DI RUMAH TIMUR | puisi Ruhma Ruksalana Huurul’in
Di Kompleks Perumahan puan dicipta untuk cibiran, peperangan atau hal yang menyedihkan bagi banyak orang puan ditempa menjadi kuat, padahal ia berasal dari kelembutan embun dan sinar awal matahari puan dan segala keburukan dunia menghabiskan satu hari mengendarai kuda melewati sungai dan beberapa bukit berbatu hampir tak percaya apa yang dilihatnya Di Rumah Timur berwarna gelap kuning agak cokelat, kusennya hitam mengingatkan kita pada batang manisan yang dipatahkan dulu sebelum diisap ada sosok ibu selalu menjahit baju untuk seluruh penghuni rumah tak banyak yang bisa dilakukan penghuninya buru-buru berlalu sehabis ganti baju Rumah Putih rumahku ini tak bisa disebut menyedihkan tapi ia cenderung mencurigakan semua dicat putih kusen, jendela, pintu, tembok putih, tak pernah ada warna putih seputih rumah ini aku makin curiga rumah ini bersiap untuk menyelenggarakan acara tak tahu acara apa yang pasti aku tak akan diundang Pemakamanku Liang ini Kauhiasi Dengan Pohon lemon, Beberapa mekar tumbergia Satu pasang sepatu bot Jaket ukuran besar -ada robekan baru di sikunya Kecupan yang diabadikan dalam citra polaroid Sepotong lirik riang tentang anggur Sekelumit gugur bintang Perihal Sepi Ia diciptakan dari bias ruh riuh duniawi Menjadi spasi dalam malam dan cerah hari Perihal Belati Belati pemakan darah dan dendam. Dendam menyeret diri. Diri, apa ia sakit? Sakit bila kematian jadi kehidupan. Kehidupan yang semak dan basah. Basah, yang perlahan membanjiri tubuhku. Tubuhku tubuhmu. Tubuhmu tumbuhan liar berakar layu. Layu merapal doa dalam nadi malam. Malam maupun mimpi, sekali waktu mencatat lokasi belati. Belati tak merencanakan pertemuan apapun, kecuali dengan sunyi. Kenangan Akan Bunyi Ada bunyi yang berdenting lima kali mengingatkan orang-orang pada adegan film, sebuah pesta, atau ciuman tanpa rencana aku habiskan satu malam untuk membuat pengumuman mencari asal bunyi tercetak di koran, tersiar di segala pemancar berharap, orang-orang akan mengarahkanku pada asal bunyi bunyi cepat rambat di udara, tiba kembali bunyi yang datang dari tari jemari jemari yang sama yang menabur kamboja di rahimku

Ruhma Ruksalana Huurul’in lahir di Mataram, Lombok, 19 Mei 1994. Alumnus jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang. Sejak sekolah menengah terlibat dalam aktivitas seni, terutama teater dan sastra. Kini selain mengerjakan proyek-proyek berbasis lingkungan, juga menjabat wali kelas untuk Akarpohon Offschool.
Gambar Utama: Foto oleh William Farlow di Unsplash