DI ANTARA DUA WAKTU | puisi Inda Aminah
Pagi yang ingin diukir Sepanjang jalan itu dipungutnya satu demi satu ingatan-ingatannya yang terserak di sudut-sudut yang telah lama tak sempat lagi dikunjunginya. Lalu ia meminta kepada deras hujan pagi itu untuk membasuh debu-debu biru yang membungkusnya karena ia tak mampu lagi melakukannya. Bergegas ia seakan waktu cepat berkelebat bersama hujan menjadikan nafasnya berdesakan di antara sebait senandung yang ia dendangkan. Lalu di pagi yang ingin diukirnya itu dari belakang meja kau berkata lewat sudut matamu; Secangkir teh panas yang kau siapkan dengan jemarimu telah kutunggu sejak bertahun- tahun yang lalu. Lalu di pagi yang tak sempat diukirnya itu kau sematkan kokoh sepenggal kenangan baru. Dan pisau ukir yang tak sempat digunakannya dibiarkan saja tergeletak di atas meja. Oktober 2020 sebuah cerita yang tersusun sendiri sepeninggalmu kukembalikan saja jejak-jejak putih yang kulipat dengan sangat hati-hati seperti sedang menutup kembali sebuah kotak cincin sepeninggalmu kumatikan saja lampu yang tegap berdiri dan kupastikan lagi pintu depan telah terkunci namun pagi yang gelap merayap tanpa permisi sepeninggalmu kususun saja cerita demi cerita yang tumpukannya aku susun sedemikian rupa seperti menyusun balok-balok berirama sepeninggalmu sepenggal cerita kutulis lagi dengan pena yang kau beri waktu kita bersebati goresannya sanggup mengunci denyut nadi cerita yang kemudian akan tersusun sendiri nanti sebab sekarang jemariku terasa tak bersendi ( april 2021) sebuah kotak berwarna jingga tidak ada apa-apa lagi di sini cuma aku dan jendela yang sarat dengan air mata dua lampu menggantung bungkam bersahaja dan sebuah kursi coklat yang menatap jendela lalu kukemas saja seluruh kepingan cinta yang diam-diam telah aku curi dari sudut matanya lalu kukemas saja seluruh potongan cerita yang kusimpan utuh dalam sebuah kotak jingga dan kutinggalkan saja mereka di atas kursi yang sedang menatap jendela ( april 2021) di antara dua waktu kita telah banyak berbagi kata menyumbang kisah cinta bersayap angsa kita melewati banyak jembatan makna sambung bertaut nyaris tanpa koma kita susah payah bertukar cincin aku dengan rembulan kau dengan matahari kita telah menjadi putih telanjang menghayati terik siang dan gelap malam ( april 2021)

Inda Aminah
Nama saya Inda Aminah, biasa dipanggil Inda. Lahir di Jakarta dari keturunan suku Sunda dan Jawa. Sejak remaja saya menaruh minat kepada seni tari dan seni pertunjukan, dan belajar menari jawa klasik sejak usia empat tahun, menikmati ujian-ujian tari maupun pentas sampai ke mancanegara. Kemudian saat remaja saya tertarik juga belajar disiplin tari lain yang pada masa itu dikatakan “moderen” yaitu jazz balet di sebuah sekolah balet terkenal di Jakarta. Kemudian sejalan dengan pendidikan yang saya pilih di bidang manajemen, saya menjadi cinta dengan pengelolaan seputar kegiatan-kegiatan kesenian atau bisa dikatakan kegiatan yang berbau seni. Saya menyelesaikan kuliah S1 bidang Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti tahun 1993. Setelah sempat bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta, kemudian saya bergabung di Yayasan Kelola sebagai Koordinator Program sejak tahun 2004 – 2010 dan tahun 2014-2016. Hobi saya yang lain adalah menulis, umumnya puisi dan cerita pendek. Hobi yang satu ini belum pernah saya tekuni benar-benar seperti menari. Sampai kemudian bulan Juli 2019 saya mengikuti kelas Menulis dan Berpikir Kreatif oleh Ayu Utami di Komunitas Salihara, lalu sebuah sesi singkat kelas penulisan puisi di Teroka oleh Heru Joni Putra, dan satu bulan kelas penulisan oleh AS Laksana pada bulan November 2020. Kegiatan tari-menari masih aktif saya geluti, sejak tahun 1999 sampai sekarang saya bergabung di Padnecwara, sebuah sanggar tari jawa klasik pimpinan Retno Maruti. Menjadi penari dan pendukung di banyak pagelaran karya Retno Maruti adalah salah satu kebanggan tersendiri. Bahwa sebuah proses panjang yang serius akan membuahkan hasil yang patut disyukuri.