Merajan, lalu ke Pura Dalem dan terakhir ke Pura Desa. Aku jadi berpikir, bahwa yang namanya Ngegalung adalah pulangnya warga rantau ke kampung, memberikan orang tua kebahagiaan, menyapa, disapa dan membawa sekedar oleh-oleh. Tidak peduli kisah yang terjadi di Desa Bedulu, Desa Tatiapi, Tukad Pakerisan sampai ke Tampaksiring seribu tahun silam. Galungan yang bagi kami, warga perantau adalah waktunya bersama warga desa bercengkerama, saling menukar kabar masing-masing, berbagai informasi pekerjaan atau kabar lainnya. Galungan adalah hal sederhana, berkumpulnya keluarga masing-masing, bertanya sehat-sakit dan kemungkinan masa depan yang akan di raih. Galungan juga mendengarkan sapaan tetangga, ‘Pidan mulih, kengken kabare, panake seger, buin pidak balik, mai singgah mulih, kudang kilo nguak celeng, kuda dawan urutane dan sederet kalimat lainnya. Menurutku sapaan verbal itulah penanda kesadaran bersosial yang tinggi tanpa sekat dan keikhlasan. Inilah beragama, inilah kemenangan, dengan ngegalung bahwa kita telah memaafkan  dengan ungkapan. Galungan adalah refleksi diri, bahwa aku/kita masih dari bagian desa adat, dekat dengan desa adat dan berakhir di adat.

“Pak De! Be suud maturan? Ajakine meceki delodne, kuangan bin sik,” ajak tetanggaku. Maka aku bergegas, kalah sudah pasti. Anggap saja berbagi rejeki.*

sarjana-putra

I Gede Sarjana Putra, S.Fil

Lahir di Desa Titab, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, September 1970. Menjalani pendidikan Sekolah Dasar, SMP dan SMA di Buleleng dan sempat kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Warmadewa, Denpasar, tahun 1989.  

Berkenalan dengan Seniman dan Sastrawan Abu Bakar, dan tokoh lain menjadikan sebagai penulis, pengamat seni. Beberapa Cerpen Bahasa Indonesia dan Cerpen Berbahasa Bali pernah dimuat di media cetak.

Pernah juga sebagai Juri Lomba Monolog Tingkat SMA di PKB Tahun 2006, Pengisi acara Pesta Baca Puisi dan Keroncong PKB 2005, Juri Mesatua Bali Tingkat SD di Klungkung. Puisinya dibukukan pada Antologi Puisi dalam “Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta’ bersama 50 penulis Nasional lainnya. Membukukan Cerpen ‘Cetik Taluh’ Tahun 2019, tergabung dalam Tim Penulis Buku Alumni UNHI Berprestasi,  Juara I menulis Esai Berbahasa Bali pada PKB 2019.  Saat ini masih aktif menulis, sebagai wartawan dan menamatkan studi S1 Prodi Filsafat Hindu di UNHI Denpasar dengan predikan Lulusan Terbaik.

Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/white-smoke-52732/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *