Dari Tugu Titik Nol | sajak-sajak Agusri Junaidi
KENANGAN Memandang puncak gunung awan beriring berarak kurasakan semesta seperti dirimu selalu menawarkan hal lain Damai cinta juga kerinduan Kuhantarkan ke puncak Batur Wangi sesaji hingga Rinjani, Perempuan kecil menangkap wangi dengan selendang yang pelangi Aku cumbui semua ini agar tak aku lupa hangatnya air pembasuh keringat Debu jalanan dan garangnya mentari menyengat tubuhku, darahku menguap menjadi awan jatuh jadi rinai Di teras belakang rumahmu Kaunikmati secangkir teh, bersama lelaki yang kaupanggil sayang Matahari masih akan terbit esok pagi kau akan mengerti seorang lelaki telah bergegas pergi menuju semesta yang lain 2019 TOYA BUNGKAH Kurengkuh semua Bukit hijau Angin segar Berbasuh Kehangatan Air dan bebatuan adalah harmoni purba terajut dalam jaring semesta Kau dan aku misteri, dipertemukan kesamaan hasrat, “Kita akan menikah di bukit ini,” ujarmu. Orang-orang datang bergantian Persembahan bunga-bunga ditaburkan, tujuh rupa, tujuh warna Jatuh di dingin air Kintamani kita saling berangkulan 2019 DI KINTAMANI Kueja cinta, yang diliukkan angin, Waktu tak lagi akrab membawa kita Sampai senja Ketika aku mengiringimu berkeliling Kintamani kautunjukkan satu arah “Ayo kita mendaki Batur,” ajakmu Sorot matamu menindas “aku-ku” Sayang sungguh, aku tak jua jadi Jung yang dapat membawamu berlayar, menjauhi semua ikatan yang memendammu dalam kepura-puraan Andai mungkin, Biar ketakberdayaan ini membawaku pada situasi, ketika aku menjauh dan bayangmu akan makin samar, jadi asap, jadi kabut, jadi awan. lalu jadi hujan aku menggigil dengan payung milikmu yang tertinggal tempo itu. Hatiku bertanya; Sudah berapa lama diteduhinya rambut ikal mayangmu? Apakah ia sama denganku, mudah terlupa jika tak senada inginmu? Aku tak meminta lebih, dari yang mungkin untuk sebuah cinta Di museum proklamator Aku akan menunggumu untuk sebuah pertemuan terakhir Diiringi denting harpa Tanpa kecup dan kata-kata Sekedar saling bertatap Lebih dari cukup Bandarlampung, 21 Agustus 2019 KRAKATAU Orang-orang mencari mimpi masuk bahtera di pagi-pagi Awan sembunyi saat kecipak air dilanda haluan lalu buih memutih, Berdiri di pinggir geladak, serpih ombak dan pulau nun jauh pucat samar akankah kutemui lagi baris cemara di hutan muda juga cicit burung hutan pinggir pantai Semua telah sirna amarah membakarmu jadi abu, jadi debu lalu burung-burung pergi, kehijauan di atas biru hamparan laut, sirna. Amarah yang sempurna membuat ada menjadi tiada, aku tak akan dapat turun, masuk pintu rimba menuju lerengmu. Semua warna sudah gelap, kepundanmu bergolak di pucuk tubuh yang rebah. Puncakmu pupus Tapi kau masih ada, hidup dan bergerak. Selat Sunda, 2019 SAJAK GUNUNG TALAMAU Di sini sayang pada tingginya kutiupkan panas bara Agar api cinta senantiasa menggelegakkan hasratku, pada perjalanan demi perjalanan Seribu Pacet antri menjilat kakiku, di tanah juga dedaunan dan kayu yang berlumut mereka berburu darah Tahukah kau sayang, binatang penghisap darah ini, makan sekenyangnya, lalu mati. Seperti hikayat keserakahan napsu manusia tanpa kendali, serupa lintah pemakan riba menghisap sampai ke sumsum, Bagai hikayat Datuk Maringgih merengkuh harta berbagai cara, lalu memperdaya Siti Nurbaya Namun tidak diriku, sayang. Demi Tigabelas telaga indah ini dan Air terjun Puti Linggo Geni Sudah kutempuh jarak panjang. Kukorbankan waktu untuk mengenalmu lebih dalam Untuk kugauli lautan asma-Nya, membaur dalam hangat cinta para perantau yang jejaki tanah moyangku, dan berkubur di tanahnya 2019 TENTANG MALAM BERSELIMUT RINDU Tuhan, masih dapatkah kumiliki mimpi masa lalu, bolehkah kuintip rencanamu? demi masa yang aku kelindan bersamanya demi hujan yang Kau curahkan sebagai rahmat dan malam sebagai selimut kupelihara rindu pada misteri-Mu jalan kehidupan yang telah Kaubentangkan sepanjang detak waktu dan usia yang terus bertambah Tuhan beri aku jalan, memaknai hidup pemberianmu. 2019 MENDUNG DI HATI Kita berpisah di simpang jalan Kenangan berderai bagai awan putih gugur dalam galau senja Adakah dirimu yang dulu dengan cinta yang menyemangatiku? Dengan harapan yang menguatkan dan kerinduan yang menghangatkan Kabut turun kala temaram jatuh di sebuah bandara Akhir perjalanan yang asing, ketika kita mencoba biasa Jalan-jalan yang dipenuhi mural, cerita yang juga asing Kota bersolek dan aku begitu sepi 2019 DIRUNDUNG SEPI Sepi ini adalah jejak yang ditinggalkan panas siang tadi Ini malam aku merindumu Lelah dan resah jadi kisah usang Kau di mana? Sudah lerai segala suka Tinggal datang semua duka Hari-hari mengarung harapan, sudah pergi semata Adakah kita berkubur genangan hasrat lalu memilih kalah ? Biar sepi mencabik diri, hingga lumat pengharapan Dirajam luka sendirian, tak ada tangis, tiada guna kesedihan Hidup ini perjalanan, yang bertahan akan menang 2019 PEJALAN FANA Ah! mengapa begitu kalut pada waktu yang luput kita warnai sebagai pelangi dari hari-hari yang mengaduh ditonjok segudang persoalan hidup Diam-diam sudah kaupersiapkan beberapa catatan yang perlu dibereskan usai pulang dari panjang perjalanan berkeliling kota demi kota Rahasia dari perjalanan seperti mengapa matahari menyimpan panas atau bulan yang hanya datang kala malam juga bintang yang benci sepi Namun jika semua perjalanan adalah rahasia maka setiap terminal, stasiun dan bandara yang kausinggahi adalah kidung tentang kehidupan yang fana Kau seorang pejalan yang menyimpan rahasia perjalanan Kau akan pulang pada perjalanan terakhir lalu yang tersisa hanya kenangan, ya, kenangan. 2020 ARTI DIRI apalah arti diri ini, pejalan malam, yang terlunta-lunta rasa anggur melekat di lidahku, dekam pada pangkal tenggorokan, belum juga hilang aroma mabuk aku gelimang dosa namun, ya junjunganku, pada-Mu tetap juga kuminta kelapangan keluasan kematangan juga kehikmatan. Masih juga kupanjatkan harapan, kebaikan bagi hidup yang mencari makna Tak tahu malunya aku. Apalah nilai diri yang berkubang maksiat jua semata? masih kuharapkan berkumpul di telaga itu berenang dalam segarnya Malam ini kusebut namamu, berharap dosa pupus, runtuh oleh doa 2020 WAI MESUJI* Deras mengaliri aliran tahun, Di diriku, sungaimu adalah muara segala resah Di ketiaknya pelepah nipah bagai padang jauh mata memandang menghilir juga sampai Koala Tempat orang-orang sunyi terasing dan desah laut memanggil Aku lirih kecipak airmu, di tapal batasmu antara harap dan nyata, kueja lagi perjalanan Di Kota Transmigrasi ini mimpi-mimpi ditanam Bermekaran bijian, ingin tumbuh pucuk harapan. Aku bagian lenguh perjalananmu Meski siang terik, di Lebaklebung padi akan tumbuh Di sungai aku menulis puisi Matahari pagi datang dan kami saling mendekap Kehangatan hadir tibatiba dari keramahanmu. 2020 CINTA TANDA TANYA Inilah cinta dengan tanda tanya Adalah sabit yang menyiangi setiap belukar, mencari makna cinta pada hati yang terjebak silang sengketa perasaan Dan kusut masai percakapan terekam dalam tidur-tidur yang mimpi, terbangun lalu berkejaran di padang savana selalu ada tanda tanya. Di mana kauletakkan jawaban untuk cinta dengan tanda tanya? Sebuah ruangan beraroma rindu menantikan jawaban. Lantas kau berujar tentang kesetiaan yang meringkuk di bawah kesunyian kita. Hanyalah kata yang suara tapi aku bisu sudah. Makin terbiasa dengan cinta yang tanda tanya ini. 2020 DARI TUGU TITIK NOL Kukecap jejak peradaban Di pesisir ini, kelindan rahasia Makam-makam tua menantang zaman Aku menyusur jalan sejarah Gubernur Romawi menggambar Peta Pesisir Barat Sumatera Bandar niaga bernama Barousai Lalu getah kamper melanglang aroma mistis dari Timur bagai bunga semerbak Di kota pelabuhan ramai perniagaan Dalam berbagai aksara kau ditahbiskan Sejak awal Masehi namamu disebutkan Ziarahku tafakur menyatu kisah makam Pada syiar Tuan Syekh Rukunuddin Abad ke 7 Masehi mula Islam Orang-orang Hejaz arungi samudera Dari perjalanan Ibnu Batutah hingga pengembaraan Cheng Ho Sir Thomas Arnold menulisnya: Barus tumbuh jadi Tugu Titik Nol Jadi pusat peradaban Barus kian kembang makam – makam bercerita Islam masuk melalui Arab Bukan India atau Gujarat. Abad ke-7 masa Khulafaur Rasyidin Sejak itulah tauhid didengungkan. 2020 RISALAH PANTAI Pulau Mursala Pantai landai Air terjun aliri tebing Buihnya jatuh ke laut. Pulau yang cantik Serasi laut dengan birunya Perahu menunggu di Pantai Bosur Di Tapian Nauli alam bersahaja Snorkling di Pulau Putri Menu Panggang Pacak gugah selera Pantai Pandan bagai Kuta pagi hari bahari memanjakan mata Air Terjun Sibohuk kutinggalkan Dari jendela Hotel Pandan wajah pantai terbit Jalur pesisir lintas Sumatera Bagai wajah pantura di Jawa. Pantai Kahona, darinya biru lautan Deretan pohon di tepinya bawa semilir Angin pantai sepanjang jalur Sibolga-Aceh Menidurkan aku. 2020 HIKAYAT KAPUR BARUS Kubayangkan tubuhku abadi Berlumur wangi getah kamper Harumnya usir rengat dari tubuhku Pedagang India, Asia Tenggara dan Timur Tengah Memburu getah pohon tinggi ratusan tahun Sebab cairan ekstraksi Barus jadi bandar niaga yang terkenal Saudagar datang dan pergi bawa syiar agama Pemakaman Mahligai dan Papan Tinggi saksi sejak 661 Masehi Aku bayangkan tubuhku abadi Sejak tanah Sumatera menyingkap cerita Masa jaya nusantara ratusan abad lalu Getah kamper dari zaman yang dikenang 2020 PAYAKUMBUH : Kepada Tan Malaka Di malam hari berbintang Tidurlah aku di dataran tinggi Bukit Barisan Kaki Gunung Sago dinginnya membungkamku Kala fajar rekah kujelajahi Lembah Harau Melantunkan puisi aku terbang di atas Jembatan Kelok Sembilan Hampir mabuk aku dengar Bukit Bulek Taram yang bundar Memanggilku. Puncaknya menonjol dan terjal bagai dada perawan, di sana aku tidur dengan gairah rumput hijau Air Terjun Lubuak Bulan bagai Bulan Sabit Ricik airnya mengantarkan mimpiku ke puncak segala tenang dan sunyi. Kuminum yang sejuk dan segar Aku hempas segala penat. Dalam hidupku, hanya angan yang mampu terbang bebas Tak seperti dirimu,Tan tak tersisa jejak ke mana aku pergi. Perjalananku hanya kesunyian Padang Mangateh terus menyeru "Menarilah di padang rumput, sungguh luas-indah dan hijau" Namun setelahnya kembali aku dikerling sunyi dalam hening yang nisbi Di Goa Ngalau tak satu kubawa Bagai orang asing yang mencari jalan selamat, begitulah stalaktit dan stalakmit mengajari aku batas pencarian. Dalam kegelapan barangkali hanya wajah sunyi Bagai Nagari Seribu Menhir mengajakku tetirah. Pada kepunden berundak, batu tapak, menhir, lumpang batu dan semua ini Oh Tan, adakah jejakmu di sini? Aku bimbang, apakah akan singgah kakiku di Pesanggrehan sementara Rumah Gadang bagai lirih suara Bundo Kanduang kembali menyapa ricik air Sungai Agam menenggelamkan desis Jembatan Ratapan Ibu Pemuda dibunuh disini Bagai dirimu Tan! Kini aku merindukan Kapalo Banda Taram - bentang sawah di pinggir hutan. Sambil makan dendeng paru dan gulai babat. Tan, kau juga suka, kan? 2020
Agusri Junaidi lahir dan besar di Lampung. Sehari-hari ia bekerja sebagai ASN. Sajak-sajaknya tersebar diberbagai media online dan antologi bersama. Pernah menjabat sebagai direktur di Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS, dan kini koordinator Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung Utara. Tiga buku kumpulan puisi tunggalnya adalah Lelaki yang Menyimpan Kata-Kata di Saku Benaknya, Wajah Musim dan Sepotong Senja Tak Hanyut oleh Hujan.