DJA | cerita S. JAI
Kau telah tahu hidup, tapi tak mengerti perihal mati. Semua orang mencari hidup, dan mati sudah terberi.
Akulah yang mati berkali-kali dalam hidupku.
Sejak sepuluh tahun terakhir aku mencari matiku dengan menjadi penipu. Mulanya, aku menipu diriku yang pasi, dengan mengulum senyum dan santun budi. Aku merawat wajah dan penampilanku, memperbanyak cermin pada dinding rumahku agar setiap saat kubetulkan penipuanku bila telah lengah.
Itu cara pertamaku untuk bersahabat bagi setiap yang sanggup belajar menipu diri sepertiku. Awalnya, kami berkenalan, lalu bersua, dan selanjutnya kami para penipu bikin geng “orang-orang yang mencari mati dengan menipu.”
Ada banyak cara mati selain dengan menipu. Cara terbanyak adalah bergerombol dengan orang-orang yang tidak tahu jalan kematian. Mereka seakan tahu hidup dan kehidupan, walau sesungguhnya ketidaktahuan jalan kematian itu artinya jalan hidup pun tak paham.
Katakanlah banyak yang tak tahu tengah berjalan sesat.Tersebab itulah panjiku dan geng sadar pada kredo mulia kami: menjadi penipu adalah kesadaran tertinggi mengagungkan kematian, ketika kebanyakan orang menjunjung tinggi masa depan hidup bahagia, jaminan surga, wajah-wajah bercahaya yang kelak didampingi malaikat penuh manfaat filsafat.
Sementara kredo kematian, kami adopsi dari penderitaan penyair. Tepatnya penderitaan pascapenyair. Hanya penyairlah yang memahami. Bahwa bila puncak kepenyairan adalah penderitaan akan kebebasan, otentisitas eksistensial, pemuja kematian, maka akulah yang melampaui kepenyairan: Akulah kematian itu sendiri. Akulah sang aktor bunuh diri dengan ikhtiar terbesar berpura-pura menjadi penyair.
Puncak pencapaianku: ketika sebagai penyair berpengaruh mendengar gengku “Kami bersumpah mulai detik ini siap bunuh diri perlahan, menjadi penipu dan pura-pura bahagia dengan uang, karya, serta kehormatan bercampur ketakutan.”
Ya, ketakutan penting disisakan demi menimbang jika masih ada keselamatan—sebuah perasaan yang hanya dimengerti bagi yang menempuh jalan bunuh diri.
Begitulah, aku tahu. Itulah pentingnya di atas keyakinan, masih perlu surat pernyataan bertanda tangan di atas meterai: Setiap yang gagal menulis Puisi Esai, sudilah menyerahkan kepalanya pada pisau guillotine[1] atau setidaknya memasrahkan kelaminnya untuk dikebiri, manakala gagal bunuh diri.
Kebahagiaan jalan kematian menjadi penipu adalah panglima kami. Penderitaan hidup dan masa depan adalah ancaman.
Seniman, penyair, pengarang, kritikus yang bersimpang jalan, yang berbeda arah terus berperang, menyerang kami sebagai pecundang. Para kritikus tak menyoal jalan kematianku—karena menjadi penipu memang hakku, yang sepertinya sudah ditanamkan sejak dari rahim ibuku. “Hanya saja, kebahagiaan anda, uang anda, itu tidak pantas disematkan pada kelompok anda karena hanya memperburuk citra Bank Indonesia terseret-seret di neraka,” ujar seorang penyerangku.
Syukurlah, logika kritis para pengritikku cukup sanggup membuatku sadar sebagai penipu aku luput dari aksi tipu-tipu: Mengurusi kematianku, menikmati perpanjangan waktu harakiri-ku lebih pelik ketimbang mengelola data, proyek dan keuanganku. Bunuh diriku dan geng membuat orang demikian gaduh, kisruh, ruwet, bau, serta bikin carut-marut seperti kentut.
Sudah menjadi tekadku memilih jalan bunuh diri, dengan menipu. Hal ini lantaran dunia sekelilingku, sejawat, sahabat, para seniman, penyair dan pengarang telah lama dalam kepura-puraan. Sebagai seorang yang sejak gawan bayi sadar pada mati sia-sia, dan selepas menerbitkan buku Atas Nama Sayang, sayang yang kumaksud adalah pada profesi penipu, maka bulatlah kredoku: Tetap Bunuh Diri, Jangan SemangART.
Akulah korek api. Jonatan, Sarjana, Jamran dan lainnya yang semula ragu-ragu, cepat sekali otaknya berputar menjadi pemikir. Mereka merancang dan menyusun Seratus Jurus Ampuh Bunuh Diri yang Berpengaruh. Tak hanya itu, buku-buku lain dari penulis lain mengampanyekan Tips dan Trik Menipu, Politik Sastra Amburadul, Strategi Menulis Puisi Esai Tak Bermutu, Dari Puisi dalam Negeri Menuju Luar Bumi, Taktik Jitu Aploud & Download E-Nobel, 1 Sastrawan Paling Bau dan 32 Sastrawan Berpengaruh serta ribuan makalah tentu saja.
Tak mungkin tanpa mereka, bau busuk aksi tipuanku demikian cepat menyebar. Aku musti akui kehebatan berpikir mereka para anggota geng yang selalu out of the box. Para pemikir yang otaknya selalu berputar. Tepatnya, otak para pemikir yang senantiasa memutar balik pengetahuan mainstream. Bahwa untuk menjadi penipu ulung, mulailah dari menipu diri sendiri: Neraka adalah Diri Sendiri, Politik Uang adalah Panglima, Kronik Sastra Kroni, Aku Menipu Maka Aku Ada.
Alhasil, gerakan menipu para penipu ini sukses besar melibatkan baik para sastrawan maestro, kritikus kawak, akademisi tulen, maupun pemula yang ngaceng pada Puisi Esai. Dalam waktu singkat mereka melipatgandakan kepekaan pancaindranya, sekaligus bertukar tempat: Indra penciumannya demikian kuat untuk membaui dirinya sendiri. Tersebab itu tanpa ragu dan bimbang mengasah kesaktian hidung untuk mengecap, mata untuk mendengar, telinga untuk meraba, lidah untuk mencium, kulit untuk melihat.
Mengkritik itu mudah, mengarang itu susah. Tak sulit memahami jalan pikiran para pengkritikku. Karena mereka sastrawan ketinggalan zaman yang hanya ahli waris pemuja kejujuran, kebenaran kreatif—mereka lupa inilah pangkal soal yang mesti disangkal sebagai mitos para pembual.
“Menulis syair agar terlihat indah dalam hidup itu mudah. Tapi mencipta puisi eksplorasi, eksperimentasi yang mati-matian menempuh jalan mati itu sungguh setengah mati. Puisi bukan alat untuk bunuh diri. Puisi adalah bunuh diri itu sendiri.[2] Tugas sastrawan adalah menghancurkan kemapanan estetika indah, meleburkan mitos para pembual. Yaitu, hanya dengan satu cara: menjadi penipu, menjadi pembual baru,” ungkap Sang Raja Penyair suatu kali.
“Nah, dengan menjadi penyair yang membual, yang menipu, yang atas nama sayang, uang, dan ruang, kami punya sumbangsih besar pada subtansi penghancuran, dekonstruksi. Kami membual, maka kami ada dalam ketidak-adaan kami,”[3] tedas Presiden Pengarang, meski kata-kata keras diungkap begitu hikmat dan santun.
Aku tersenyum. Terbayar sudah bayangan tipuanku mengelola sastra bagaikan mengurus suatu negara.
***
Semenjak pikiranku larut dalam ada dan ketidakadaan, dengan pisauku aku serasa menguliti malamku. Keadaan para pembual tak lain keberadaan para penganjur jujur pula. Sepanjang menjadi penipu dan terus menipu, hari-hariku seperti biasa sebagaimana para penganjur jujur. Karena itu, tidak penting lagi bagiku menjadi penipu atau tidak menjadi penipu. Ada kejujuran bagi penipu, sebagaimana terdapat penipuan dalam penganjur jujur.
“Hanya berbeda kitab suci, meski sama-sama dalam iman, amal dan kepentingan. Kitab suci yang ditulis oleh Tuhan bisa untuk menipu, sebagaimana kitab suci yang para pembual tulis ini manjur untuk menghibur secara jujur. Begitulah Tuhan dan kami para pembual ini sama-sama menulis, sama-sama mencipta. Kau tahu Tuhan mencipta kehancuran, pun kami para penipu mencipta keindahan dengan tipuan-tipuan. Bila Tuhan mencipta makhluknya yang cacat fisik dan mental, apakah lantas kau membencinya? Mengutuk penciptanya? Begitu juga jika kamu menulis puisi esai yang jelek secara buruk, bukankah subtansi penciptaan adalah ruh, dialah getaran-getaran. Begitu pula puisi esai. Bukankah seluruh semesta ini hanya tipuan ada dan ketidakadaannya? Kitab suci kami adalah puisi-puisi yang dianjurkan para pesakitan. Iman kami adalah kesakitan: Halu, postpower syndrome, narsistis. Estetika kami adalah kebohongan, kekosongan dan bunuh diri rohaniah.[4] Tidak ada iman paling tinggi bagi kami selain gairah untuk mengekalkan mitos-mitos penipuan. Inilah kebangkitan agama kami.”
Menurut Sang Presiden Pengarang, Raja Penyair, serta Dewa Esai, inilah musabab satu-satunya kodrat gengnya yang harus diusahakannya sendiri: adalah menjadi penipu.
Setelah berpuluh tahun sukses dalam halusinasi, narsistik, postpower syndrome dan berkali mati, terkadang aku gamang tentang para pengkritikku. Aku harus akui, bahwa mereka sebetulnya intelektual yang brilian: menguasai sejarah, teori, tafsir karya dan kritik sastra. Analisanya tajam, idealismenya mengagumkan. Hanya kukira salah waktu dan tempat. Mustinya, mereka hidup di zaman ketika tak ada uang, bank dan meterai 6000-an yang kitab sucinya adalah imajinasi.
Bila terkenang akan hal itu, aku cukup kesal betapa di sebalik kecerdasan musuhku sesungguhnya tersimpan mutiara kebodohannya—yang seperti halnya penipuan, bisa dirawat, dikelola, dieksplorasi sebagai puncak estetika. Semisal: Kebodohan adalah matahari kreatif paling sia-sia manusia di bumi yang mengalahkan Sysiphus di bukit filsafat. Meski demikian, ancaman utama estetika kebodohan adalah keberuntungan.
Ingin kukatakan pada musuh-musuhku, tak perlu cemas. Bahwa musuh adalah kawan dalam selimut. Menempuh jalur kebodohan, seperti halnya jalan penipuanku, tidaklah mudah.
Dahulu, aku bersusah payah mengawalinya dengan membaca beragam buku falsafah, mencermati tabel dan diagram, politik penipuan dan terjun langsung dalam survei-survei para penipu. Kuakui inilah modal dikenal menjadi pembual. Awalnya, berbekal lusinan kartu namaku: Diancuk Jaran: Intelektual Penipu/Penipu Intelektual. Sampai aku cepat melesat, sebagaimana umumnya orang tak perlu menyebut lengkap namaku. Cukup inisialku DJA.
Aku semakin mahir memainkan imajinasi, uang dan kekuasaan. Kalian mungkin anggap ini sesuatu yang klise. Tapi sebenarnya ini prinsip kemanusiaan, tepatnya sebagai makhluk bermain.Yakni, mula-mula uang memainkanku. Lambat laun akulah yang memainkannya. Awalnya berjudi, ending-nya sulapan. Kali pertama barangkali engkau ditertawakan, selanjutnya kau yang menentukan siapa yang tertawa, siapa yang menangis, dan siapa yang tertawa sampai nangis dan menangis dengan gelak tawa.
Dan mereka mulanya tertawa, seolah menipu itu kejahatan. Jika demikian, mengapa pesulap-pesulap tak ditangkap? Kau bisa beralibi kalau soal itu sudah diatur oleh agama samawi dengan haram hukumnya. Baiklah, soal ini aku bisa katakan: Kalau orang beragama boleh berhalusinasi, mengapa kalian para pengritik begitu cerewet dengan halusinasiku? Kalian silakan menghujat penipuanku, tapi kamu akan nikmat mencari korban tipuan berikutnya ketika sudah berhasil kutipu dengan filsafat uangku.
Amboi! Sebenarnya aku tak perlu susah-susah membeberkan hal begini lagi. Bukankah program kerja penipuan telah bekerja di gengku? Sudah ada Presiden Pengarang, Raja Penyair, Dewa Esai, panglima, hulubalang, menteri. Lantaran ini soal filsafat, perihal kebijaksanaanku sehingga perlu aku sebagai ‘Tuhan Sang Pencipta’ turun tangan.
Perlu kuterangkan pula, bagaimana program kerja penipuanku bekerja. Aku mengingatnya sebagai kengerian-kengerian ketika idealisme yang telah susah payah kukuh dibangun lalu dihancurkan: saat penganut kejujuran sebagai mitos para pembual, berkeping-keping lantas menyusunnya kembali sebagai bualan. Bayangkan, betapa ngeri itu terjadi pada sastrawan-sastrawan tua-gaek-maestro, dengan berbagai mahkota jejuluk di kepala, bahu serta dadanya. Bagiku, itulah puncak kengerian ketika mereka mengakhiri penderitaan kesenimanannya dari kebebasannya — satu-satunya kekayaan martabatnya. Kengerianku menyaksikan mereka menguliti malam. Andai kitab suci membolehkan aku menangis, maka aku menangis. Tapi tersebab cuma mengizinkan aku mengumpat, maka sebagaimana tertulis dalam akta lahirku, maka mengumpatlah aku: Diancuk Jaran.
Aku betul-betul tak bisa mengusir bayang wajah-wajah mereka yang terkelupas. Lantas terus berdatangan paras lainnya yang bonyok; para pemimpin redaksi jurnal sastra, serta ratusan, ribuan penyair tanpa kepala yang tersihir muslihat.
Sebagai pencipta, aku yang tiga hari sekali perawatan skincare, telah sukses menciptakan zombie, menebar teror dan mengemas kecemasan.
Begitulah, sudah barang tentu tak semuanya halusinasi. Justru inilah fakta. Akulah pesulap yang membuat penikmat tertawa hikmat. Mereka tak lama menjadi zombie. Bahkan lebih cepat dari kengerian yang ngendon di kepalaku. Dari zombie, secepat surat kilat khusus, lalu mereka mati, bahkan sebelum menyusun rencana bunuh diri filsafat.
Lalu mereka bangkit dengan wajah baru, penampilan baru, senyuman baru. Beriman. Beramal. Bersedekah. Karya-karya mereka laris. Proyek lancar. Produktivitas meningkat.
Dari para pengkritik aku belajar melihat kenyataan. Bahwa halusinasi penting bagi para penulis, penyair dan pengarang demi mencapai sublimasi. Penipuan menerbitkan misterinya sendiri.
***
Pada kesempatan langka ini. Mumpung bisa kujumpa kau, kuceritakan sisa penderitaanku, sebagaimana kusisakan ketakutan-ketakutan pada anggota gengku. Siapa tahu suatu saat kubutuh penyelamatan — suatu yang kupelajari dari politik berdiri di dua kaki.
Harus kuakui sebagai penyair pengidap skizofrenia, delusi, halusinasi, fantasi dan tetek mbengek sejenisnya, satu-satunya hal yang paling mencekam dalam hidup adalah ketika sembuh; kehilangan gambaran, lenyapnya penciuman, perginya pendengaran, minggatnya pengecapan, mengungsinya perabaan. Kosong. Sunyi. Gelap. Lebih gelap dari malam. Lebih hitam dari kelam. Bagai terhempas gelombang angkasa ruang. Sendiri.
“Membayangkan saja aku serasa mayat mengambang. Itu semacam saat engkau kehilangan harapan. Tak bisa memutuskan antara hidup atau menjadi sampah di tempat sembarang.”
Cobalah mengerti, kawan. Kehilangan semuanya bagiku, sama sulitnya kau menukar rasa sakit ini denganku. Mustahil aku sewaras kamu. Dan menjadi penipu dengan berkali-kali mati bunuh diri rohani adalah sebaik-baik hidupku, bagimu, juga bagi dunia. Duniaku, dan pada akhirnya duniamu pula betapa jauh lebih berwarna dari aslinya.
“Inilah sebenar-benarnya takdirku dan kodratmu yang kita siapkan sendiri.[5] Sesuatu yang tak pernah akan tertukar. Betapa takdir dan kodrat itu seperti menulis karangan: tak bisa diajarkan, namun bisa dipelajari.[6] Nggak bisa ditukar, tapi bisa keliru.”
Barangkali kau hendak menyela: bukankah kau pernah menilai aku manusia salah waktu dan tempat? Jawabku: memang benar. Pun demikian halnya aku. Menjadi pribadi yang mengidap skizofrenia bukanlah kehendakku. Aku hanya merawatnya dengan menolak kodrat dan mengukuhkan diri Intelektual Penipu dan Penipu Intelektual.
Kau jangan cemas. Ada yang bisa kutipu. Ada yang justru mencoba menipuku. Ada yang girang bunuh diri. Ada yang malah mengancam membunuh diriku.
Aku penyair. Kau pengarang. Tidak akan tertukar. Hanya bisa keliru. Pengarang bisa merasa dirinya penyair. Penyair biasa berlaku pengarang. Aku dan kau tak susah untuk salah.
Dan puisi esai sudah sejak mula kukonsep untuk tujuan serba salah.
***
Di antara para pengkritik dan yang bersimpang jalan denganku, kaulah paling gigih menentang dan menghadang. Kaulah yang paling membuatku kisruh pikiran.
Kau mengejutkanku, seperti cuka yang ditumpahkan di luka-lukaku.
Perih. Mestinya aku merintih. Tapi apa guna merintih, bila bagi seorang suhu penipu merintih tak lain bermakna mahasuka?
Setiap kali kau semburkan cairan itu, menyadarkanku bahwa aku sakit jiwa.
Setiap kali itu pula aku menegakkan kembali filsafat hidupku.
Kita sama-sama bagaikan pecatur ulung yang menyimpan rahasia. Kita dua pendekar yang sama-sama teguh pendirian; tak ada juara 2 dalam ilmu silat. Akan tetapi, kita sekaligus menyakini tak ada juara 1 dalam ilmu surat.
Baiklah. Kau dan aku tak akan bertanding. Lantas agar perjumpaan kita tak sia-sia, mari kita sama-sama melemparkan tantangan.
Aku tantang kau untuk mencipta dan memublikasikan Cerpen Esai. Apabila sebuah koran kemudian memuatnya, kau bakal menerima tak hanya honor dari media tersebut, melainkan kujamin pundi-pundi di rekeningmu bejibun. Lebih dari itu, bilamana kau tumbang, kupastikan semua rekening redaktur sastra di Nusantara akan kubuat jaya di darat, laut dan udara.
Giliranmu, silakan buat tantangan padaku, Bung!
Ngimbang, 20 Januari 2022
[1] Seperangkat alat pancung bagi yang telah divonis hukuman mati. Prinsip kerjanya cepat dan disebut-sebut ‘manusiawi’. Guillotine populer pada masa Revolusi Prancis (1789–1799), era runtuhnya Monarki absolut dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Catatan kaki ini sebetulnya tidak perlu, hanya karena setiap Cerpen Esai mensyaratkannya.
[2] Parodi dari kredo Sutardji Calzoum Bachri “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri.”
[3] Tentang ada dan ketidak-adaan saya pinjam dari Jean Paul Sartre. Dalam kesadaran, katanya, sesuatu diletakkan pada posisi tengah antara “being” dan “nothingness.” Ungkapan Sartre yang terkenal: Ketidak-adaan mengeram di jantung semua eksistensi seperti seekor ulat.
[4] Bunuh diri rohaniah dari istilah Albert Camus untuk “Philosophical Suicide” yang ditujukan pada mereka yang meninggalkan kesanggupan untuk memakai akal, yang memakai sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh akal, sebagai dasar kekuatan yang bisa menjelaskan rahasia hidup manusia.
[5] Perihal takdir dan kodrat ini saya ramu dari pikiran Budi Darma dan Jean Paul Sartre. Budi Darma berulang-ulang menegaskan dirinya menjadi pengarang karena takdir. Sartre berkata: Manusia tidak mempunyai kodrat karena tidak ada Tuhan yang membuatkannya untuk dia. Manusia hanya sekadar ada… adalah tidak lain daripada sesuatu seperti yang dia bentuk sendiri.
[6] Saya kutip dari catatan editor Pamusuk Eneste dari buku Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, Jilid 4.

S. Jai. Lahir di Kediri, 4 Februari 1972. Pengarang sejumlah novel. Yang terbaru, Ngrong (2019), masuk 10 besar nominasi nongkrong.co award 2021. Novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasih memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012). Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019). Tinggal di Ngimbang, Lamongan.
Gambar Utama: foto Mariann72 di Pixabay.