Doa | sajak-sajak Thomas Elisa
DOA Aku melipat gelap dalam biji mataku Memanjatkan sekuntum mawar yang terkoyak Mengucap sederet nama dalam pialang devosi : Ibu. Awak. Bapak. Rayi. Leluhur. Gunjing. Pilu. Hingga segenap kata menjelma ribuan kanak-kanak Mereka berbaris mengetuk palung pualam jendelamu Dingin dinihari menguncup di punggungku Nyaring kokok ayam dan racau hujan menelanjangiku Dalam gelap kubayangkan jemari lembutmu Menjelma seekor ikan paling besar di samudera Dan menelan seluruh kerut cemas kidungku Serta kau muntahkan resahku di pesisir harapan Seperti kisah Yunus berlaksa abad lalu … . Sebentar lagi dinihari mencapai purnama Masih setia ku tunggu undian nasibku Bibirku menggumpalkan kalimat pinta padamu : Tuan, lemparkan dari pualam jendelamu Setitik terang yang kelak menjelma ribuan kunang-kunang (2022) NIETZSCHE Ja Sagen Aku mengikuti isi pesanmu Menyerahkan punggung tubuhku pada nasib Menerima lekuk cambuk biadab peradaban Sampai tak kurasakan ngilu sebagai sembilu … . Ja sagen Aku merangkak dari segenap memarku Menyesap anyir luka di baris-baris tengkukku Nyeri ke ujung nyeri adalah daya adikodrati Bagi mereka yang memahami petuahmu (2022) APABILA Apabila engkau datang Sajakku akan menjelma sebuah rumah singgah Di sana akan kau lepas jejas pedih perjalanan Dan kau rebahkan setiap ingin pada selimut kata Sampai pagi membangunkan mimpimu ke dunia nyata … . Tapi, apabila engkau pergi Sajakku akan menjelma sebuah museum kenangan Di sana akan kau ingat setiap jejas pedih yang tertinggal Serta ribuan mimpi yang terbangun bersama pagi Meski engkau bukan lagi seorang penghuni (2022) KUNTUM KRISAN Sebelum terminal mengantar bisu perpisahan kita Kau selipkan sekuntum krisan di bajuku Mengharap ia tumbuh dan berbunga semerbak Lalu kuhidu untuk mengingat selalu namamu … . Kuntum krisan itu, kekasih Telah diam-diam menjadi ribuan bunga Mengantar semerbak wangi tanganmu Memajang warna-warni ayu wajahmu Sampai tak kuingat nama wanita selain dirimu … . Bila kelak musim semi telah tiba Akan kurimkan ribuan krisan padamu, kekasih Setiap warnanya akan mengubur jarak menganga Setiap akarnya menuju ke dasar mata air rindumu (2022) EKARISTI DAN HOSTI Sebentar lagi senja menggigil pergi Pintu-pintu tertutup gelap malam Semua berkumpul di meja penuh roti tanpa beragi Tak ada lagi catatan-catatan nasihat di sana Telah berhenti semua tutur nubuat esok hari “Semua sudah cukup. Semua sudah genap” ucapnya Malam menuju hening paling harum Kisah tentang orang lumpuh, orang buta, dan pertobatan Memeluk syahdu ingatan para pengikutnya Cerita tentang kebangkitan, rumah Bapa, dan kedatangan kedua Menepuk ruang-ruang hati yang penuh cemas ragu Ia lantas mengambil sepotong roti dan sebuah piala Dipecahnya tubuh dari inkarnasinya sendiri Dituangnya darah dari bilur lambungnya sendiri “Semua harus digenapi semua akan dinamai” sabdanya Seluruh isi ruangan khusyuk berkata : ekaristi dan hosti

Thomas Elisa, lahir 21 September 1996 di kota Surakarta. Penulis tinggal di Pucangsawit RT 01/RW 03, Kecamatan Jebres, Surakarta. Penulis telah menempuh jenjang pendidikan di antaranya : TK Kristen Petoran (2001-2002), Sekolah Dasar Kanisius Pucangsawit (2002-2008), Sekolah Menengah Pertama Negeri 20 Surakarta, (2008-2011), Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Surakarta (2011-2014). Penulis juga telah menyelesaikan program Strata-1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) pada Juni 2018 lalu. Karya terbaru penulis adalah novel fiksi anak berjudul Bangunnya Peri Merah (2017) dan Hadiah Tak Terduga (2020). Penulis mengajar di SMA Kolese Loyola Semarang.
Gambar Utama: Foto Andres F. Uran di Unsplash