CYNTHA HARIADI: Tanpa Alam yang Dijaga, Bali akan Jadi Apa?
Cyntha Hariadi adalah nama baru yang mencuat cepat di jagat sastra Indonesia mutakhir. Ia telah membukukan tiga karya: Ibu Mendulang Anak Berlari (2016), Manifesto Flora (2017), dan Kokokan Mencari Arumbawangi (2020).
Kekuatan karya Cyntha terletak pada diksi-diksinya yang kuat. Juga cara bertuturnya yang dingin, rileks, seolah tidak ada beban.
Tak heran, Cyntha segera mencuri perhatian khalayak sastra Indonesia. Puisinya dalam kumpulan Ibu Mendulang Anak Berlari menyentuh hal-hal kecil yang tidak biasa dipikirkan pengarang Indonesia lain. Membaca cerpen-cerpennya yang terhimpun dalam Manifesto Flora, kita seperti memiliki teman. Pembaca seolah menjelma jadi pendengar yang tenang.
Dalam prosa mutakhirnya, Kokokan Mencari Arumbawangi, Cyntha menohok kita dengan kilau pikiran dan dunia anak yang imajinatif dan liar. Perempuan kelahiran Tangerang, 25 Juni 1973, ini berhasil memotret gaya pikir anak-anak Bali dengan indah dan tidak menggurui.
Mukim di Bali sejak beberapa lama, Cyntha berbagi cerita dengan MACA.
Beberapa tahun lalu, publik sastra kita dikejutkan dengan kemunculan karya perdanamu, buku puisi Ibu Mendulang Anak Berlari. Ada komentar?
Orang-orang terkejut karena saya memang berada di luar sastra. Saya ini penulis komersil, pernah jadi wartawan sebagai penulis seni, sosial dan budaya, dari 1998 sampai 1999, dan lama sebagai penulis iklan. Namun membaca sastra adalah kebutuhan jiwa yang selalu saya lakukan dengan gembira, barangkali karena bukan pekerjaan.
Naskah Ibu Mendulang Anak Berlari diganjar hadiah oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Bagaimana ceritanya?
Tahun 2015, saya melihat poster Sayembara Puisi DKJ yang terpampang di Salihara, Jakarta. Seumur hidup belum pernah ikut lomba, dan sudah lama saya ingin menuangkan pemikiran-pemikiran tentang pengalaman menjadi ibu dalam tulisan, namun belum menemukan cara yang tepat, dan tak pernah terpikir puisi sebelumnya. Poster itu memberi jawaban.
Di rumah, saya mulai menulis dan tak ada yang bisa menghentikan saya. Akhirnya ketemu jalannya! Jalan puisi itu nyata dan tidak terduga. Puisi yang sering terasa jauh justru mendekati dan menemukan saya.
Pengalaman menjadi ibu seperti apa yang mengilhami puisimu?
Saya tumbuh menjadi ibu muda di tiga negara karena mengikuti pekerjaan suami, yaitu Jakarta, Singapura, dan Amerika. Terdengar mewah, namun sebaliknya. (Cyntha menikah dengan Roy Wisnu Hariadi pada 28 Juni 2003. Mereka dikaruniai seorang putri, Willa Blanca Hariadi.)
Di negara “maju”, ibu rumah tangga mengurus anak sendirian. Bantuan mengasuh anak sangatlah mahal. Banyak perempuan bekerja memutuskan berhenti bekerja dan mengasuh anak sendiri.
Saya mengamati, menjadi ibu rumah tangga atau bekerja sama dilematisnya. Tidak ada negara “maju” bila sistemnya patriarkis. Saya semakin menyadari bahwa sebetulnya seorang ibulah yang mendorong lajunya roda ekonomi dengan menjadi tenaga kerja purnawaktu mengurus anak tak berbayar. Atas nama cinta, memang, namun ironinya saya rasakan setiap hari.
Tanpa sadar, saya banyak corat-coret – di buku tulis, bahkan tisu – renungan-renungan dan ledakan-ledakan pendek tanpa arah dan bentuk. Inilah yang menjadi bahan mentah cikal buku puisi tersebut.
Apa sih yang ingin kamu sampaikan dalam puisimu?
Bahwa yang personal itu penting, bahkan politis; bisa dijadikan alat perlawanan. Jenis ibu itu tidak hanya satu. Jenis perempuan, apalagi. Saya menentang penyeragaman. Anak-anak perempuan dan lelaki harus diedukasi tentang pembagian kerja yang timpang dalam kehidupan keluarga karena berdasarkan gender yang kaku. Lelaki pun korban sistem patriarkis. Mereka yang punya penis bisa jadi “ibu”. Yang punya vagina bisa jadi “ayah”.
Dengan menulis puisi, kamu mau menawarkan apa?
Bila maksudnya semacam sumbangan kepada dunia sastra, terus-terang tidak ada – apalagi saya ini cuma penikmat, bukan pelaku sastra – kecuali melayani dorongan yang tidak dapat terbendung dalam diri untuk menulis puisi semau dan sebebas yang saya inginkan. Juga cuma untuk diikutkan lomba yang, untungnya, saya tidak tahu ternyata cukup prestisius, jadi ya nggak ada beban.
Sejak kapan kamu merasa bisa menulis?
Saya menulis sejak kuliah di jurusan Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Katolik Parahyangan, tahun 1995. Semua mahasiswa baru diwajibkan menulis esai. Esai saya terpilih sebagai yang terbaik, lalu saya direkrut untuk koran kampus.
Selanjutnya setelah lulus S2 Kajian Media di Amerika, saya menjadi wartawan di koran Indonesian Observer dan Majalah Dewi, dilanjutkan menulis naskah iklan untuk media televisi, cetak, radio, dan internet di kantor iklan Leo Burnett Jakarta. (Selama bekerja di Leo Burnett Jakarta sebagai penulis iklan pada 1999-2005, Cyntha bersama tim kreatif memenangi penghargaan Citra Pariwara kategori Best TV dan Best Print untuk iklan Levi’s, Telkomsel, dan Bank Danamon.)
Lalu, saya kecemplung di dunia sastra. Dunia yang sangat berbeda.
Bagaimana ceritanya ketika awal kamu menulis? Apa harapan dan impianmu?
Awalnya saya adalah penulis di majalah gaya hidup perempuan. Semua saya tulis, dari ujung rambut sampai kaki. Kemudian, di koran, saya menulis ulasan seni-budaya serta artikel-artikel sosial kontemporer yang menarik perhatian saya.
Saya ingin menulis lebih kreatif. Maka saya mencoba di iklan yang mengharuskan saya berpikir secara strategis, konseptual, dan kreatif pada medium yang bervariasi – televisi, media cetak, radio, dan internet. Saya pikir saya bisa menjadi penulis kreatif selamanya.
Tapi kemudian, seperti telah saya sebutkan, saya punya anak dan harus ikut suami pindah ke luar negeri selama beberapa tahun. Setelah punya anak ini, saya harus menata ulang harapan dan impian saya.
Sekarang menulis fiksi, saya masih mengukur-ukur diri dan sekitar. Jadi belum berharap apa-apa.
Bagaimana pandanganmu tentang perkembangan penyair perempuan di Indonesia?
Perempuan yang menulis puisi pasti banyak, tapi yang kemudian disebut sebagai penyair kan biasanya harus diterbitkan dulu karyanya. Nah, siapa yang menyeleksi ini? Bagaimana ekosistem perempuan-perempuan penyair di negeri yang sangat beragam ini sehingga mereka bisa bebas berkarya dan menghasilkan karya yang otentik, tidak harus mengikuti standar dan selera di pusat? Kalau ini masih bermasalah, kita akan membaca penyair yang selalu sama.
Setelah puisi, kamu melahirkan prosa. Bagaimana ceritanya?
Saya adalah pembaca segala. Dan karena di dunia ini lebih banyak prosa daripada puisi, jadi saya lebih banyak baca prosa.
Ketika punya ide, otomatis saya akan memutar-mutar dan mengaduk-aduknya, kira-kira ide itu lebih bernyawa dan akan tumbuh lebih baik di medium yang mana.
Saya tidak mulai menulis dengan berpikir, “Oh, saya mau menulis puisi,” atau “Kali ini prosa.” Semua bermula dari ide.
Berapa lama proses kamu menulis Manifesto Flora?
Kurang lebih setahun. Bahan mentahnya semua sudah ada. Ketika saya sudah menemukan suara dan bentuk untuk setiap cerita, saya akan menulis dengan cepat. Intuisi akan menyertai logika, dan lebih sering intuisi saya izinkan untuk mendahului karena ia lebih bisa dipercaya dalam kasus saya.
Kenapa judulnya Manifesto Flora?
Judul untuk kumcer (kumpulan cerpen) itu yang memilih editor saya di Gramedia Pustaka Utama, Mirna Yulistianti, diambil dari salah satu judul cerpen di dalamnya. Menurutnya, manifesto yang terkesan maskulin menarik disandingkan dengan flora yang feminin. Saya setuju.
Cerita cerpen itu sendiri tentang Flora, anak remaja yang merasa terisolasi dari kehidupan keluarga modern yang serba terhubung, namun tidak saling kenal. Ketimbang cuma menjadi korban, Flora mencoba berpikir untuk dirinya sendiri, tipe keluarga seperti apa yang ingin ia bangun kalau ia memilih berkeluarga.
Menampilkan tokoh anak sebagai pengambil keputusan penting untuk saya.
Apa yang kamu tawarkan dalam kumpulan cerpenmu?
Terus terang, saya tidak pernah memikirkan apa yang bisa saya tawarkan. Saya hanya ingin menulis dengan cara yang sendiri.
Menurut saya, setiap penulis harus menjadi dirinya sendiri, yang tentu saja dipengaruhi oleh banyak hal yang ia sadari atau tidak, dan menentukan suaranya sendiri. Tidak ikut-ikutan apa yang sedang ramai.
Mengambil risiko tidak laku adalah jalan yang bisa jadi akhirnya menarik. Sebagian besar pekerjaan profesional saya mengikuti apa yang diinginkan klien. Sekarang saya mau bebas.
Menurutmu sebagai penulis perempuan, apa sesungguhnya yang membebani perempuan dalam berkarya?
Masalah ruang dan waktu pribadi yang sangat terbatas. Juga kekhawatiran dikomentari tulisannya terlalu perempuan. Itu komentar yang menjatuhkan dan tidak perlu didengarkan.
Perempuan bebas menulis apa yang dia mau. Kalau dia bisa menulis, centong, pistol, dan Mars pun bisa memikat. Kita harus percaya seharusnya ini bukan masalah tema atau gender, tapi pada akhirnya adalah kemampuan menulis yang khas.
Bagaimana peran keluarga dalam proses kreatifmu?
Karena suami saya adalah pekerja kreatif juga – ia pengarah seni/kreatif di kantor periklanan – saya merasa kreativitas saya terus terjaga dan tumbuh. Anak saya juga menyukai seni. Jadi, kami selalu berkarya bersama.
Apa modal dasar yang harus dimiliki seorang penulis?
Saya tidak akan bisa menulis kalau saya bukan pembaca. Saya lebih percaya diri menyebut diri sebagai pembaca daripada penulis.
Dari membaca, saya mengenal macam-macam bentuk tulisan. Zaman sekarang, kita bisa belajar teori dan teknik menulis dari mana saja.
Yang penting adalah bertanya pada diri sendiri, kenapa kita menulis. Harus jujur. Alasan ini akan menentukan tujuan dan hasil. Selebihnya, seperti profesi lain, mau komersil atau sastrawi, keduanya butuh kerja keras dan dedikasi.
Bagaimana kamu membagi waktu antara menjadi istri, ibu, dan penulis?
Saya dan suami adalah tipe pekerja kreatif yang individualis. Kami selalu membutuhkan waktu dan ruang bekerja terpisah. Kami tidak terbebani kewajiban suami-istri yang harus begini-begitu.
Sekarang pun kami hidup terpisah. Saya di Bali, dia di Jakarta, karena kami memutuskan menyekolahkan anak di Bali.
Sewaktu anak saya belum sekolah dan seluruh waktu saya habis untuk mengasuh dia, saya melatih diri untuk bisa fokus dan menyelesaikan pekerjaan pribadi dalam waktu yang singkat. Kini dia sudah SMP. Waktu pribadi saya semakin banyak, konsentrasi menulis pun bisa lebih lama.
Hidup saya berpusat di rumah. Pekerjaan rumah saya kerjakan sendiri. Saya tidak suka bersosialisasi kalau tidak harus. Kegiatan saya adalah ngurus anak dan rumah, membaca, dan menulis kalau ada ide.
Dulu pernah berpikir balik kerja kantoran, tapi mumpung suami masih bisa membiayai rumah tangga, saya memilih mengasuh anak sendiri sambil sekali-sekali terima kerja lepasan.
Banyak sekali yang bisa diamati dan dipikirkan dalam hidup sehari-hari kalau perhatian kita tidak teralihkan oleh hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kita. Karena hidup saya simpel dan pelan, mungkin jadi lebih mudah mendisiplinkan diri.
Buku terbarumu, Kokokan Mencari Arumbawangi, adalah cerita anak. Kenapa tiba-tiba menulis buku anak?
Tidak tiba-tiba. Saya adalah penggemar buku anak, dan banyak mempelajari sastra anak ketika tinggal di Amerika sembari memperkenalkannya kepada anak saya.
Karena perkembangan sastra anak sangat maju di Amerika, maka definisi buku anak fiksi sangat lentur, dan untuk setiap kategori usia, ada bukunya. Industrinya seserius buku dewasa.
Saya selalu tertarik kategori buku segala umur. Jadi, bisa dinikmati dan didiskusikan bersama anak. Kita bisa mengingat karya klasik seperti The Adventures of Huckleberry Finn, Alice in Wonderland, The Chronicles of Narnia, Winnie-the-Pooh, The Secret Garden, dan Charlotte’s Web. Yang kontemporer tak terhitung jumlahnya.
C.S. Lewis, penulis The Chronicles of Narnia, pernah berujar bahwa buku anak yang tidak bisa dinikmati pembaca dewasa bukanlah buku anak yang baik. Saya setuju, karena dalam diri setiap dewasa yang ingin gembira masihlah ada jiwa anak-anak. Dan tidak seharusnya kita mengerdilkan cara berbicara kita kepada anak-anak. Lebih baik menganggap mereka ketinggian daripada kerendahan. Mereka akan selalu bisa belajar.
Dari mana ide menulis Kokokan Mencari Arumbawangi?
Saya tidak berencana menulis novel, karena waktu itu, tahun 2018, saya sedang berusaha menyelesaikan manuskrip puisi baru. Saya baru pindah ke Bali. Ketika sedang jalan-jalan ke persawahan dekat rumah, saya mendapat ide. Tiba-tiba saja karakter-karakter bermunculan di depan mata saya.
Saya berusaha melupakan ide itu karena memang sedang menulis puisi, tapi ternyata tidak bisa. Melanjutkan puisi pun tidak bisa karena terpikirkan terus ide novel tersebut. Jadi saya memang harus menulis novel itu.
Terkikisnya persawahan karena pembangunan komersial – over-development dan over-tourism – adalah isu yang menurut saya sangat penting di Bali. Tanpa alam yang dijaga, Bali akan jadi apa?
Saya waswas melihat banyak sawah cuma jadi hiasan bagi orang-orang bermodal, dan kebanyakan anak-anak muda Bali cita-citanya punya kafe. Lalu siapa yang akan mengelola sawah? Dan yang paling penting, siapa yang akan memiliki sawah? Petani yang seharusnya punya hak tanah malah semakin tersingkirkan.
Saya bukan orang Bali, tapi mulai mengenal Tri Hita Karana serta gelap-terang kehidupan di dalamnya. Sebagai orang luar, saya tidak ragu berpendapat: Masa depan Bali yang mandiri dan berkelanjutan ada di tangan petani. Mereka harus berdaya. Lihat saja bagaimana pandemi ini melumpuhkan Bali karena terlalu menggantungkan ekonomi pada turisme.
Ironis melihat pulau ini hijau dengan persawahan dan perkebunan, tapi orang bisa kelaparan. Kita bangsa agraris yang tidak biasa lagi menanam dan bisa menyuapi diri sendiri.
Saya memilih menulis cerita dengan karakter anak-anak dengan isu dewasa karena anak-anak inilah yang akan mewarisi tanah. Dengan harapan, ketika besar, mereka menyadari apa yang paling penting bagi keberlangsungan pulau mereka.
Dalam ulasan tentang buku Kokokan Mencari Arumbawangi, ada yang bilang kamu penulis kejam. Tanggapanmu?
Kalau kejam karena bisa mengganggu mereka, mungkin harusnya saya senang, kali, ya… haha. Apa pun itu, saya tidak pernah mempersoalkan komentar atau ulasan orang lain tentang karya saya. Seperti saya bebas menulis apa saja, pembaca pun bebas mengutarakan apa saja.
Bagaimana menurutmu masa depan penulisan buku anak di Indonesia?
Akan suram bila kita masih menganggap buku anak itu harus mengandung moral dan didaktis. Bila kita bisa membawa anak pada situasi tertentu yang menyedot perhatiannya dan menggugah emosinya, itu sudah mendidik.
Terus terang saya sulit mencari buku anak berbentuk novel yang mengandung tema-tema kompleks dan/atau imajinasi gila – contohnya, Brown Girl Dreaming oleh Jacqueline Woodson atau The Phantom Tollbooth oleh Norton Juster – karena sepertinya kita suka menghindari percakapan-percakapan sulit dengan anak. Padahal itu sangat penting untuk perkembangan intelektual dan emosional mereka.
Untungnya masih ada buku-buku anak dari, misalnya, Okky Madasari, Clara Ng, dan Reda Gaudiamo. Tapi kita butuh lebih banyak lagi.
Apa hal yang menyenangkan dan yang kamu benci dalam hidup ini?
Contoh yang menyenangkan adalah segala yang alami seperti pohon-pohon besar yang membuat saya seram tapi damai, atau keriput tangan yang membuat saya takut tua tapi bangga karena ia banyak bekerja. Saya benci dengan hal-hal yang berlebihan, yang pakai awalan ‘ter’.
Setelah menghasilkan buku puisi, kumpulan cerpen, dan cerita anak, kamu ingin membuat apa lagi?
Semoga saya bisa menerbitkan buku puisi baru.
Omong-omong, siapa sih penulis favoritmu?
Saya selalu mengagumi kecuekan NH Dini yang terus menulis apa pun yang ia pikir penting, tak peduli orang mengotakkan karyanya; Ottessa Moshfegh yang kejahatan karakter-karakternya mudah saya maklumi; George Saunders yang lucu tapi serius; Billy Collins dan Mary Oliver yang puisi-puisinya seringan dan seesensial meneguk air.
Pingback: Tentang Anak Titipan dan Sebuah Peringatan • tengara.id